3.
"Memilih, menyukai bahkan mencintai adalah hak setiap manusia. Sama seperti yang aku alami saat ini." Pak Seno menghentikan perkataannya.
Aku tahu, mungkin profesinya sebagai guru menuntutnya untuk lebih berhati-hati dalam bertutur kata. Kurasa dia pasti sedang memilih sebuah kalimat yang pantas untuk diucapkan sebagai seorang guru.
"Sama sekali tidak salah, Pak. Saya tahu, mungkin manusia bisa mendustai orang lain tentang perasaannya. Tapi tidak diri sendiri," sahutku.
Kurasa Pak Seno sedang membutuhkan tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Tapi aku sama sekali tidak menduga bahwa dia memilihku untuk mendengarkan suara hatinya. Bisa jadi saat ini dia sedang merasa patah hati karena kemarin ditolak atau mungkin bahkan diputuskan oleh kekasihnya.
"Tapi manusia tak bisa memaksakan perasaannya pada orang lain. Menolak perasaan cinta seseorang juga adalah hak manusia," lanjutku.
Ah … kenapa aku terasa seperti menggurui. Bukankah seharusnya dia yang lebih matang usianya, mempunyai lebih banyak pengalaman berharga dibanding aku yang bahkan belum pernah merasakan apa itu cinta?
Suara bel terdengar memecah keheningan suasana ruangan kesiswaan. Aku mulai bisa membaca situasinya. Bahkan untuk mencurahkan perasaannya pun, saat ini dia merasa tak nyaman.
Sebenarnya sangat lucu jika dia mengatakan semua itu kepadaku. Seharusnya dia mencari seorang psikiater yang mumpuni daripada seorang siswi SMA yang bahkan belum lulus.
Aku menarik sudut bibirku menyajikan seulas senyuman padanya. Tak ada gunanya aku terlalu lama di depannya, bahkan aku akan kehilangan banyak waktu berharga karena harus ketinggalan mata pelajaran selanjutnya.
"Kalau tak ada lagi yang ingin Bapak sampaikan, saya akan kembali ke kelas," ucapku dengan perasaan canggung.
"Tiara," panggilnya. Guru muda itu berdiri dari kursinya. Tapi keraguan kembali terlihat di wajahnya.
"Apa ada lagi yang perlu Bapak sampaikan?" tanyaku.
Pak Seno tercenung sejenak sebelum melambaikan satu tangannya. "Kembalilah ke kelas."
Tentu saja perintah itu bagai hembusan angin segar bagiku. Aku segera pergi dari hadapannya. Sungguh situasi yang canggung. Selama ini aku bahkan berusaha sebaik mungkin agar tidak berurusan dengan guru killer yang satu ini.
Sepanjang koridor kelas telah sepi. Tak satu pun siswa yang masih berkeliaran di luar kelas. Hanya beberapa siswa berseragam olah raga yang terlihat terburu-buru ke gedung olah raga.
"Tiara!" Suara seseorang terdengar di belakangku.
Aku spontan menoleh ke asal suara. Seorang siswa laki-laki dengan seragam olahraganya itu memperlambat langkahnya.
"Aku sudah dengar semua berita miring itu." Ricky perlahan menghampiriku. Pria muda itu menatap sepasang mataku dengan tajam. Pria yang pernah menyatakan cintanya padaku itu menarik salah satu sudut bibirnya.
"Aku benar-benar tak mengerti seleramu." satu tangan pria muda itu memegang pundakku. "Jadi … kamu menolakku hanya untuk … menerima Pak Seno sebagai kekasihmu?"
Mataku membulat. "Gila bener! Siapa yang nyebarin berita macam itu?"
Ricky tertawa terkekeh. "Kenapa? Kamu malu ketahuan pacaran sama om-om?" ledeknya. "Memangnya apa sih, enaknya pacaran sama om-om? Ah … apa semua ini demi nilai?”
"Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Ah! Percuma. Aku ngomong apapun sama kamu itu percuma," ucapku dengan kesal. "Dan aku rasa nggak ada yang perlu aku jelasin karena kamu bukan siapa-siapa buat aku."
Aku segera berbalik dan melangkah kembali ke ruang kelasku. Masih dapat kudengar dengan jelas suara tawanya. Dia benar-benar sedang memperolokku!
Tapi setidaknya aku sedikit tahu apa yang sedang terjadi. Kuhentikan langkahku ketika pikiranku mulai terbuka atas semua kejadian ini. Seperti kepingan puzzle yang mulai terlihat bentuk nyatanya.
Berarti semua yang dikatakan oleh Pak Seno tadi … mungkinkah yang dikatakannya tadi bukan tentang kekasihnya, tapi tentang aku? Tapi … bagaimana mungkin semua orang bisa mengetahui isi hatinya, sementara dia sangat berhati-hati bahkan ketika berucap di depanku.
Aku tak lagi fokus dalam pelajaranku siang itu. Suara Bu Ratna yang sedang mengajarkan tentang Kewarganegaraan seakan angin yang berlalu di telingaku. Bahkan Shinta berkali-kali menyodokku dengan siku lengan tangannya saat aku asyik dalam lamunanku.
"Aku rasa aku sedikit mengerti apa yang terjadi, Shin," bisikku di sela-sela pelajaran. "Tentang Pak Seno."
"Dia menyukaimu, bahkan kekasihnya menemukan foto-fotomu yang dikoleksinya di rumahnya." Shinta menundukkan kepalanya seolah sedang menyalin sesuatu ke atas lembaran bukunya. "Dia sangat marah dan hendak menghancurkan foto-foto itu. Tapi Pak Seno …." Shinta mengedikkan pundaknya.
"Apa yang harus aku lakukan, Shin?" tanyaku dengan perasaan semakin tak nyaman. “Bagaimana bisa dia mendapatkan foto-fotoku?”
"Nggak ada yang tahu. Sekolah sudah mengeluarkan Pak Seno. Hari ini dia mengajar untuk yang terakhir kalinya." Shinta menjabarkan berita yang didengarnya dengan sebaik mungkin.
Shinta menoleh, sepasang mata gelapnya menatap tajam kepadaku. "Kamu yakin tak perlu menceritakan padaku semua hal yang terjadi?" tanyanya padaku, seolah merasa ada sesuatu yang kusembunyikan darinya.
Aku menggelengkan kepalaku. “Sebaliknya … aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dari mulut Pak Seno.”
Bel tanda sekolah telah usai berbunyi. Para murid berseragam putih abu-abu seolah berlomba dengan secepat mungkin mengemas peralatan tulisnya sebelum menghambur keluar kelas.
Aku melangkah dengan gontai keluar dari pintu gerbang sekolah. Tujuanku siang ini adalah menghampiri Big Star Entertainment, menemui Om Marcel untuk menerima job pemotretan yang beberapa hari lalu ditawarkannya untukku.
Langkahku terhenti ketika melihat guru muda itu membawa sebuah kardus yang berukuran cukup besar di dadanya. Entah kenapa bukan rasa kasihan yang muncul seperti sebelumnya, kini aku lebih merasa jijik.
Astaga, apa karena ini dia mengatakan bahwa dia hanyalah manusia normal dan mempunyai perasaan yang sama dengan yang lainnya? Apakah dia hendak mengatakan bahwa adalah haknya untuk mencintai siapapun?
Tapi … ah, sudahlah. Itu memang adalah haknya. Anggap saja aku tak mengetahui apapun.
Namun ternyata, guru muda itu telah melihatku terlebih dahulu. Kali ini aku tak sempat lagi untuk menghindar darinya.
"Tiara!" panggilnya. "Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu."
Aku melihat sekelilingku. Tak tampak seorangpun di sana. Tak ada alasan bagiku untuk menghindarinya.
"A … ada apa, Pak? Bapak mau pergi?" tanyaku.
Pria itu meletakkan kardus yang dipeluknya ke atas meja. Dibukanya kardus itu lalu diambilnya sebuah buku dari dalamnya.
"Kamu tahu kenapa bapak menyukai matematika?" tanya guru muda itu.
Aku menggeleng perlahan. Yang aku tahu, bagi banyak siswa, matematika adalah pelajaran yang paling menakutkan. Bahkan tak sedikit yang membenci bidang studi itu.
"Karena bagi bapak, angka-angka itu selalu jujur mengungkapkan sebuah kebenaran. Tidak bisa dimanipulasi. Sangat berbeda dengan hati manusia." Pak Seno menarik sudut bibirnya. "Bapak ingin menjadi angka-angka itu, yang selalu jujur tanpa harus menutupi sebuah fakta di baliknya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Kinan Rosa
ciee angka yang begitu rumit untuk di mengerti oleh siswa yang tak mengerti rumus matematika
seperti hati nya pak Seno yang tidak bisa di mengerti oleh Tiara
2023-01-23
0
mbak i
rasa nggak pernah salah pak Seno,,,mungkin waktunya saja yang datang nggak tepat😁😁😁
2022-11-27
1
mbak i
Oalah,,,ternyata begitu
2022-11-27
0