"Bunga, kamu dari mana? Kenapa rambutmu basah? Kamu main di sungai?" Mbok Pai memberondong Bunga yang baru saja masuk melalui pintu belakang.
Bunga menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya, meminta perempuan paruh baya itu untuk diam. Sebab ia takut suara rewangnya itu didengar oleh bapak dan ibunya.
"Mbok Pai jangan katakan apapun pada Bapak dan Ibu, ya?" pinta Bunga sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan dada.
"Memangnya kamu dari mana?"
Bunga celingak-celinguk memastikan kedua orang tuanya tidak ada di sekitar dapur. "Aku pergi ke kolam renang dekat pasar Johar, Mbok," bisiknya.
Sepasang mata Mbok Pai membulat. Ucapan putri majikannya itu benar-benar membuatnya terkejut. "Bukannya kolam renang itu hanya diperuntukkan bagi orang Belanda saja? Kenapa kamu bisa masuk ke sana?" tanyanya. Tetapi, sejurus kemudian Mbok Pai menemukan jawabannya. "Kamu pergi dengan anak itu, ya?"
"Namanya Jacob, Mbok," ralat Bunga.
Mbok Pai menghela napas dalam-dalam. Gadis yang sejak lahir sudah menjadi momongannya itu memang benar-benar bandel. Jika bapaknya tahu, dirinya lah yang akan terkena masalah.
"Sudah, ya, Mbok, aku mau ganti pakaian." Bunga bergegas meninggalkan rewangnya itu sebelum perempuan yang sudah mengasuhnya dari bayi itu menasehatinya.
Bunga berjalan cepat menelusuri koridor menuju kamarnya. Tetapi, sebelum ia sempat membuka pintu, ia dikejutkan oleh kehadiran sang ayah yang memandangnya dengan heran.
"Bapak," sapa Bunga sambil meringis. Ia berpura-pura merapikan rambutnya yang basah.
Lelaki berkulit sawo matang itu, Tumenggung Wirya Tjokrowedono, menatap sang putri penuh selidik. "Kamu dari mana, Bunga?"
"Dari ... dari ...." Bunga berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang ayah. Tetapi, sepertinya otaknya mendadak buntu.
"Sungai?" tebak Tumenggung Wirya. "Bermain di sungai dengan anak-anak lelaki?"
Bunga mengangguk pelan. "Maaf, Bapak," ucapnya lirih seraya menundukkan kepala.
"Bapak sudah pernah katakan sama kamu, Bunga. Kamu ini anak perempuan, jangan suka keluyuran ke mana-mana, main sama anak lelaki." Tumenggung memberi peringatan kepada sang putri.
"Kalau sudah selesai sekolah, pulang ke rumah. Tidak usah mampir ke mana-mana. Jangan memaksa Mbok Pai untuk berbohong sama Bapak, menutupi kelakuanmu, Bunga."
"Bapak menyekolahkan kamu, agar kelak kamu dewasa, bisa menjadi ibu yang bisa mendidik anak-anakmu dengan baik."
Bunga masih menunduk mendengarkan nasihat panjang lebar dari sang ayah. Dalam hati ia berharap lelaki itu segera menyudahi ceramahnya. Nasehat yang selalu sama setiap kali dirinya berulah. Rasanya Bunga sudah hapal setiap kata yang terucap dari bibir Tumenggung Wirya.
***
Jacob berdiri menundukkan kepala di depan meja kerja ayahnya, Ambroos Janssen. Lelaki berambut pirang dengan mata biru serupa dengan milik sang putra itu melipat tangan di depan dada seraya menatap Jacob.
"Waar was je (Dari mana saja kamu), Jacob?" tanya Ambroos, dengan intonasi menginterogasi. Meskipun sebenarnya sudah ada anak buahnya yang melaporkan ke mana dan dengan siapa putranya itu pergi. Ia hanya ingin menguji kejujuran Jacob.
"Zwembad (Kolam renang), Papa." Masih menunduk, Jacob menjawab. Ia menyadari dirinya sudah melanggar aturan sang ayah untuk tidak keluar rumah sendirian.
"Papa pikir aturannya sudah cukup jelas. Papa larang kamu pergi dari rumah sendirian karena beberapa faktor. Tapi, faktor paling penting adalah, itu sangat berbahaya," terang Ambroos. "Bagaimana kalau ada orang pribumi yang membenci Papa dan menculik kamu?"
"Ja, het spijt me (Iya, maafkan aku), Papa," ucap Jacob lirih.
"Kamu pergi dengan siapa, Jacob?" tanya Ambroos kembali.
"Teman dari sekolah."
"Inlander (Pribumi)?" Ambroos menatap sang putra sembari memiringkan kepala.
Jacob mengangguk. Dadanya berdebar menunggu reaksi sang ayah. Ada ketakutan yang melanda hatinya. Ia takut tidak bisa berteman dengan Bunga lagi.
Sementara Ambroos mengelus janggutnya yang ditumbuhi rambut tipis. Ia terdiam untuk beberapa saat. Dari laporan anak buahnya, Jacob pergi ke kolam renang bersama anak Tumenggung Wirya yang menjabat sebagai bupati.
Meskipun tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam masa jabatannya ini, tetapi, Ambroos tidak sepenuhnya percaya pada Tumenggung Wirya. Sejujurnya ia tidak percaya pada semua orang pribumi. Bisa saja sewaktu-waktu mereka memutuskan untuk melakukan pemberontakan.
"Kamu bisa dengarkan Papa, untuk tidak terlalu dekat dengan anak-anak pribumi?"
Jacob ingin bertanya kenapa, tetapi, tidak ada suara yang lolos dari mulutnya. Ia hanya diam atau mengangguk, seperti biasanya saat sang ayah menasihatinya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱
Tenang Jacob ,cmn diingetin kok bukan dilarang ... hhhmm
2022-12-08
0
𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱
bentar bentaaaarrr ini settingnya mreka umur brp ya ? aku ngebayanginnya msh 10-12 thn gitu ,apa udah Remaja ya ??? 🤔🤔🤔🤔
2022-12-06
0
kang kopi
, anak anak zaman dulu penurut2 ya..
2022-12-04
0