“Ra, kamu dipanggil sama pak Seno!” ucap Reny. Wajahnya tampak kusut seperti selembar kertas yang diremas.
Aku menyatukan kedua alisku karena heran.”Ada apa sih?”
Gadis itu mengedikkan pundaknya. “Tauk!” sahutnya dengan ketus dan berlalu dari hadapanku.
Aneh aja, kenapa sih dia kelihatannya nggak seperti biasanya. Gadis yang biasanya terlihat ramah, genit dan centil ini mendadak bersungut-sungut. Seperti ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya. Aku yakin, pasti ada sesuatu.
Aku masih menatapnya dengan keheranan. Sekali pandangan kami bertemu, dia sedang menatapku dengan sudut matanya. Tatapan yang ketus dan begitu mengintimidasi, seolah aku sudah melakukan sebuah kesalahan besar padanya. Apa dia sedang marah sama aku? Ah, sudahlah. Bisa jadi dia sedang PMS, jadi lagi peka aja perasaannya.
Sebaiknya aku segera menemui Pak Seno. Tentu saja aku nggak berani buat guru killer itu marah karena menganggapku mengabaikannya dan membiarkannya menunggu lama.
“Ra, mau kemana?” Shinta dengan tergopoh-gopoh berlari mendekatiku. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di depanku. Perlahan diaturnya napasnya yang masih memburu.
“Itu …. Si Reny bilang, Pak Seno lagi nyari aku.” Aku menjawab seadanya. "Nggak biasanya sih."
“Kamu dah denger belum?” tanya Shinta setelah berhasil mengatur kembali napasnya.
“Heh! Denger apaan?” sahutku kembali dalam bentuk sebuah pertanyaan. Aku tahu, sahabatku yang satu ini layaknya seorang reporter berita televisi. Dia selalu update setiap hal yang terjadi di lingkungan sekolah kami.
“Ng … Gimana ya cara ngomongnya.” Shinta terlihat mulai ragu untuk menceritakan berita yang didapatnya.
“Ya … ngomong aja. Memangnya ada apa sih? Kamu di skors?” tebakku.
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Aku yang diskors?” tebakku sekali lagi.
Sekali lagi gadis manis itu menggelengkan kepalanya, membuat rambut ekor kudanya berayun dengan lincah.
“Lah, berarti nggak ada masalah, kan? Kenapa sih kamu nggak seperti biasanya?” Aku mulai merasa ada kejanggalan di balik sikap Shinta. Gadis itu tak biasanya menyembunyikan sesuatu dari aku.
“Ehm … Pak Seno kena kasus,” bisiknya.
"Kasus? Pak Seno si guru killer itu?" Aku benar-benar terkejut dan kutatap Sinta tak percaya. "Guru killer itu terkena kasus apa? Apa dia main pukul?"
Aku tak sabar sekali mendengar Sinta memberikan jawaban.
"Bukan kekerasan fisik, ini lebih parah. Aku saja sampai ilfeel sama dia."
Lagi-lagi Shinta menghentikan ucapannya dan membuatku semakin penasaran.
"Buruan cerita ... aku kan jadi penasaran." Kulirik arlojiku sambil menanti Sinta bercerita lebih lanjut, tapi .... Astaga! Istirahat hampir berakhir dan aku masih belum menemui Pak Seno.
"Shin, aku harus menemui Pak Seno. Ini istirahat sudah mau habis, lanjut nanti ya ceritanya."
Tak ada waktu lagi untuk meladeni Shinta. Mungkin saja Pak Seno ingin menitipkan lembar jawaban tes minggu lalu yang sudah dikoreksi olehnya. Jika aku terlalu lama, bisa-bisa aku terlambat masuk ke mata pelajaran selanjutnya.
Shinta seperti merasa berat melepaskan aku. Bahkan sayup aku masih bisa mendengar suaranya memanggil namaku. Nggak masalah, dia masih bisa melanjutkan ceritanya nanti, walaupun sebenarnya rasa penasaran mulai menggelitikku.
Meskipun aku sebentar lagi akan bertemu Pak Seno, toh … aku tak mungkin bertanya tentang kasus yang dikenakan padanya.
Aneh saja … setelah kemarin Shinta menceritakan tentang seorang gadis yang datang ke sekolah, yang mungkin adalah kekasih Pak Seno. Kenapa tiba-tiba hari ini muncul berita kasus yang membuatnya ilfeel? Jika bukan tentang tindak kekerasan, bisa jadi ini tak ada hubungannya dengan studi. Bagiku itu saja sudah cukup melegakan.
Aku mengetuk pintu ruangan kerjanya. Pak Seno memiliki sebuah ruangan khusus, karena pekerjaannya yang sekaligus adalah pengampu kesiswaan di sekolah kami.
“Siang Pak,” sapaku sesaat setelah guru muda itu mengangkat wajahnya.
Guru muda itu menarik sudut bibirnya. Entah kenapa perasaanku mengatakan bahwa dia terlihat lebih ramah daripada biasanya. Seulas senyuman itu sangat jarang terlihat di wajahnya yang kaku.
“Masuklah!” perintahnya.
Aku menarik kursi di hadapannya dan duduk dihadapan pria yang sedang mengatupkan kedua tangannya di atas meja, di depanku.
“Apa Bapak memanggil saya?” tanyaku tanpa ragu.
Pria itu menganggukkan kepalanya. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”
Senopati Aksara, name tag itu terlihat gagah tersemat di dada bidangnya. Guru muda yang merupakan momok bagi siswa siswi yang membenci pelajaran berhitung itu sebenarnya terlihat cukup gagah. Terbukti beberapa siswi, termasuk Shinta ikut merasa patah hati ketika mendapati kenyataan bahwa guru yang disukainya itu telah memiliki pasangan.
Guru muda itu terlihat menyembunyikan kegelisahannya. Aku bahkan bisa melihat gelagatnya saat jari jemari tangannya mengetuk meja kayu tempatnya biasa menghabiskan waktu sepanjang hari. Senyum itu bahkan tak bisa menyembunyikan kegelisahannya dengan baik.
“Apa ada sesuatu yang penting, Pak?” tanyaku yang ikut merasa gelisah. Sepertinya sesuatu itu juga menyangkut diriku. Tapi … aku sama sekali tak merasa melakukan sesuatu yang salah. Tidak dengan pelajaranku, tidak juga dengan kehidupan belajarku di sekolah.
Pria itu menganggukkan kepalanya perlahan. Sepasang matanya menatapku dengan tajam. Seolah ada sesuatu yang salah di wajahku dan dia sedang mengoreksinya. Tentu saja tatapan itu membuatku sangat canggung. Sangat tak biasa.
“Aku rasa kamu juga sudah mendengar selentingan berita di seputar sekolah kita ini. Kabar-kabar burung yang entah dari mana sumbernya,” ucap guru muda itu.
Kudengar helaan napasnya. Terdengar begitu berat dan panjang, seolah beban berat sedang menimpanya.
“Euu … anu, Pak,” sahutku. “Sebenarnya saya tidak begitu banyak mendengar kabar-kabar seputar sekolah. Saya bukan siswi populer, jadi … saya juga tidak terlalu banyak mempunyai teman.”
Aku menelan kasar salivaku. Apakah aku seharusnya juga mendengar kabar-kabar miring seperti Shinta? Ah … kurasa ini tidak mudah karena aku terlalu introvert. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan belajar dan membaca buku.
“Syukurlah,” ucapnya kemudian. “Semoga kamu tidak akan menelan mentah-mentah semua berita yang nantinya sampai di telinga kamu.”
“Berita apa, Pak?” tanyaku.
Ah … sekarang aku mulai menyesal. Seharusnya aku mendengar semua cerita Shinta terlebih dahulu sebelum menemui Pak Seno. Setidaknya aku mempunyai amunisi sebelum kemari. Tidak seperti sekarang, aku terlihat seperti seorang tentara yang maju perang tanpa amunisi yang memadai.
“Sepertinya tidak tepat jika aku menceritakan semuanya padamu. Tapi … kurasa kamu juga harus memahami posisiku saat ini.” Pak Seno sepertinya sedang mencari sebuah kalimat yang tepat untuk disampaikannya kepadaku.
“Ini semua karena kesalahanku.” Pak Seno melemparkan punggungnya ke bantalan punggung kursinya. "Bagaimanapun juga, guru hanyalah seorang manusia biasa."
Astaga, ada apa sih sebenarnya? Kenapa semua orang yang kutemui hari ini terasa aneh dan semua perkataannya berbelit seperti ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Kinan Rosa
ayo ada apa ini dengan pak Seno
2023-01-23
0