Orang bilang, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Inilah yang saat ini ku alami. Bekerja keras tak kenal lelah, membuat usaha yang kudirikan maju pesat. Dalam kurun waktu enam bulan, aku mampu membuat dunia bisnis, mengakui keberadaanku.
Kini, usaha yang kurintis mulai menunjukkan kestabilan. Meski masih memperoleh sedikit keuntungan, itu tak membuatku menyerah. Entah sudah berapa lama aku tak mengunjungi club' ini. Padatnya pekerjaan, membuatku tak bisa seenaknya melangkah keluar.
Selagi ada waktu, tidak ada salahnya menyempatkan diri ke club' milik salah satu teman kuliahku. Dia tidak berubah. Selalu menjadi Mak comblang bagi teman-temannya. Kuhampiri dirinya yang duduk di meja bartender bersama temanku yang lain. Mungkin, mereka kini bersama. Karena setahuku, Steven menyukai Bianca.
"Hai, Bro," sapaku pada Steven.
Pria blasteran itu menoleh dan menyambutku ramah. Begitupun Bianca.
"Hei, Ndra. Wah, udah jadi bos dia sekarang." Entah dia sedang memuji, atau mengejekku.
"Ah, bisa aja, lo."
"Udah jadi bos, harusnya udah punya gandengan dong, ya." Bianca sepertinya menyindirku.
"Gak juga. Buktinya, gue masih sendiri," ucapku jujur.
Mereka terbahak mendengar kejujuran ku. Biarlah. Toh, aku memang tidak punya waktu untuk mencari gandengan. Meski itu, hanya pura-pura.
"Bro, ke sana, yuk," ajakku pada Steven.
"Yuk, Yang."
Sepertinya, tebakanku tepat. Mereka, bukan hanya sekedar teman dekat lagi. Lihat saja cara Steven memanggilnya. Belum lagi perlakuannya yang terkesan bucin.
"Kalian aja, deh. Salah satu teman SMAku mau datang," tolaknya.
"Ya, udah. Kalo ada apa-apa, aku di sana, ya."
Oh, God! Selamatkan jiwaku yang jomblo ini, doaku dalam hati. Sungguh, melihat kebucinan serta kemesraan mereka, membuat perutku mual.
Segera kutarik pundak Steven menjauh dari sana. Sebelum aku muntah melihat kejadian yang lainnya. Kami duduk sedikit menjauh dari Bianca. Membicarakan hal remeh temeh, yang jauh dari kata bisnis.
"Bro, udah waktunya lo cari pacar. Apalagi, sih, yang lo cari?" tanya Steven.
Aku hanya mengendikkan bahu tak tahu. Perhatianku teralihkan, saat seseorang duduk di samping Bianca. Wanita itu terlihat cantik. Apalagi, saat ia tersenyum. Aku tersadar, saat Steven menepuk pundak ku.
"Kenapa, Bro?" tanyaku.
"Lo, ngeliatin siapa, sih?" Steven terlihat mengarahkan tatapannya pada objek yang ku lihat.
"Bukannya itu Liana? Tumben banget, dia ke sini," gumamnya.
"Lo kenal dia?" tanyaku.
"Kenal banget. Dia itu Liana. Cantik, sih, tapi sayang, juteknya gak ketulungan. Belum lagi, dia itu galak dan gak bisa kesentuh, sebelum dia yang mulai nyentuh."
Mataku terus menatapnya. Cara dia berpakaian, tidak seperti gadis lain. Dia justru menggunakan jeans dengan lubang di dengkul dan paha. bagian atasnya, menggunakan jaket jeans berwarna senada.
Tak lama, datang lagi seorang gadis lain. Kali ini, dia terlihat jauh lebih feminim dibanding gadis bernama Liana. Ponsel yang berbunyi, membuatku mengalihkan perhatian. Rupanya, mamaku tercinta yang menghubungi. Beliau, memintaku segera pulang.
"Bro, gue pamit, ya," ucapku pada steven.
"Buru-buru banget? Belum ada satu jam Lo di sini, udah mau balik aja," gerutu sahabatku.
"Biasa, ibu negara sudah bertitah," jawabku.
"Yah, kalo alasan lo itu, sih, gue gak bisa bilang apa-apa," ucapnya.
Aku terkekeh mendengar jawabannya. Kemudian, menghampiri Bianca untuk berpamitan. Tanpa disangka, Bianca memperkenalkan dua temannya, yang sudah kulihat bersama Steven tadi.
Liana terlihat tak peduli denganku. Gadis itu, bahkan berlalu dan menginjakkan kakinya di lantai dansa. Dari sini, aku bisa mengawasinya.
Entah apa yang terjadi, gadis itu memelintir tangan pria yang berdiri didekatnya tadi. Mungkinkah, pria itu melakukan tindak asusila padanya? Tak lama, pria itu mendorong Liana, hingga gadis itu terjungkal.
Mataku terbelalak lebar, kala pria itu menjambak Liana. Entah mengapa, darahku mendidih melihat hal itu. Dengan langkah pasti, kudekati tempat itu. Kemudian, menarik kerah bajunya kuat.
Tanpa basa-basi, kulayangkan bogem mentah pada pria itu. Menghajar pria itu hingga ia meminta ampun. Puas menyalurkan rasa marah, kuhempaskan tubuhnya menjauh.
Kualihkan perhatian pada Liana. Di sampingnya ada Bianca dan gadis bernama Fia. Aku pun menghampirinya sekedar ingin tahu keadaannya.
Sayang, ia menuduhku yang tidak-tidak. Aku sempat terperangah mendengar ucapannya. Merasa tak percaya, bila gadis di hadapanku ini berpikiran sepicik itu.
Aku pun memilih berpamitan pada Bianca. Sudah tak berniat meladeninya lagi. Tak lama, gadis itu pergi begitu saja. Tidak ada ucapan terima kasih sedikit pun.
Sabar, Ndra. Dia itu cewek. Cewek itu, maha benar, ucapku pada diri sendiri. Namun entah kenapa, aku seakan mencemaskan dirinya. Suara Steven yang memanggil, mengalihkan perhatianku dari gadis itu.
"Lo, gak apa, 'kan?" tanyanya.
Tidak hanya dia yang mendatangiku. Ada Bianca dan gadis lain, yang tak kuingat siapa dia. Entahlah. Fokusku hanya pada Liana saja tadi.
"Gak apa, kok. Gue baik-baik, aja," jawabku.
Namun, senyum di wajah Steven membuatku mengerutkan dahi. "Lo, kenapa senyam-senyum begitu? Kesurupan?" tuduhku.
"Lo suka, ya, sama Liana?" bisiknya.
"Gak!" jawabku cepat.
"Sayangnya, gue terlalu mengwnal Lo, Bro! Lo gak akan sepeduli itu sama cewek, kecuali Lo tertarik sama dia!"
"Sok tahu!" Aku memukul pundaknya keras.
Seenaknya saja, dia menuduh. Malas mendengar ocehannya, membuatku berlalu dari sana. Sayangnya, benakku justru mempertanyakan apa yang Steven tanyakan tadi.
Benarkah aku menyukainya? Love at the first sight? Ah, itu tidak mungkin. Tidak mungkin! Gadis sedingin es seperti Liana, tidak mungkin bisa menarik perhatianku. Ya, itu benar.
***
Hayo, menurut kalian, apa babang Andra jatuh cinta pada pandangan pertama, sama Liana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
oyen
bisa jadi
2022-11-22
1