4—Anak Siapa?

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Jangan gampang menyimpulkan dan banyak berpikir yang macam-macam. Sebab yang terlihat dan terdengar belum tentu benar."...

...°°°...

Aku memejamkan mata lamat-lamat, menahan gejolak dalam dada agar tak memberontak dengan semakin kuat. Namun, usahaku sia-sia, air mata sudah mulai berjatuhan dengan begitu derasnya. Cobaan apalagi yang saat ini tengah kualami. Belum cukupkah dengan pernikahan tanpa cinta ini.

Mencoba untuk menarik napas panjang lantas membuangnya secara kasar, berharap dengan cara seperti ini aku bisa sedikit meredam rasa sesak yang kian bergejolak semakin hebat. Mungkin bagi perempuan lain ini merupakan berkah dan anugerah yang patut untuk disyukuri.

Namun bagiku tidak ....

"Btari keluar kamu!"

Aku terkesiap saat mendapati teriakan si manusia kutub utara tepat berada di depan pintu kamar mandi. Dengan tanpa berpikir panjang lagi aku segera membuang benda yang sedari tadi dipegang ke dalam tempat sampah.

Harapku hanya satu, semoga ia tak tahu akan kebenaran ini ....

"Iya," kataku saat sudah beradu tatap dengannya.

Ia sudah tampil layak dengan pakaian formal, kemeja hitam serta jas, dan celana bahan lengkap dengan sepatu pantofel. Untuk sekian detik aku terkesima, namun dengan cepat aku mengenyahkan perasaan tersebut.

Tanpa kata ia langsung menarik tanganku paksa hingga posisi kami sangat dekat dan mungkin hanya berjarak sekitar 5 cm saja. Dengan tidak tahu malunya dadaku malah berdegup kencang tak seirama. Jangan sampai ia mendengar suara detakan jantung ini.

Ia mengangkat daguku agar mendongak dan menatap ke arahnya. Pandangan itu lembut namun sangat menusuk dan membuatku takut. "Jangan pernah sembunyikan apa pun dari saya!"

Aku meneguk ludah dengan susah payah, rasanya sekujur tubuhku sudah menggigil bukan main. Ya Allah apa yang harus kukatakan?

"Mana?" tagihnya cepat.

"Negatif, Mas." Setelah mengatakan itu aku langsung menunduk dalam, tak kuasa untuk beradu tatap dengan mata elangnya.

Ia kembali mengangkat daguku, untuk kali ini sangat kasar dan terasa menyakitkan sampai aku harus menahan ringisan. "Sudah saya katakan, jangan pernah sembunyikan apa pun dari saya!"

Dadaku naik turun dengan deru napas yang sangat memburu cepat. Allahuakbar, aku mencoba untuk mencari ketenangan dengan menyebut nama-Nya.

"Jawab!"

"Negatif."

Tanpa kata dan dengan rahang yang sudah sangat mengencang ia menarik paksa tanganku untuk kembali memasuki kamar mandi. Dengan tanpa berbelas kasih ia menghempaskan tubuhku di tembok. Cukup sakit, terlebih kakiku sudah melemas karena sorot netranya yang kian menunjukkan amarah berlebih. Entah setan apa yang kini tengah bersemayam dalam diri lelaki itu.

"Jongkok." Aku menggeleng cepat tak mau. Apa yang akan ia lakukan?

Senyum miring tercetak jelas di sana, dengan tanpa aba-aba ia langsung menjatuhkanku hingga menghantam ubin. Sakit, bahkan perutku pun langsung memberontak dan menjerit.

Aku mencoba meremas perutku yang mendadak keram. Dalam hati aku sudah risau dan cemas takut ia akan berlaku kasar dan semakin nekad berbuat hal gila.

"Sakit?"

Aku hanya diam dan menatap nanar ke arahnya yang tak pernah lelah menampilkan senyum setan. Andaikan aku memiliki banyak kekuatan, aku akan dengan senang hati melawan.

Ia ikut menjatuhkan tubuhnya agar bisa melihat dengan jelas wajah tersiksaku. "Sudah saya katakan, jangan pernah sembunyikan apa pun dari saya!"

"Ma-maaf, Mas."

Rasa sakit kian menghujam dengan begitu kuat, dan aku takut sesuatu buruk terjadi pada diriku. Kumohon jangan sekarang, dan berikanku kekuatan.

"Mas antar aku ke rumah sakit," cicitku dengan kepala menunduk dan tangan memeluk perut. Rasa keramnya semakin menjadi dan aku sudah tak tahan lagi.

Bukannya menuruti ia malah berdecih dan berdiri dengan tanpa dosa. Aku mengepalkan tangan kuat dan berusaha untuk bangkit. Jika memang tak ingin membantu, aku akan pergi seorang diri.

"Minggir!" Aku menepis tubuhnya yang malah menghalangi jalan keluar, dengan santai ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

Menatap ke arah langit-langit lantas setelahnya padaku. "Masih mau menyangkal dan berbohong?"

Mataku rasanya sudah sangat perih dan siap meluncurkan cairan bening, tak lama dari itu aku meninju dadanya. Tidak kuat, bahkan lemah karena tenagaku yang sudah mulai terkuras habis.

"Aku hamil bereng***!" teriakku dan langsung luruh ke lantai. Kenyataan ini bukanlah kabar bahagia, melainkan derita.

Ia menurunkan tubuhnya dan langsung membawaku dalam gendongan. "Jika kamu berbicara jujur sedari tadi, saya tidak akan melakukan hal sekasar ini!"

Untuk beberapa detik aku terdiam tak percaya, namun refleks tanganku pun bergerak untuk mengalungkan di lehernya. Tangisku kembali pecah dan terisak pelan di dadanya.

"Maaf," bisiknya sangat amat terdengar lemah dan lirih.

Aku mendongak dengan pandangan yang sudah mulai mengabur karena derasnya air mata yang turun. Sekilas aku bisa melihat senyum tipis yang terpatri di sana. Apakah aku tidak salah melihat? Ia tersenyum padaku.

...

...

"Alhamdulillah kandungan Ibu baik-baik saja, lain kali hati-hati jangan sampai jatuh dan terbentur lagi."

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter, dalam hati aku bersyukur tiada henti. "Sudah berapa minggu, Dok?"

"Satu bulan lima hari."

Aku diam membisu. Satu bulan? Pernikahanku dan Bagas saja baru berlangsung dua mingguan. Lantas mengapa bisa usia kandunganku melebihi. Allahuakbar. Apalagi ini?

Bagas mencengkram tanganku yang berada di bawah meja. Sakit, sangat amat menyiksa. Mataku spontan melirik ke arahnya, dan ia langsung menghadiahi tatapan mengintimidasi.

"Ini untuk resepnya, silakan tebus di apotek yah, Pak, Bu," katanya seraya menyerahkan selembar kertas berisi copy resep.

Tanganku yang akan terulur untuk mengambil urung karena ia sudah lebih dulu merampasnya. "Terima kasih, Dok."

Dokter itu pun mengangguk dan tersenyum dengan sangat manis, kami bangkit dan berjalan menuju pintu keluar. Beruntung tidak terjadi hal-hal buruk yang menimpa janinku.

Awalnya aku memang tak menginginkan hal ini, tapi saat tadi melakukan USG walau hanya bisa melihat kantung rahimku saja, itu sudah berhasil membuang jauh pemikiran dangkal untuk melenyapkannya.

Aku mengelus perutku yang masih rata, di dalam sana akan ada kehidupan lain. Aku akan menjadi seorang ibu, air mata kembali turun tanpa dapat bisa dicegah.

"Anak siapa?!"

Aku tersentak dan mendongak ke arahnya yang juga tengah menatap padaku. Tatapan tajam membunuh itu langsung menyapa netra. Sumpah demi Allah aku tak pernah berbuat gila di belakangnya, bahkan ialah lelaki pertama yang merampas kehormatanku.

"Jawab!"

"Kamu, Mas."

Ia berdecih meremehkan, dan aku hanya mampu menghela napas berat. "Dasar pel—"

"Jaga ucapan kamu, Mas!"

Bagas malah berdecak lantas memegang rahangku dengan sangat kuat. "Kamu memang perempuan murahan, Btari. Pantas saja Bian memilih untuk pergi!"

Air mata sudah kembali membayang di pelupuk netra. Aku tak seperti yang dikatakan olehnya. Aku tidak serendah itu.

"Jangan membuat drama di hadapan saya!" Setelahnya ia berlalu dan berjalan lebih dulu meninggalkanku yang masih berkawan tangis.

Kupejamkan netra lamat-lamat dan kembali memacu langkah sebelum lelaki itu benar-benar meninggalkanku. Tapi aku harus melapangkan hati, sebab mobilnya malah melaju pergi. Dengan sadisnya ia meninggalkanku seorang diri. Oh Allah, rencana apalagi yang tengah Engkau persiapkan kini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!