DAPHNE
"Jadi kamu yang bernama Daphne?" pria berdagu lancip dengan potongan rambut buzz cut di sebelahku ini mengajak bicara.
"Iy--iya, dan kamu..William?" aku bertanya balik padanya dengan perasaan gugup.
William menganggukkan kepalanya sembari menyunggingkan sudut bibirnya, tersenyum menyeringai ke arahku. Feelingku berubah tidak enak.
Aku benci sekali berada di situasi seperti ini. Seharusnya aku tidak datang saja kemari. Tapi hal itu pasti akan menyakiti perasaan Hadley. Dia adalah sepupu perempuan yang paling dekat denganku. Kalau tidak hadir, Hadley pasti mengomeliku sepanjang tahun.
Sudah lama sekali aku tidak berinteraksi dengan seorang pria dan rasanya jadi luar biasa canggung. Terakhir kali berkencan, itu sekitar 2 tahun yang lalu. Setelah itu tidak lagi karena aku memilih untuk menikmati masa-masa sendiri. Cukup lama bukan?
Tak heran jika anggota keluarga besar Harper menjulukiku dengan sebutan perawan tua. Padahal apa salahnya di usia 25 tahun belum menikah? Kan memang belum dapat jodohnya. Apakah harus dipaksa jika calonnya tidak tersedia?
"Kamu mau berdansa denganku?" tawar William. "Kudengar dari Kakek, kamu sangat pintar sekali menari!"
Deghh...
Astaga, rahasia apa saja yang sudah Kakek bocorkan pada pria ini. Baru saja aku ingin menolak secara halus dengan berkata bahwa aku tak bisa berdansa. Ternyata dia sudah punya kartu AS-nya.
"Baiklah, ayo!" terpaksa aku mengiyakan.
Dilihat melalui ekor mataku yang sekilas melirik, Kakek sedang berdiri tegak mengamati pergerakanku dan William dari belakang. Pria tua itu pasti sudah sengaja merencanakan ini semua dari awal. Malang sekali nasibku.
"Kamu sangat cantik sekali, Daphne.." puji William yang tangannya kini sedang melingkar sempurna pada pinggang rampingku.
"**-terima kasih." aku menjawabnya terbata-bata.
"Aku ingin tahu, selain menari..hal apa lagi yang suka kamu lakukan di waktu senggang?" tanyanya disela-sela dansa kami.
"Melukis!" sahutku cepat. "Aku suka melukis." ucapku sekali lagi.
"Hebat sekali! Kamu pasti pintar menggambar ya?"
"Tidak juga. Aku masih perlu banyak belajar. Karena itulah aku mengikuti kursus." itu memang fakta. Melukis bukanlah hobby yang aku gemari sejak lama. Baru sekitar 3 tahun ke belakang aku mempelajarinya.
"Wow...sepertinya kamu serius sekali menekuninya! Tandanya itu bukan lagi hobi semata. Tapi sekedar saran dari aku, sebaiknya tak usahlah kamu melanjutkan kursus menggambarmu itu!"
"Kenapa begitu?" aku mendongakkan kepalaku keatas, menatapnya tak suka.
"Buang-buang waktu saja! Melukis itu aktivitas yang membosankan, Daph!" ejek William.
Aku mulai tak suka dengan arah pembicaraan kami.
"Itu kan bagimu saja, berbeda dengan persepsiku!" sahutku ketus.
William memajukan wajahnya kepadaku kemudian ia berbisik tepat di telinga, "Lebih baik, kamu fokus membahas pernikahan kita saja! Jadilah pendamping hidupku sekaligus ibu dari anak-anakku. Terdengar lebih menarik bukan?"
Kedua alis William bergerak naik turun dengan maksud nenggodaku. Sayangnya aku sama sekali tak tersentuh. Aku justru geli sendiri melihat tingkahnya.
"Pikirkan saja, ketika menikah nanti kamu mau pergi bulan madu kemana? Kamu mau mendapat mahar apa? Aku bisa saja belikan kamu mansion mewah dengan fasilitas yang begitu canggih. Kita buat banyak kamar karena aku ingin setidaknya kita memiliki 5 anak!"
"Mm--menikah? Siapa yang mau menikah denganmu?"
"Tentu saja kamu, Daph! Memang siapa lagi orangnya?" William menarik pelan hidungku yang mana langsung kutepis kasar. Pria ini sudah melampaui batasnya.
"Dan kamu pikir aku akan terima, Will?" balasku berdecih.
"Mengapa tidak? Aku tampan, rupawan, kaya, dan hartaku bergelimangan! Kamu tak mungkin menolak pria mapan sepertiku. Buktinya saja Kakekmu sampai mengemis datang padaku untuk menjodohkan kita!" tukas William dengan gaya angkuhnya.
Tuhan, mimpi apa aku semalam sehingga harus bertemu dengan orang yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi seperti dia. Gayanya sangat arogan. Dia pikir dia siapa?
"Maaf William, aku mau pergi sebentar."
Langsung kuhempaskan tangannya dari pinggangku dan aku melenggang pergi begitu saja meninggalkannya sendirian ditengah-tengah ballroom pelataran dansa.
"Hey, Daphne!! Mau kemana kamu?!!"
Aku menghiraukan seruan William yang memanggil namaku dari belakang. Biarkan saja! Aku tak perduli dengan pria payah sepertinya. Dia benar-benar menyebalkan.
Apa pria kualitas rendahan macam itu yang akan Kakek jodohkan denganku? Keterlaluan sekali Kakek.
Tiba-tiba saja saat aku berjalan, langkahku terhenti ketika melihat sepupuku Ashlyn tampak sedang ribut dengan seseorang.
Byurrr....
Ashlyn menyiramkan segelas jus jeruk pada pria yang mengenakan jas putih, ditengarai sebagai pelayan, tepat didepan mukanya persis. Tak hanya itu saja, Ashlyn juga menumpahkan sepiring pasta bolognese pada bajunya.
Tak tahan dengan kelakuan semena-mena Ashlyn, aku pun terpaksa menghampiri dan mencoba melerai keributan yang terjadi.
"Ashlyn...apa yang kamu lakukan?!"
Dia menoleh dan menatapku nyalang. "Diamlah Daph! Tak perlu ikut campur urusanku."
"Tentu saja aku akan ikut campur, sebab kamu telah membuat keributan di acara resepsi Hadley! Hentikanlah ini Ash..jangan permalukan keluarga kita! Hadley akan sedih melihat pestanya berantakan!" aku menasehatinya baik-baik, berharap Ashlyn mau mendengar.
"Jangan coba-coba mengaturku! Kamu tidak tahu saja kalau pelayan pria dihadapanku ini telah dengan sengajanya membuat gaun indahku rusak!" bentak Ashlyn.
"Rusak bagaimana? Gaunmu terlihat baik-baik saja, Ash!" kupandangi dari atas hingga kebawah, tak ada yang salah dengan gaun merahnya.
"Dia menginjak ekor gaunku hingga robek, lihatlah ini!" Ashlyn menunjuk pada bagian bawah gaunnya.
Memang sih robek, tapi itu hanya sedikit. Sekilas tidak akan terlihat. Tapi kenapa Ashlyn harus marah-marah seperti orang kesetanan?
"Lupakan saja Ash, robeknya cukup minor. Dilihat dari jauh tak akan nampak." agaknya Ashlyn sedikit menunjukkan reaksi yang berlebihan. Seharusnya ia tak perlu mempermalukan pria itu.
Kini aku beralih menatap sang pelayan yang posisinya duduk jatuh tersungkur. Kuulurkan tanganku untuk membantunya bangkit.
"Dengar ya pelayan...permintaan maafmu tadi tak akan berpengaruh apa-apa! Gaun kesayanganku tetaplah rusak. Aku ingin ganti rugi!" sentak Ashlyn tak menyerah.
Huftt...
Baru saja terlepas dari William, kini aku harus berhadapan dengan Ashlyn yang sedang mengamuk.
"Biar aku saja yang ganti rugi, Ash! Just let it go...kamu bisa kembali berkumpul dengan yang lainnya!" ucapku pada Ashlyn.
Setelahnya, aku menarik pria pelayan itu menuju area pojokan. Menjauhkannya dari atensi para tamu undangan.
***
"Hey, kamu tidak apa-apa kan?" aku mengeluarkan sapu tangan milikku dari dalam clutch.
"Tidak, aku baik-baik saja." jawabnya dengan raut wajah datar. Dia pasti masih terpukul karena dipermalukan Ashlyn tadi.
"Ini, kamu pakai saja sapu tanganku untuk membersihkan wajahmu itu!" kuserahkan sapu tanganku tadi padanya.
"Memangnya tidak apa-apa?" tanyanya canggung. Pria ini pasti kebingungan kenapa aku tiba-tiba baik padanya.
"Hmm..ambil saja. Aku tak masalah. Masih punya banyak di rumah," balasku tersenyum.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Keheningan menggantung sejenak diantara kami karena dia masih sibuk membersihkan pakaiannya dari saus merah dan juga rambutnya yang basah karena terkena jus.
"Maaf ya...kamu harus terkena sasaran amukan dari sepupuku," sengaja aku membuka suara untuk memecah kesunyian ini.
"Tak perlu minta maaf, itu bukan salahmu. Lagipula, orang kecil sepertiku sudah biasa mengalami hal tak mengenakkan seperti ini."
Ashlyn yang berbuat, tapi kenapa aku yang merasa tidak enak sendiri ya? Kasihan sekali dia.
"Apa kamu membawa baju ganti?"
"Tidak. Aku datang kemari langsung menggunakan pakaian ini," sahutnya lagi.
"Hmm..bagaimana kalau aku pinjamkan kemeja milik kakakku?" aku menawarinya. "Kakakku selalu menyimpan persediaan baju bersih di mobil. Kalau kamu mau, aku bisa ambilkan."
Pria itu menatapku lekat. Tatapannya sangat intens bagaikan mata elang. Rahangnya tampak begitu tegas dan tajam. Rambut tipis-tipis di wajahnya membuat pria ini terlihat semakin menawan.
Satu yang baru kusadari, pria ini sungguh tampan. Tingkat ketampanannya melebihi rata-rata bahkan.
Dia bertanya, "Mengapa kamu begitu baik padaku?"
"Dan mengapa aku harus jahat kepadamu?" aku balik membalasnya.
Tiba-tiba saja sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Siapa namamu?" tanyanya lagi.
"Daphne." aku menjulurkan tanganku kedepan untuk bersalaman dengannya. "Kalau kamu? Siapa namanya?"
"Decs. Namaku Decs."
"Hi Deck!! Senang berkenalan denganmu!" sapaku ramah.
"Bukan Deck..tapi D-E-C-S," dia mengeja huruf-huruf namanya satu persatu.
"Maaf, salah sebut!" aku menggaruk-garuk tengkuk leherku yang tidak gatal.
"Tak apa. Senang juga berkenalan denganmu, Daphne..."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
aishe
Declan nyamar jd pelayan ato gimane neh?
2022-11-22
3