A Dare

DECLAN

"Good Morning Decs..." sapa Mommy dan Daddy-ku secara berbarengan.

Namaku yang sebenarnya itu Declan. Tapi entah kenapa Mommy dan Daddy lebih suka memanggilku dengan sebutan Decs.

"Morning too Mom..Dad..." aku bergantian mengecupi pipi orang tuaku satu persatu.

"Semalam kamu pulang jam berapa, nak? Sepertinya masih mengantuk ya? Kedua bola matamu sampai merah begitu!" tanya Daddy.

"Iya, Dad. Pesawat yang aku tumpangi kemarin harus delay sekitar 2 jam akibat terkendala cuaca. Alhasil aku baru mendarat di London pada pukul 3 dinihari tadi. Dan sampai di rumah sekitar jam setengah 4."

"Astaga! Berarti kamu hanya tidur selama 3 jam?" giliran Mommy yang bertanya.

"Exactly!" ucapku seraya menuang sekotak susu cokelat pada mug favoritku. "Mungkin setelah sarapan aku akan tidur lagi, Mom."

"Hmm...kamu mempersulit dirimu sendiri Decs! Bukankah Daddy sudah katakan jika kamu bepergian, pakailah pesawat pribadi milik Daddy!"

"Aku lebih nyaman duduk di kursi pesawat dengan kelas ekonomi, Dad." sahutku santai sambil terkekeh.

Daddy dan Mommy hanya bisa menggeleng serta saling memandang. Mereka berdua pasti merasa aneh dengan prinsip yang aku terapkan.

Dalam 4 tahun terakhir ini, aku memang lebih menikmati hidupku dengan status low profile. Bukan sebagai pewaris tunggal dari kekayaan keluarga Parker, dan bukan pula CEO dari Parker Group.

"Oh ya Dec, jam 10 pagi nanti kamu ada pertemuan dengan rekan bisnismu ya dari Amerika? Siapa namanya, Daddy lupa?! Kalau tidak salah Mr. Johansson bukan?"

"Maksud Daddy, Romeo Johansson?" tanyaku memastikan.

"Yah..itu dia! Maaf kalau sedikit lupa dengan namanya. Daddy selalu memiliki ingatan yang buruk."

"Supposedly, yes. Tapi jadwal pertemuanku dengan Romeo terpaksa harus reschedule sebab ia tengah menemani istrinya melahirkan anak ketiga mereka."

Sontak kedua bola mata Mommy dan Daddy terbelalak. Mereka tampak terkejut dengan berita yang aku kabarkan.

"Anak ketiga? Wah..cepat sekali punya momongan lagi. Setahu Mommy istrinya baru melahirkan tahun lalu, tapi sekarang anggota keluarga mereka sudah kembali bertambah," kata Mommy.

"Romeo memang suka sekali dengan anak kecil, Mom. Aku tak terlalu heran jika tahun depan istrinya akan hamil lagi."

"Kamu sendiri kapan akan memberikan kami cucu, Decs?"

Deghh...

Ini dia pertanyaan yang paling aku hindari. Aku sangat tidak suka jika kedua orang tuaku mulai membahas tentang pernikahan, anak, ataupun hal-hal lainnya yang berkaitan.

"Dad..we've already talked about this." aku menatap Daddy dengan wajah yang datar.

"Ayolah Decs, usia kamu sudah kepala 3 sekarang. Ini waktunya kamu untuk hidup settle dan berkeluarga. Tidakkah kamu ingin menikah dan mempunyai anak seperti teman-teman kamu yang lain?" ucap Daddy dengan nada yang serius.

Aku memalingkan pandanganku ke sembarang arah dan berdecak malas. "Aku tak memiliki keinginan untuk menikah." ungkapku secara gamblang.

"Declan Joseph Parker!"

Mommy menyebut nama panjangku secara lengkap dengan penuh penekanan pada setiap katanya, menandakan bahwa hatinya sedang diliputi amarah.

Aku menegaskan lagi, "Sudah berulang kali kukatakan pada kalian bahwa aku tak mau menikah. Dan tak akan pernah menikah."

"Kenapa begitu? Apa alasannya?" tanya Mommy penasaran. Ia bahkan menjatuhkan garpu serta sendok yang dipegangnya, lalu digeletakkan begitu saja.

"Jangan pura-pura. Mommy sudah tahu jawabannya." aku tak menggubrisnya lagi dan memilih lanjut mengolesi selai pada selembar roti tawarku ketimbang meladeni mereka.

"Alasan kamu tidak masuk akal Decs!" sanggah Daddy.

"Tidak masuk akal bagaimana? Faktanya memang begitu bukan? Semua perempuan yang dekat denganku selalu memanfaatkan privilege yang aku punya. Mereka semua tak lebih dari seorang pengkhianat, tukang selingkuh, dan yang paling utama mereka juga matrealistis!" aku balik berbicara ketus.

"Tidak semua perempuan di dunia ini berhati buruk, Declan. Jangan kamu sama ratakan semua perempuan itu sama dengan para mantan kekasihmu. Buang jauh-jauh pemikiran yang seperti itu!" Daddy menasehatiku.

"Ckk..nyatanya memang wanita seperti itu, Dad! Mereka sama--"

Daddy kemudian menyela, "Hey, jaga bicaramu jagoan! Buktinya Mommy-mu tidak tergolong dalam kategori wanita dengan sifat-sifat yang baru saja kamu sebutkan tadi!"

"Mommy adalah sebuah pengecualian. Selain itu, aku tak pernah benar-benar menemukan orang yang tulus padaku. Aku tak percaya dengan wanita diluaran sana kecuali Mommy. Itulah mengapa aku betah menyendiri," jawabku jujur.

Selama ini aku selalu kesulitan mendapatkan pasangan yang menerimaku apa adanya tanpa syarat. Buktinya selama aku hidup menjadi orang biasa dalam beberapa tahun terakhir, tak ada satupun wanita yang tertarik memacariku.

Kebanyakan dari mereka tak mau jika kuajak menjalin kejenjang yang lebih serius. Mereka hanya menganggapku sebagai teman biasa. Padahal dari segi fisik, wajahku ini tidak terlalu buruk. Sekali lagi, sifat mereka yang seperti itu semakin menguatkan teoriku bahwa pada dasarnya wanita itu matrealistis.

"Mau coba Mommy kenalkan dengan anak gadis dari teman-teman Mommy?" tanya Mommy lagi.

"No." jawabku singkat.

Mommy adalah seorang wanita dengan status sosial tinggi. Predikat high-class begitu melekat pada citranya. Circle pertemanannya pun juga terkenal elit.

Kalau sampai Mommy menjodohkanku dengan anak dari salah satu temannya, maka itu sama saja bohong. Mereka pasti akan langsung menerimaku karena aku berasal dari keluarga Parker.

Daddy ikut-ikutan menawari, "Atau kamu mau kenalan dengan anak perempuan dari rekan bisnis dan para sahabat Daddy?"

"No Dad..Mom..Stop pushing me!"

Terang-terangan aku menolak keras tentang apapun yang ada kaitannya dengan perjodohan. Aku tak suka pembicaraan ini. Membuat kepalaku pecah rasanya.

"Mau sampai kapan kamu akan begini terus Declan? Keluarga kita butuh seorang pewaris untuk meneruskan bisnis Parker Group! Hanya kamu satu-satunya harapan yang kami punya."

Mereka sungguh tak mengerti dengan jalan pikiranku. Jangankan mereka, aku sendiri saja tak mengerti masa depanku akan seperti apa nantinya.

"Jika keinginan kalian begitu, maka Mommy dan Daddy bisa mengadopsi anak dari panti asuhan saja. Kemudian didiklah anak itu dengan baik agar kelak dia bisa memegang kendali kursi kepemimpinan Parker group." sengaja aku menanggapinya dengan sarkas.

"Ya Tuhan Decs, semudah itukah kamu berbicara? Ini bukan hanya tentang pewaris saja nak..tapi ini juga tentang Daddy serta Mommy yang memiliki keinginan besar untuk menimang seorang cucu. Anak kandung kamu..keturunan yang merupakan asli darah daging kami."

Aku menggigit roti selaiku dan berkata, "But sadly I can't give you that.."

Mommy memejamkan matanya menetralkan perasaannya. Hal yang sama terjadi pada Daddy. Mereka berdua menghembuskan nafasnya kasar sambil mengelus dada karena menahan emosi yang berada pada puncak kepala.

Yakin 100 persen jika mereka kehabisan kata-kata menghadapiku yang keras kepala ini.

Aku merasa hidupku sudah lengkap, jadi aku tak butuh seorang wanita. Aku happy dengan kondisiku yang sekarang. Hidup bagaikan kupu-kupu yang berterbangan kesana kemari mencari kebebasan.

Andai kata aku sudah menikah sekarang, hidupku pasti akan membosankan. Secara tidak langsung, aku dipaksa untuk terikat dan berkomitmen pada satu orang. Yang artinya, aku tak lagi bisa melenggang pergi semauku.

Suasana pagi yang mendung ini mendadak jadi semakin kelam. Burung-burung taman yang tadinya sempat berkicau menemani sarapan pagi kami pun juga enggan mengeluarkan suaranya lagi.

Keheningan menggantung cukup lama diantara kami sebelum Daddy kembali membuka suara.

"Daddy akan berikan kamu kesempatan dan waktu untuk membawa calon istri pilihanmu datang ke rumah!" celetuk Daddy tiba-tiba.

"Dan bagaimana jika itu tidak aku lakukan?" Aku menyunggingkan senyuman menyeringai di sudut bibirku.

"Terpaksa Daddy akan menjodohkan kamu dengan gadis pilihan Daddy. Suka tidak suka kamu harus menerimanya dengan lapang dada."

Aku menyugar kasar rambutku ke belakang dan menyandarkan tubuhku pada kursi dengan rasa frustasi.

"Ckk..ini lagi..ini lagi pembahasannya. Tak bisakah kita sebagai keluarga duduk bersantai bersama tanpa sekalipun berbicara tentang pernikahan, Dad? Lelah sekali rasanya jika dipaksa terus menerus. Apa Daddy mau melihatku mati muda karena stress akibat perjodohan?"

"Take it or leave it, Decs. Ini adalah tantangan untukmu. Jika kamu gagal, Daddy akan langsung atur tanggal pernikahanmu dengan anak perempuan dari rekan bisnis Daddy."

"Percaya diri sekali, Daddy pikir perempuan itu mau menikah dengan pria sepertiku?"

Daddy tersenyum mengejek. "Diluar sana, banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrimu! Kamunya saja yang jual mahal dan terlalu memasang standar yang begitu tinggi. Sehingga ketika ekspektasi kamu tak sesuai realita, kamu jadi merasa drop." balas Daddy dengan menohok.

Dan sarapan pagi kami di hari itu akhirnya harus berakhir dengan perdebatan sengit yang tiada berujung antara aku dan kedua orangtuaku.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!