Setelah sekian lama, akhirnya Shakila makan bersama orang-orang yang disebut keluarga.
Terakhir Shakila makan bersama keluarganya, ketika mamahnya masih hidup. Shakila tidak pernah makan bersama keluarganya setelah mamahnya meninggal. Bahkan, Shakila tidak pernah mau berkumpul bersama keluarganya setelah tahu mamahnya meninggal bunuh diri.
Shakila kehilangan mamahnya saat duduk di bangku SMA, lebih tepatnya kelas tiga SMA.
Shakila memutuskan kuliah di luar negeri dan berniat menetap di negeri orang. Tapi karena perusahaan keluarga yang hampir bangkrut, Shakila kembali ke Indonesia dan memimpin perusahaan keluarganya sampai perusahaan keluarganya kembali sukses seperti sekarang.
Shakila sudah melewati banyak hal, sebelum menjadi menantu kedua di keluarga Sanjaya.
"Shakila, kamu lebih suka daging atau sayur?"
Shakila tersadar dari lamunannya, saat Nyai Annisa bertanya makanan yang Shakila suka.
"Kenapa? kamu tidak menyukai keduanya ya?"
Semua orang di meja makan menatap Shakila karena Shakila belum menyentuh sedikitpun makanan di piringnya, nasi dan lauknya utuh.
Shakila menggeleng ribut. "tidak! aku suka keduanya, umma. Maaf, tadi aku melamun."
"Kalau suka, kenapa kamu tidak makan? mau umma masakan yang lain? kamu suka apa?"
"Tidak perlu, umma. Terimakasih, aku makan ini." Shakila memasukan makanan ke dalam mulutnya, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh bayangan masa lalu tentang ibunya, tapi air mata Shakila menetes tanpa bisa ditahan.
Semua terkejut karena Shakila tiba-tiba saja menangis di hadapan mereka, padahal tadi Shakila baik-baik saja dan sempat bercanda.
"Kamu baik-baik saja, nak?" tanya Nyai Annisa khawatir melihat menantunya sampai terisak.
"Iya. Aku baik-baik saja, umma." jawab Shakila, tapi air matanya tidak bisa berhenti menetes.
"Aku baik-baik saja." lirih Shakila meyakinkan dirinya, beserta semua orang di meja makan.
"Kalau kamu baik-baik saja, kenapa menangis? ada yang melukai hatimu? cerita kepada kami."
"Aku hanya teringat mamahku." jawab Shakila.
"Butuh pelukan?" tanpa menjawab, Shakila memeluk Zahra yang duduk disampingnya.
Shakila menumpahkan kesedihannya dalam pelukan Zahra, tangisannya membuat semua orang yang mendengar ikut merasakan sakit.
"Aku berjanji tidak akan merebut mas Abian."
"Apa yang kamu bicarakan? mas Abian juga suami kamu, milikmu." Zahra mengingatkan.
Shakila menggeleng. "aku dan suamimu akan bercerai setelah aku melahirkan anak kalian."
Nyai Annisa menatap Abian, tangan putranya terkepal mendengar Shakila mengatakan itu.
"Mas tidak menikahimu untuk bercerai, Kila."
"Mamahku bunuh diri karena papahku lebih mementingkan istrinya yang lain, aku tidak mau mba Zahra mengalami hal yang sama."
Tatapan Abian kepada Shakila berubah sendu, merasa bersalah karena tidak mengetahui itu.
"Zahra, boleh mas bicara berdua dengan Kila sebentar?" Zahra langsung menganggukkan kepala, memberikan izinnya kepada suaminya.
"Silahkan, mas." ucap Zahra perlahan melepas pelukan Shakila, lalu menghapus air matanya yang ikut menetes karena perkataan madunya.
"Ayo, kita bicara di kamar." ajak Abian beranjak dari kursihnya, mengulurkan tangannya pada Shakila, bermaksud membantu istrinya berdiri.
"Jangan terlalu keras kepada istrimu, Abian."
Nyai Annisa menegur Abian, menyadari saat ini putranya sedang dikuasai oleh emosinya.
"Iya, umma. Aku hanya ingin bicara padanya."
"Nak, ikutlah dengan suamimu. Setelah itu kembali lagi kesini dan lanjutkan makanmu."
"Baik, umma." Shakila akhirnya beranjak, tapi tidak menerima uluran tangan Abian padanya.
Kyai Hanafi termenung melihat Shakila pergi dari ruang makan, tangisan Shakila membuat Kyai Hanafi teringat Nyai Annisa dan putrinya.
Kyai Hanafi pernah membuat istri dan putrinya menangis, saat Kyai Hanafi membawa wanita ke rumah, memperkenalkan selingkuhannya di depan putri mereka, tanpa peduli perasaannya.
Kyai Hanafi tidak bisa membayangkan kalau saat itu istrinya bunuh diri dan putri mereka hidup dengan membenci pria karena dirinya.
Hey! yang sudah menikah dan memiliki anak tapi masih berpikir untuk selingkuh, sadarlah! kalian sudah melukai buah hati kalian. Bukan hanya hati, mental mereka juga akan hancur.
"Kenapa menangis, heh?" tanya Nyai Annisa kepada suaminya yang tiba-tiba menangis.
"Maaf..." Kyai Hanafi turun dari kursihnya dan memeluk Nyai Annisa yang terduduk di kursih.
"Kamu umma dan istri yang sangat luar biasa, seharusnya aku tidak pernah berpikir menikah lagi dan selingkuh dari wanita sehebat dirimu."
Zahra terharu melihat mertuanya, Abian tidak salah memilih istri, Shakila bukan hanya peduli dengan perasaan Zahra, tapi membuat abah Abian menyadari kesalahannya di masa lalu.
-
Abian menutup pintu, setelah mereka masuk ke dalam kamar bercat putih dengan taburan kelopak bunga mawar dimana-mana, kamar pengantin yang sengaja dihias sedemikian rupa supaya nyaman untuk malam pertama.
"Kamar siapa ini, mas?" tanya Shakila melihat banyak taburan bunga mawar dimana-mana.
Perhatian Shakila teralihkan, saat ada tangan melingkar di perutnya, Abian memeluk wanita itu dari belakang. "sebentar saja, mas mohon."
Shakila hanya bisa pasrah Abian memeluknya. Lagipula, Abian suaminya, memiliki hak penuh atas tubuhnya. Apalagi, sekedar memeluknya.
"Apa yang ingin mas bicarakan hm?" tanyanya.
Shakila bisa selembut itu bicara kepada Abian, saat tidak ada Zahra diantara mereka. Shakila hanya berusaha menjaga perasaan Zahra saat Zahra bersama mereka, tidak bermaksud lain.
Shakila dan Abian sudah cukup lama menjadi rekan bisnis. Meskipun mereka tidak banyak interaksi, tapi hubungan mereka lumayan baik.
Shakila takut hubungan mereka menimbulkan salah paham, apalagi dengan keadaan Zahra yang memungkinkan untuk berpikiran negatif.
Shakila dan Abian murni rekan bisnis, setiap bertemu yang mereka bicarakan hanya kerja sama mereka. Makan bersama pun, mereka mengajak orang lain supaya tidak berduaan.
"Kamu sudah menjadi istriku, jangan berpikir untuk bercerai dariku, apapun alasannya, aku tidak akan menceraikanmu, Kila." ucap Abian.
"Mas..."
"Aku mencintaimu, Shakila Anara." lirih Abian.
"Mas mengajak aku kesini untuk mengatakan kalau mas mencintaiku, hum?" tanya Shakila.
Abian melepaskan pelukannya, membalikan tubuh Shakila supaya menghadap padanya.
"Ya, barangkali yang mas katakan belum jelas di telingamu, mas katakan lagi sekarang, mas mencintaimu." Abian meremas bahu Shakila.
"Aku sudah mendengarnya, mas. Tidak perlu kamu ulangi lagi, aku mendengar yang kamu katakan padaku kemarin-kemarin, sudah ya?"
"Kalau kamu mendengarnya, kenapa masih berpikir untuk cerai dari mas?" tanya Abian.
"Pernikahan kita bukan tentang perasaanmu, mas. Tapi tentang prinsipku, perasaan mba Zahra. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan merebut pria milik wanita lain."
"Tapi sekarang mas juga milikmu, suamimu."
"Sejak awal mas hanya milik mba Zahra, mas harus membuang perasaan itu kalau memang mas mencintaiku, perasaan dihati mas salah."
Tangan Abian dibahu Shakila perlahan turun, tubuhnya melemas mendengar yang Shakila katakan barusan. "perasaan mas tidak salah."
"Mas..."
"Baiklah, kalau kamu ingin bercerai setelah melahirkan anak, mas tidak akan membuat anak itu lahir ke dunia, dengan begitu tidak akan pernah ada perceraian." tegas Abian.
Shakila memejamkan matanya sejenak. "mas, kamu lupa ummamu menginginkan cucu huh?"
"Mas ingat!" Abian membuang nafas sebentar, berusaha untuk mengontrol emosinya supaya tidak sampai melukai istrinya. Abian kemudian kembali menarik Shakila ke dalam pelukannya.
"Allah membenci perceraian, Kila. Jadi jangan sampai kita bercerai, kamu tidak mau dibenci Allah, kan?" tanyanya tanpa emosi sedikit pun.
"Tapi, mas-"
"Mas memilihmu karena mas tahu kamu bisa menjaga perasaan Zahra dan kamu akan lebih mementingkan Zahra daripada dirimu sendiri."
"Mas tidak akan memintamu untuk mengalah dari Zahra, mas cuma minta marahi mas jika suatu hari mas berlaku tidak adil pada kalian."
"Zahra tidak mungkin marah kalau mas salah, dia hanya akan menangis, tapi kamu berbeda-"
"Aku suka marah-marah, maksud mas begitu?"
Abian terkekeh, melepaskan pelukannya dan menatap wajah Shakila. "bukan suka marah, kamu hanya tidak bisa mengontrol emosimu."
"Kapan aku seperti itu?" tanya Shakila tidak terima, karena merasa tidak pernah marah, lebih tepatnya tidak pernah di depan Abian.
Shakila hanya manusia biasa, sesabar apapun dia pasti pernah marah, tapi berbeda kalau di depan Abian. Karena Shakila CEO yang harus menjaga image perusahaan yang dipimpinnya.
Shakila dan Abian rekan bisnis, image Shakila sangat berpengaruh untuk kerja sama mereka, wajar Shakila menjaga image di depan Abian.
"Kamu emosian saat melihat ketidakadilan."
Kening Shakila berkerut, menatap suaminya.
Abian tersenyum. "kita bicarakan itu lain kali."
"Baiklah. Masih ada yang ingin mas katakan?"
Shakila tidak tertarik membahas ketidakadilan yang suaminya maksud, meskipun penasaran. Shakila hanya ingin pembicaraannya berakhir karena Zahra dan yang lain menunggu mereka.
"Kamu masih berpikir bercerai dari mas huh?"
"Entahlah, kita jalani saja dulu." jawab Shakila.
Shakila tidak ingin dibenci Allah, tapi hatinya tidak tega terhadap wanita yang kini berbagi suami dengannya, apalagi Zahra wanita baik.
"Kalau tidak adalagi yang ingin mas katakan, ayo kembali ke ruang makan." ajak Shakila.
"Mas baru tahu mamahmu sudah meninggal."
Shakila menahan langkahnya, menatap Abian.
...~Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments