Tidak terasa, hampir satu bulan sudah hubunganku dan Fia, sahabatku, mulai merenggang. Sepertinya, wanita yang telah merebut ayahku, benar-benar membuat kami menjauh satu sama lain. Biarlah, mungkin ini yang terbaik bagi kami.
Suara ponsel menghancurkan fokusku. Nama Andra terlihat di sana. Mau apalagi, pria ini. Urusan kerjasama di antara kami, sudah selesai sejak dua minggu yang lalu. Entah apalagi yang pria ini inginkan.
"Halo," jawabku. Setelah berpikir beberapa saat, aku memutuskan untuk positif thinking lebih dulu.
"Halo, Li. Apa kau sedang sibuk?"
Sebelah alisku terangkat mendengar pertanyaan itu. Tidak tahukah dia, bila dialah yang menghancurkan fokusku?
"Saya sedang sibuk. Jadi ada apa, Pak Andra, menghubungi saya?" tanyaku dengan sedikit ketus.
"Ah, saya mau ajak kamu makan siang bareng. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih, karena kamu sudah membantu saya."
Alasan yang klise. Entah sudah berapa kali dia mengajakku dengan alasan yang sama. Namun, aku selalu menolaknya.
"Maaf, Pak. Saya ...." Belum selesai aku bicara, pria itu memotongnya.
"Mau menolak lagi? Kali ini, apa alasannya? Sibuk, banyak pekerjaan, tidak punya waktu? Yang mana?"
Pria ini benar-benar menyebalkan. Jika saja ia berada di depanku, sudah pasti akan kuhajar. Menyebalkan!
"Kalau begitu, sebaiknya saya jujur." Tidak ada sahutan dari seberang sana. Mungkin saja, ia sedang menunggu kelanjutan dari ucapanku.
"Urusan di antara kita hanyalah sebatas pekerjaan. Lagi pula, saya tidak punya kewajiban untuk menemani, Anda." Benarkan, yang aku ucapkan?
"Kau benar. Tapi, apakah aku tidak boleh menjadi temanmu?"
"Tidak. Saya tidak ingin berteman dengan, Anda!" jawabku cepat.
Sungguh, aku tidak ingin memiliki hubungan dengan pria ini. Entah mengapa, alarm tanda bahaya dalam diriku berbunyi nyaring, saat bersama dia.
Tanpa menunggu jawabannya lagi, aku segera memutus panggilan tersebut. Setelah itu, aku segera melanjutkan pekerjaan, hingga jam pulang tiba.
"Li, mau nongkrong, gak?" ajak salah satu teman kantorku.
"Sorry, guys. Gue udah ada acara lain," tolakku.
"Sama klien yang pake jasa asuransi jiwa kita itu, ya?"
Aku mengerutkan dahi mendengar pertanyaan itu. Entah siapa yang menyebar berita hoax macam ini.
"Gak, kok," sanggahku.
"Tapi dia udah nungguin di bawah, loh!"
"Tahu dari mana?"
"Tadi, anak-anak resepsionis heboh di toilet. Mereka bilang, bisa-bisanya Lo dapet mangsa begitu. Sampe rela nungguin Lo selama hampir satu jam."
Mendengar itu, aku hampir tersedak saliva sendiri. Untuk apa pula, pria itu di sini. Gak usah GeEr, Li. Bisa jadi dia ada pertemuan dengan atasan. Aku hanya memperingati diri sendiri. Bisa malu, jika ternyata asumsi mereka semua salah.
"Mungkin dia ada janji sama pak Irawan," ucapku.
"Ngaco! Pak Irawan itu, udah pulang dari sore!"
Aku pun mengendikkan bahu tak peduli. Berlalu, meninggalkan ruangan itu. Tiba di loby, ternyata apa yang teman-temanku bicarakan, memang benar. Mendadak langkahku terhenti. Menyebalkan. Entah apa lagi yang akan terjadi. Aku yakin, sebentar lagi gosip akan menyebar.
"Kali ini, kau tidak boleh menolakku," ucapnya saat berdiri di depanku.
"Sepertinya, saya harus menetapkan batas pada, Anda. Dengar! Saya tidak ingin memiliki hubungan apa pun dengan, Anda. Selain pekerjaan. Jadi, tolong jangan hubungi atau dekati saya lagi!"
Sepertinya, ia terkejut dengan ucapanku. Biarlah. Itu jauh lebih baik. Merasa penat, aku memutar stir menuju club'. Lagi pula, sudah lama aku tak ke sana.
Jalan yang macet, tak menghalangi niatku untuk berada di sana. Setelah memarkirkan mobil, aku mengambil pakaian ganti dan segera menggantinya. Selesai dengan costum, aku segera melangkah masuk.
"Hai, Bi," sapaku pada Bianca.
"Hai," balasnya.
Entah apa yang ia cari sampai seperti itu. Aku pun mendudukkan diri di depan meja bar. Bartender yang tengah bertugas, segera memberikan minuman kesukaanku.
"Kok, tumben Dia gak ngikutin lo?"
"Gak tahu. Lagian, udah hampir satu bulan ini, dia ngilang gitu aja."
"Lo gak coba hubungi dia?"
"Buat apa? Dia juga gak hubungi gue."
"Siapa tahu dia punya masalah, atau butuh bantuan, tapi sungkan."
Aku hanya mengendikkan bahu tak peduli. Maaf, Bi. Kali ini, biar aku sendiri yang tahu, hubungan sebenarnya di antara aku dan Fia. Entah Fia mengetahuinya atau tidak. Kesenanganku hancur seketika, saat mendengar sebuah suara yang terasa familiar.
"Hai, Bi. Mana Steven?"
Aku memilih membuang pandangan dari pada menatapnya. Seakan kehadirannya tak terlihat.
"Ada. Lagi di ruang kantor kayanya," jawab Bianca.
"Hai, Li. Sepertinya kita memang berjodoh, sampai bisa bertemu di sini," ujar pria itu.
Mendengar kata-kata terakhirnya, membuatku mengalihkan pandangan. Bianca menatapku dengan memicingkan mata. Entah apa yang wanita ini pikirkan.
"Tutup mulut, Lo!" desisku.
"Liana, sejak pertama kali aku melihatmu di tempat ini, aku jatuh hati. Mau kah kau menjadi pacarku?"
Tubuh ini terasa membatu, mendengar pernyataannya. Kedua mataku terbuka lebar. Tak menyangka, bila pria ini akan menyatakan cinta padaku. Sayang, aku seakan tak tergugah melihatnya.
"Gue gak mau jadi pacar lo!" jawabku tegas.
"Cepat sekali kau menjawabnya? Bahkan, tanpa memikirkannya dulu," protesnya.
"Terserah!"
Aku menyambar tasku dan pergi dari sana. Moodku benar-benar hancur. Pria itu seakan tak ingin melepaskanku, hingga menghadang langkah ini.
"Bisa, Anda, lepaskan saya?" desisku.
"Boleh. Dengan syarat, kau harus menjadi pacarku." bisiknya.
***
sekian dulu ya guys... ngantuk... sambil menunggu, yuk, baca karya ini
Antonie adalah pemulung yang mati akibat ulah Sonya, putri pemilik Rumah Sakit Harapan Kita.
Setelah kematiannya, Antoni bertemu dengan seseorang pria tua yang ramah. Awalnya Antonie tidak tahu jika dirinya telah mati, namun setelah obrolan dengan pria tua itu, Antonie tahu jika telah mati.
Pria tua itu bisa menghidupkan si Antoni, asal ada syaratnya, yaitu, merubah dunia kedokteran yang sudah rusak karena keserakahan....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments