Dikejar Om Om 2
BRAK!!
Suara pintu terhempas begitu kerasnya ke dinding ruang tamu. Seorang wanita dengan badan gembrotnya masuk ke dalam rumah kami. Tangannya berkacak pinggang dengan sepasang mata yang melotot, seakan kedua biji matanya hendak melompat keluar.
“Nilam! Ini sudah sebulan. Dan kamu belum membayar hutangmu sepeser pun!” teriaknya dengan lantang. Kacamata hitamnya melorot, yang semula bertengger di puncak kepalanya kini bertengger di ujung hidung peseknya. “Ingat! Semakin lama kamu nunggak, semakin banyak yang harus kamu bayar.”
Mama menghentikan gerakannya mengadon udang yang telah berselimut tepung itu ke atas tepung roti. Tangan kanannya yang masih belepotan tepung basah, tak mengurungkan niatnya untuk meladeni kedatangan tamunya.
“Bukan saya nggak mau bayar, Jeng. Catering juga baru dibuka lagi, setelah seminggu ini berduka,” sahut mamaku dengan sabar.
“Alah! Alesan. Bukannya anak gadis kamu itu foto model. Kalau kalian sedikit saja berusaha, pasti nggak bakalan nunggak, kan!” sambarnya lagi dengan suara yang masih bernada tinggi.
“Jeng, saya tegaskan sekali lagi. Ini hanya antara saya dengan Jeng Vivin saja. Nggak ada sangkut pautnya dengan Tiara. Biarkan anak saya tetap tenang melanjutkan studinya.” Kali ini mama mengatakannya dengan sangat tegas.
Wanita gemuk itu hanya mengedikkan pundaknya. “Terserah sama kamu. Aku cuman mengingatkan. Jangan sampai kamu terus nunggak dan akhirnya kabur dari tanggung jawab ini. Toh kamu sudah aku kasih jalan keluar. Anakmu bisa ….”
“Cukup Jeng! Sekali lagi Jeng Vivin bawa-bawa Tiara, saya bakal kabur beneran dan nggak bayar hutang saya sepeser pun!” gertak mamaku dengan berani.
“Dih …. Makin gila aja dunia. Yang hutang lebih galak dari yang minjemin!” seloroh wanita itu sebelum dia pergi meninggalkan kami.
Hmm … mungkin saja dia gentar melihat tangan mamaku yang belepotan tepung basah itu. Bisa-bisa wajahnya yang sudah dilapisi alas bedak dengan begitu tebalnya itu, menjadi lebih tebal karena tepung di tangan mama.
Aku hanya bisa melihat semua kejadian yang berlangsung di depan mataku tanpa dapat berkata apa pun. Tentu saja tidak semua yang dikatakan oleh tante Vivin itu keliru. Iya, seharusnya aku bisa membantu mama meringankan beban biaya rumah sakit yang sudah dipakai sebagai pengobatan almarhum papa.
Aku menatap wajah wanita setengah baya yang kembali sibuk mengolah udang berukuran jumbo itu. Wajah yang tampak lelah, walau tak sepatah kata keluhan pun keluar dari dalam mulutnya.
“Tiara akan kembali ke studio, Ma,” lirihku.
Kugapai sebuah gelas kaca dan mengisinya dengan air dari dispenser. Tentu saja, di saat mama bisa begitu tegar menghadapi semuanya selama ini, aku tak bisa terus tak acuh seolah tak terjadi sesuatu.
“Nggak usah. Kamu fokus aja sama sekolahmu,” sahut mama.
Aku meneguk cairan bening dalam gelas itu hingga tandas. “Tiara bisa melakukan keduanya sekaligus. Tiara janji nggak akan buat Mama kecewa.” Kuangkat kedua jariku membentuk huruf V.
“Tapi ….” Sepasang mata itu menatapku dengan cemas.
“Om Marcel udah hubungi aku berkali-kali. Ada beberapa iklan yang katanya cocok untuk kuperankan,” sambungku tanpa niatan membuat mama merasa khawatir.
Kulihat mama menghela napas dan menarik sudut bibirnya. “Mama tau, kamu ingin membantu. Tapi ingat, Sayang …. kewajibanmu adalah sekolah. Biarkan mama yang menanggung tugas orang tua.”
Aku tertawa pelan. “Tentu saja, Ma. Aku hanya akan bersenang-senang sekaligus menggapai cita-citaku menjadi seorang model dunia.”
Kupeluk pinggang wanita yang telah melahirkan aku itu dan mencium pipinya. Mungkin sebaiknya aku mengucapkan hanya hal-hal manis untuk menghiburnya. Bukan hanya aku yang kehilangan semangat dan bersedih sepeninggal papa.
“Sore Tante ….”
Tiba-tiba saja tiga orang temanku muncul di depan pintu dapur. Shinta, Raka dan Daren sudah terbiasa keluar dan masuk begitu saja di rumahku.
“Iya, sore,” sahut mamaku tanpa menghentikan pekerjaannya. “Sana gih, temui teman-temanmu.”
Aku melepaskan pelukan di pinggangnya dan meninggalkan dapur bersama teman-temanku.
Entah kenapa dan mulai kapan, aku tidak tau tepatnya. Rumahku terlihat seperti markas mereka. Kami berempat bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bercakap dari timur ke barat tanpa arah pembicaraan yang jelas.
“Eh, kamu tahu nggak sih. Pak Seno guru matematika kita. Katanya kemarin kedatangan tamu di sekolah.” Shinta mengawali topik pembicaraan hangat kami sore ini.
“Ih! Kamu ini. Kayak reporter berita deh.” Aku mengerutkan keningku. Sungguh mengherankan, temanku yang satu ini sangat handal untuk menyajikan sebuah berita yang menggelitik rasa ingin tahuku. “Memang siapa tamunya?”
“Cewek. Cantik dengan body yang wow banget,” sahut Shinta.
“Pacar Pak Seno?” tanyaku setengah penasaran.
Daren berdehem pelan. Tatapan matanya terlihat begitu tak nyaman setelah aku megucapkan pertanyaan terakhir yang kutujukan pada Shinta.
“Peringatan, peringatan!” ucap Raka sambil terkekeh. Siku tangannya dengan sengaja disenggolkan pada pinggang Daren.
“Sepertinya, sih,” ucap Shinta. Wajahnya cemberut, memperlihatkan perasaan kecewa yang ada di dalam hatinya. “Seandainya aku punya wajah dan body seperti kamu. Udah kugaet itu guru killer!”
“Eh! Apaan sih,” ucap Daren.
Shinta dan aku sudah lama bersahabat dan berbagi cerita. Berbeda dengan Raka dan Daren. Walaupun kami selalu jalan bersama, tapi aku belum bisa membaca dengan baik apa yang ada di dalam pikiran dan hati mereka. Ah … pria memang misterius.
“Aku akan balik ke studio om Marcel, Shin,” ucapku tanpa ragu. “Kurasa aku harus belajar dan bisa membagi waktuku antara sekolah dan pekerjaanku.”
Shinta tampak terkejut dengan keputusan yang aku buat secara tiba-tiba ini. Tentu saja karena dia selalu mendengarku menolak setiap tawaran yang diberikan om Marcel untuk membintangi suatu produk.
“Beneran, Ra? Kamu yakin mau nerima tawaran itu lagi?” Shinta mengulangi pernyataanku, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Aku menarik sudut bibirku dan mengangguk dengan yakin. “Anggap saja, aku sedang curi start untuk memulai karirku.”
“Nah lo!” seru Raka membuat kami bertiga terkejut. “Kalau kamu udah start karir kamu, berarti kita bertiga nggak bisa main ke sini lagi dong?”
Daren terlihat cuek. Aku melihatnya mengeluarkan ponselnya dan mulai fokus dengan benda pipih di tangannya itu.
Aku melempar bantal sofa yang sedang kupegang. “Eh, Raka. Kamu pikir aku pindah ke planet Mars gitu? Kenapa juga kamu berlagak nggak bisa ketemu aku lagi? Bahkan kita bisa ketemu tiap hari di sekolah.”
Pria muda itu menangkap bantal yang kulemparkan padanya. Tapi gerakan itu membuat siku tangannya kembali bersentuhan keras dengan Daren.
Daren yang sedang asik bermain dengan ponselnya itu pun terlihat kesal.
“Yah…. Kan! Aku kalah gara-gara kamu. Emang temen nggak ada akhlak!” kicaunya dengan perasaan kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Kinan Rosa
mampir.....
2023-01-23
1
Khairin Nisa IG khairin_junior
keren banget kak. lanjut
2022-12-04
1
Mommy elle
hadiiirrrr.... 👍🙏
2022-12-03
1