"Benar, angka memang tak pernah bohong. Bahkan semua akan terlihat jika ada kebohongan di dalamnya," sahutku. "Tapi angka itu bukan manusia, Pak."
Pak Seno tersenyum lebar. “Benar. Kamu tidak salah, Tiara. Bapak yang salah. Selama ini bapak mengira bisa menahan perasaan dan bersikap baik, layaknya seorang guru. Hingga bapak menyadari perasaan bapak terhadap kamu.”
Aku menundukkan kepalaku. Sungguh, aku tak tahu harus melakukan apa. Sepertinya seisi dunia sedang mengarahkan jarinya padaku, seolah aku adalah penyebab semua ini.
Cukup lama guru muda itu terdiam. Mungkin saja saat ini dia sedang memperhatikan aku. Mungkin saja dia sedang mencari tahu reaksiku. Dan itu membuatku merasa lebih canggung lagi.
“Tiara ….” Suara berat itu kembali terdengar mengisi gendang telingaku.
“Maaf, Pak. Kalau Tiara sudah buat Bapak seperti ini.” Akhirnya aku menemukan sebuah kalimat yang tepat.
Pak Seno menggelengkan kepalanya. “Tidak ada yang salah. Kamu tidak salah, Tiara. Tidak ada rumus dalam perasaan cinta.” Diberikannya buku yang ada di dalam pegangannya padaku.
“Dan seperti yang kamu katakan, kamu mempunyai hak untuk menerima atau menolak perasaan yang kuberikan untukmu.” Pria itu merapatkan bibirnya, mengangkat sepasang alisnya dan menghela napas panjang, seolah akan mendengar sebuah keputusan antara hidup dan mati.
“A-aku … tidak pernah terpikir untuk ….”
Pak Seno menganggukkan kepalanya seolah memahami kalimat yang akan kuucapkan. Tak ada lagi wajah galak sang guru killer. Wajahnya terlihat pucat, walau bibirnya tetap berusaha memberikan seulas senyumannya.
“Bapak akan pulang kembali ke Jawa,” ucapnya. “Jaga dirimu baik-baik dan tetaplah bersinar, Tiara.”
Guru muda itu menepuk pundakku sebelum kembali mengangkat kotak kardus berisi banyak buku dan peralatan milik pribadinya. Aku masih melihatnya melangkah mendekati mobil city car dan memasukkan kotak itu ke bagasi mobilnya.
***
Big Star Entertainment siang itu sangat ramai. Sepertinya sedang ada audisi pencarian model baru. Aku bisa melihat halaman parkirnya yang penuh. Dan begitu banyak orang di dalam ruang tunggu.
“Kak Elsy, apa om ada?” tanyaku pada sang customer service yang bertugas di lobi.
“Tiara?” Gadis itu memperlihatkan senyumannya yang mengembang sempurna. “Tumben kamu kemari?”
Aku tertawa terkekeh. “Iya, Kak. Lagi kangen suasana pemotretan,” sahutku sekenanya.
“Dih, kangen suasana pemotretan cemana? Katanya mau off, lagi pingin fokus sama sekolah.” Kak Elsy kembali mengingatkan aku pada alasanku berhenti dari kesibukan modelingku.
Tak ingin terlalu lama berbasa-basi, aku segera menepuk mejanya. “Om ada kan? Aku mau kasih kejutan sama dia.”
Melayani kak Elsy akan memakan banyak waktu. Aku sangat mengenal gadis ramah itu. Dan aku jamin jika bercakap dengannya, tidak akan cukup waktu satu jam. Kami bisa membicarakan satu topik dengan banyak cabang yang tiada habisnya.
Aku bergegas masuk ke dalam kantor, sementara kak Elsy seperti berusaha mencegahku. Entah apa yang membuatnya begitu ketakutan jika aku masuk ke dalam ruangan Om Marcel.
Tapi semua sudah terlambat. Aku sudah terlanjur mendorong handle pintu itu hingga terbuka lebar.
Kak Elsy tergopoh berlari menyusulku. Suara sepatu pantofel nya terdengar beradu dengan lantai keramik kantor berdesain minimalis itu.
Tangannya mencengkeram lenganku, menarikku kembali keluar setelah berulang kali menundukkan kepalanya sebagai permintaan maafnya.
Aku sempat melihat om Marcel yang sepertinya sedang melakukan diskusi dengan seorang pria. Mereka tampak sangat tegang, seolah sesuatu yang genting sedang terjadi.
“Om Marcel sedang meeting.” Kak Elsy yang menutup kembali pintu itu dan membawaku ke sebuah ruangan lain di sebelahnya. “Kamu nunggu di sini aja. Sebentar lagi juga, mereka akan selesai. Kakak tunggu di luar, ya. Lagi banyak tamu.”
“Euuu … Kak,” panggilku sebelum gadis itu keluar dari ruangan. “Apa om Marcel sudah menemukan model lain untuk iklan sport itu?”
Kak Elsy mengerutkan keningnya. “Tiara, kalau tentang itu, maaf … kakak kurang tahu. Kamu tahu kan, kakak cuman penerima tamu dan telepon di bagian lobi.”
Benar juga, urusan kontrak hanya model dan om Marcel yang tahu. Dan orang lain akan tahu setelah pemotretan berjalan. Tidak ada cara lain selain menunggu om Marcel dan mendapat konfirmasi langsung darinya. Semoga saja penantianku tidak sia-sia.
Aku menatap punggung Kak Elsy yang menghilang di balik pintu. Kuhela napas panjang sambil memikirkan banyak hal yang terjadi hari ini.
Kutatap buku yang masih berada dalam peganganku. Perlahan kubuka lembar pertama dari buku itu.
Buku yang sangat indah dengan sebuah nama terukir di atasnya. Mutiara Kahiyang. Namaku terlihat dalam sebuah goresan dengan huruf kaligrafi yang sangat indah.
Kubuka selembar demi selembar. Terlihat foto-fotoku di dalam setiap lembarnya, sementara di setiap ruang kosongnya terdapat sebuah kalimat dengan grafir indahnya.
Pak Seno … bagaimana dia bisa mendapatkan foto-fotoku? Apa mungkin dia mempunyai seorang kolega dari Big Star yang bisa memberikannya foto-foto iklan yang ku bintangi untuknya?
Ah … seperti sebuah benang kusut. Dan apa ini ….
Aku melihat sederetan coretan kalimat. Hmm … mungkin lebih tepatnya dia sedang menuliskan sebuah puisi untukku.
"Mutiara Kahiyang,
Sepertinya aku adalah lelaki yang sangat beruntung
menemukan sebutir mutiara yang bersinar di tengah gulita
mungkinkan aku akan beruntung mendapatkan hatimu?
Jika saatnya tiba,
aku ingin menekuk lututku di hadapanmu
memberikan sebentuk lingkaran
dan memintamu menghabiskan waktu bersamaku."
Astaga ….
Ini benar-benar gila! Tentu saja aku nggak pernah nyangka Pak Seno yang nggak pernah neko-neko itu menyimpan perasaan seperti ini. Bahkan dia sama sekali tidak pernah memperlihatkannya.
Aku sangat yakin, kekasihnya pasti sangat marah padaku. Tapi … bagaimana bisa Pak Seno mempunyai kekasih, sedangkan hatinya tidak mencintainya? Atau mungkin tebakanku selama ini salah, gadis itu bukan kekasihnya! Bukankah Pak Seno sama sekali tidak menyinggung masalah gadis itu. Hanya Shinta yang mengatakan bahwa gadis itu adalah kekasih Pak Seno.
Di tengah kekacauan pikiranku, tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka. Kak Elsy dengan suara riuh sepatunya masuk ke dalam ruang tunggu yang berukuran tak terlalu besar itu.
“Tiara, Pak Marcel sudah menunggumu di ruangannya,” ucap Kak Elsy.
Aku segera berdiri dari kursiku dan mengikuti langkah Kak Elsy dengan hati penuh harap cemas. Tentu saja aku berharap agar job itu masih belum terisi, dan tentu saja cemas jika Big Star tak mau lagi memberikan job padaku.
Kak Elsy membuka pintu ruang kerja om Marcel. Tapi sungguh mengherankan, kenapa tamunya masih belum pulang? Ah … pasti tak nyaman rasanya, meminta job pada om Marcel sementara ada orang asing sedang mengamati.
Aku masih berdiri mematung di depan pintu. Rasa canggung menyergap begitu saja ketika tatapan pria asing itu mengarah padaku. Matanya menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Kinan Rosa
wah siapa lagi itu 🤔
2023-01-23
0