Bab 4. Rencana Rahasia.

Bunga berjalan mengendap-endap di samping paviliun kayu kecil di belakang rumahnya. Ia selalu penasaran dengan beberapa lelaki yang hampir setiap minggunya berkumpul di sana bersama ayahnya.

Gadis itu menempelkan telinganya ke dinding paviliun dan menajamkan pendengarannya. Ia ingin tahu apa yang sedang dibicarakan oleh para lelaki itu.

"Dalam lima tahun ke depan."

"Apa tidak terlalu lama, Pak Wirya?"

"Saya sudah muak sekali dengan para penjajah itu."

"Jangan gegabah. Persiapan kita masih jauh dari matang."

"Tugas kita menjaring sebanyak-banyaknya para buruh pabrik dan perkebunan."

Bunga mencoba mencerna pembicaraan para lelaki itu. Mereka terdengar begitu serius. Ia semakin penasaran ingin mendengarkan lebih.

"Ndhuk?"

Bunga terlonjak saat bahunya disentuh oleh seseorang. Ia segera memutar badan dan mendapati sang ibu berdiri tidak jauh di hadapannya sambil mengerutkan kening.

Perempuan itu, Ratih, mendekati sang putri. "Kamu menguping?" tanyanya.

"Oh, i-itu, Bu ...." Bunga menggaruk kepalanya. Ia merasa canggung tertangkap basah oleh ibunya sedang menguping pembicaraan para lelaki di dalam paviliun.

"Tidak boleh menguping, Bunga. Nanti ketahuan Bapak bisa dimarahi." Ratih menggandeng tangan sang putri masuk ke dalam rumah.

"Memangnya mereka sedang apa, Bu?" tanya Bunga saat keduanya berada di dalam rumah. Duduk di balai bambu yang ada di dapur.

"Membicarakan hal penting," jawab Ratih sambil mengambil ceret dari atas tungku api, lalu menuang airnya ke dalam gelas-gelas yang sudah diisi teh dan gula oleh Mbok Pai, yang sejak tadi sedang berkutat di dapur.

"Hal penting apa, Bu?" tanya Bunga.

"Urusan orang tua. Anak kecil tidak perlu tahu," jawab Ratih. "Camilannya sudah siap, Mbok?" Ia bertanya pada sang pembantu.

"Sudah, Ndoro." Mbok Pai mengambil sepiring besar pisang goreng dan singkong rebus dan meletakkannya ke atas nampan, berdampingan dengan gelas-gelas teh. "Diantar sekarang, Ndoro?"

Ratih mengangguk. Ia lalu mengambil sisa camilan di atas piring kecil dan segelas teh untuk diberikan pada Bunga.

"Kata Bapak kemarin kamu main ke sungai dengan anak-anak lelaki?" tanya Ratih mengalihkan topik pembicaraan dengan putrinya itu.

Bunga menggeleng. "Sebenarnya bukan ke sungai, Bu," jawab Bunga jujur.

"Lalu ke mana?" Sang ibu menautkan alisnya.

"Kolam renang."

Sepasang mata Ratih membulat. Kolam renang satu-satunya di Semarang tidak boleh dimasuki oleh pribumi. "Bagaimana kamu bisa masuk ke sana?" Dadanya berdebar. Wajahnya yang masih ayu terlihat cemas.

"Ibu jangan bilang pada Bapak, ya?" pinta Bunga. "Aku pergi ke sana dengan teman sekolah. Jacob."

Mendengar nama yang disebut oleh Bunga, sudah pasti bukan anak pribumi. Hal itu semakin membuat Ratih merasa cemas. "Ibu tidak akan bilang pada Bapak. Asal jangan kamu ulangi, Bunga."

"Memangnya aku tidak boleh bergaul dengan anak Blijver**s?"

"Bukan masalah itu, Bunga. Ibu hanya khawatir kamu ada apa-apa nanti."

Bunga memanyunkan bibir. "Bu, kenapa orang Belanda menyamakan kita dengan anjing?"

"Karena kedudukan mereka lebih tinggi di negeri ini."

"Kenapa mereka bisa menduduki negeri kita, Bu?"

Ratih menghela napasnya berat. Bunga yang usianya menginjak sebelas tahun, memang mulai berpikir kritis. "Mereka sudah di sini selama ratusan tahun," terangnya.

"Kita tidak apa-apa, ya, Bu, hidup di bawah kekuasaan orang asing?" tanya Bunga. Ia mulai menyadari perbedaan strata yang signifikan antara pribumi dan Belanda.

Ratih tersenyum hambar. Saat dirinya remaja, ia pernah menyaksikan sebuah pemberontakan orang-orang pribumi melawan pemerintah Belanda. Dan itu sudah memberinya jawaban bahwa mereka tidak baik-baik saja.

"Tapi, Jacob berbeda, Bu. Dia tidak sama dengan yang lain. Dia baik dan tidak pernah menganggapku anjing."

"Jacob mungkin satu di antara seribu. Tapi, tetap saja kamu akan mendapatkan masalah kalau terlalu dekat dengannya."

"Tapi, Jacob sahabatku, Bu."

Ratih mengelus lengan sang putri. "Iya. Tapi, segala sesuatunya tidak akan sama nanti saat kamu dewasa."

Kembali Bunga memanyunkan bibir. Ia senang sekali memiliki sahabat seperti Jacob. Terlepas dia seorang Blijvers, Jacob adalah teman yang menyenangkan. Bunga bahkan lupa bahwa mereka adalah dua anak yang berbeda.

Di sekolah, kadang Bunga dan Jacob menghabiskan waktu istirahat dengan membaca buku di perpustakaan. Kadang juga mereka bermain di taman belakang sekolah.

Beberapa kali juga mereka mendatangi tempat-tempat menyenangkan di kota Semarang. Meskipun harus mencari waktu yang tepat agar tidak diketahui oleh kedua orang tua masing-masing.

***

Terpopuler

Comments

𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱

𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱

ooohh ,klo jaman skrg mreka msh SD ya 🤔🤔🤔

2022-12-08

0

𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱

𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱

hoyoloooooohh nguping nguping

2022-12-08

0

🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️

🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️

tempat menyenangkan zaman dahulu itu apa y???

2022-11-27

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!