1—Alkisah

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Aku tak mendapatkan perlindungan, justru ialah yang menjadi pecundang dan memerangiku dengan penuh kebencian."...

...°°°...

Tak pernah terbersit sedikit pun, bahwa aku harus terlibat hubungan dengan sesosok makhluk dingin, ketus, irit dalam bertutur kata, dan minim akan ekspresi. Sungguh, itu adalah mimpi buruk yang tak ingin kutemui, namun ternyata takdir Allah berkata lain. Dia malah menjodohkanku dengan ia yang tak memiliki secuil perasaan pun terhadapku. Cinta sendiri, mungkin itu lebih tepatnya.

Bahkan aku pun harus merelakan sesuatu yang begitu amat berharga dalam diriku padanya dengan derai tangis penuh ketidakikhlasan. Dia yang seharusnya memberikan kenyamanan serta perlindungan malah berlawan arah dan menyerang. Fisik memang tak terdapat luka, tapi hatiku sudah menganga dengan sangat amat sempurna. Namun bodohnya aku masih setia dan mau menanti sesuatu yang tidak pasti, berharap kelak Allah berkenan untuk membuka gembok hatinya untukku.

"Tidak usah drama. Saya suami kamu, saya berhak melakukan apa pun terhadapmu!"

Kalimat sarkas itu ia layangkan dengan begitu ringan. Sedangkan aku hanya mampu menangis dalam diam. Bagaimana mungkin aku tetap tegar, di saat suamiku sendiri melakukan hal keji tak manusiawi.

Ingin rasanya menjerit dan memaki, namun aku tak memiliki cukup nyali. Kami memang menikah atas dasar keterpaksaan, tapi apa pantas jika ia merampas kehormatanku dengan cara kasar dan sembarangan.

Hatiku belum lekas membaik, dan kini sudah kembali ditimpa malapetaka. Takdir begitu kejam dan tak adil, kenapa aku harus hidup satu atap dengan manusia kutub utara sepertinya?

"Ta-tapi aku istri kamu, bukan perempuan murahan yang bisa kamu perlakukan seperti itu!" Dengan bibir bergetar aku pun memberanikan diri untuk menyela.

Ia bergerak ke arahku, sedang aku hanya mampu beringsut mundur dan mentok di kepala ranjang. Tangannya bergerak untuk mencengkram kuat rahangku.

Rasa sakit dan perih mulai merayap dan menggerogoti. "Jika saja perjodohan ini tidak ada, saya tidak akan pernah sudi untuk menikahi kamu. Kamu tak lebih dari  perempuan perusak masa depan!"

Aku mencoba untuk menyingkirkan tangan besarnya, namun nihil ia malah semakin mencengkramnya kuat. "le-le-lepas!"

Secara kasar dan senyum miring yang tercetak jelas di bibir ia menjauhkan tangannya. "Jangan pernah berani bermain-main dengan saya!"

Aku kembali berkawan geming, meresapi rasa sakit yang semakin menghadang. Rasanya air mata sudah mengering dan tak lagi bisa ditumpahkan.

Pernikahan ini belum genap satu minggu, tapi ia sudah berhasil membuatku ditempa rasa sakit tiada henti setiap harinya. Jika saja adik dari lelaki kutub utara itu tak pergi, mungkin aku takkan berakhir di pelaminan bersamanya.

Seharusnya Bianlah yang mengucapkan akad, bukan manusia kutub utara bernama Bagas. Ia menikahiku hanya sebagai penebus dosa karena adiknya lari dengan perempuan yang dicintai.

"Kemasi barang-barang kamu. Sekarang juga kita akan pergi dari sini."

Perintah ultimatum itu ia layangkan sebelum tubuhnya ikut menghilang ditelan pintu kamar. Aku melipat kedua kaki dan menjatuhkan kepala di sana, aku tak lebih dari wanita pajangan yang berstatus sebagai istri di atas kertas. Dengan langkah tertatih aku pun bergerak ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri, berharap dengan cara seperti ini semua noda dan bekas di tubuh pun ikut menghilang.

Saat air mengucur dan membasahi tubuh, dengan tanpa diaba-aba air mata pun kembali berjatuhan membanjiri permukaan wajah. Masih pantaskah aku mengemis cinta padanya, di saat ia telah menghancurkan harga diriku pada skala terendah?

Andai saja aku tak menyetujui perjodohan konyol ayahku, mungkin takdir buruk ini takkan pernah dirasai. Ia telah salah dalam memilihkan imam untuk putri semata wayangnya.

Tak ada kasih sayang, tak ada kelembutan, bahkan kata kasarlah yang lebih pantas lelaki itu sandang. Aku tak mendapatkan perlindungan, justru ialah yang menjadi pecundang dan memerangiku dengan penuh kebencian.

Aku tahu bahwa ia sedang memperjuangkan seseorang, bahkan ia akan menggelar pernikahan. Namun nasib buruk datang tanpa diundang, Bian—adiknya—pergi tanpa meninggalkan jejak dan alasan. Alhasil ialah yang dijadikan sebagai tumbal.

Suara gedoran brutal dengan diiringi teriakan menyadarkanku dari lamunan panjang. "Btari! Keluar atau pintunya akan saya dobrak!"

Itu bukanlah sebuah pilihan yang patut untuk kujawab, melainkan perintah yang harus kupatuhi tanpa harus banyak menolak. Dengan segera aku pun menyambar pakaian yang tadi sudah kuambil di dalam almari. Memakainya secepat kilat, lantas segera membuka akses masuk untuk si manusia kutub tersebut.

Ia menarik kasar tanganku, memegangnya dengan begitu kuat lantas berucap, "Turun ke bawah sekarang. Dan jangan pernah katakan apa pun pada ibu saya. Jika sampai berani mengadu—"

Dadaku bergemuruh tak menentu, sudah sangat tak sabar dan penasaran dengan apa yang akan ia katakan. "Saya tak segan untuk berlaku lebih buruk dari ini!"

Aku terdiam untuk meredam gejolak dalam dada yang kian menyiksa dan menyeruak dengan brutal tak sabaran. Jika saja tak ingat bahwa kini aku tengah tinggal di kediaman ibunya, aku akan berteriak dan membanting wajah dingin lelaki itu dengan vas bunga samping meja.

"Jawab!" Tatapannya begitu tajam dan menusuk, alhasil aku hanya mampu mengangguk patuh dan menurut.

...°°°...

"Betah tinggal di sini, Nak?" Sambutan hangat itu kudapatkan dari ibu mertuaku. Hanya anggukan kecil dan senyum tipislah yang mampu kuberikan.

Beliau begitu baik, lembut, dan penuh kasih sayang, namun sang putra kebanggaan malah berlainan arus dan sangat bertolak belakang.

"Maafkan Bian karena sudah membatalkan sepihak pernikahan kalian. Alhamdulillah Bagas mau menggantikan posisi adiknya, kamu bahagia, kan, Nak?"

Aku meringis dan mengepalkan tangan kuat-kuat. Bagaimana mungkin aku bahagia di atas luka dan duka yang sudah putranya torehkan dengan sangat amat sempurna.

Mataku menjumpai netra tajam membunuh bak elang milik Bagas, dengan segera aku pun mengalihkan pandangan dan mencoba untuk menenangkan hati yang sudah berulah di luar batas wajar.

Aku tersenyum lembut ke arahnya seraya menggenggam tangan beliau penuh kehangatan. "Alhamdulillah, Mas Bagas baik, malah lebih baik dari Mas Bian," kilahku penuh akan penekanan. Dari sudut mata aku bisa melihat sungging miringnya yang tercetak cukup jelas.

"Alhamdulillah, Ibu ikut senang mendengarnya yang rukun-rukun yah, Nak," sahutnya membuatku ingin memaki diri sendiri.

"Bagas dan Btari akan tinggal berdua, Bagas sudah menyiapkan rumah untuk kami tempati."

Aku meneguk ludah dengan susah payah, selama tinggal di kediaman ibunya saja ia berani berlaku kurang baik padaku. Lantas apa kabar jika kami hanya tinggal berdua saja. Ya Allah, rencana apa yang sebenarnya tengah lelaki itu persiapkan?

Ibu mertuaku mengangguk dengan sangat antusias. "Jangan terlalu kaku dan dingin sama istri kamu. Perlakukan Btari dengan baik sebagaimana kamu memperlakukan Ibu. Kalau berani macam-macam, Ibu sendiri yang akan turun tangan."

Manusia kutub itu mengangguk patuh, seperti singa jinak yang tak suka mengamuk. Dasar muka dua, di depan ibunya saja mampu berlaku sopan santun. Tapi di belakangnya ia kembali menjelma sebagai harimau lapar.

Lihat saja nanti, aku takkan pernah tinggal diam. Jika ia saja mampu berlaku kurang ajar, maka aku pun akan mengikuti cara mainnya. Tak ada istilah kalah dan mengalah dalam kamus hidupku.

...°°°...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!