...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...
..."Menganggap kehidupan orang lain dengan kacamata sempurna, tapi hidup sendiri dipandang rendah dan hina. Tak pandai bersyukur lebih tepatnya."...
...°°°...
Menikah adalah impian bagi setiap insan di muka bumi, bahkan remaja labil yang baru akan beranjak dewasa saja sudah sangat ingin merasakannya. Kemajuan zaman cukup memengaruhi, terlebih banyak sekali publik figur yang mengumbar kemesraan dan mem-posting segala aktivitas di sosial media bersama sang pasangan.
Jelas saja hal itu membuat jiwa jomlo semakin meronta-ronta tak terima. Angannya langsung berkeliaran ke mana-mana, dan berharap bisa memiliki kisah romantis sama seperti si tokoh idola. Lumrah memang, karena yang dipertontonkan hanyalah drama manis penuh kebahagiaan. Sedang yang buruknya dipendam hanya berdua saja.
Itulah salahnya manusia, terlalu disilaukan oleh apa yang dilihat netra. Padahal apa yang kita pandang belum tentu mengundang kebahagian serta keberkahan. Menganggap kehidupan orang lain dengan kacamata sempurna, tapi hidup sendiri dipandang rendah dan hina. Tak pandai bersyukur lebih tepatnya.
Akulah orang tersebut. Melihat segala potret di jejaring maya hanya membuat penyakit hati kumat saja, karena pada nyatanya kisahku tak seindah dan seharmonis itu. Terlalu banyak kepahitan dan derita tak berkesudahanlah yang kini menghimpit dada.
Tak ada sedikit pun perubahan dalam rumah tanggaku, yang ada malah semakin hancur dan berada di ujung tanduk saja. Ia yang selalu pulang larut malam, hingga tak pernah ada waktu untuk kami saling berbincang santai.
Padahal bekerja sebagai kepala bagian di salah satu perusahaan tidak akan sampai sesibuk ini, jam kerjanya hanya delapan jam dalam sehari. Entah dikemanakan sisa waktu senggangnya itu. Mungkin digunakan untuk berkencan dengan si karyawan tercinta.
Pantaskah jika aku mengharapkan cinta darinya? Pantaskah bila aku menginginkan sedikit waktunya? Aku pun ingin merasakan bagaimana indahnya bahagia bersama pasangan. Hanya itu saja, namun seperti sulit untuk direalisasikan.
Ia tetaplah ia, manusia kutub utara yang tak pernah bisa menghargai wanita, terlebih aku sebagai istrinya. Di hati Bagas hanya terukir satu nama, dan itu bukanlah aku, melainkan wanita bernama lengkap Nisrina Misha.
Aku ingin melihat sosoknya, aku ingin belajar darinya, dan aku ingin mengenalnya lebih dekat. Bukan untuk memaki, apalagi memarahi, aku hanya ingin menanyakan satu hal. Bagaimana caranya meluluhkan hati si manusia kutub? Hanya itu, cukup.
"Air panasnya sudah aku siapkan, makan malam juga sudah terhidang di meja makan," kataku saat melihat ia pulang.
Kemejanya sudah tak lagi masuk ke dalam celana, bahkan bagian tangannya pun sudah terlipat sampai sikut. Terlihat sekali bahwa kini ia sedang kacau dan dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Ingin berlagak tak acuh, tapi enggan. Hatiku memerintahkan hal yang berlainan, meskipun kerapkali diperlakukan tak adil, dan aku pun seringkali terpancing amarah hingga terlibat perdebatan. Tapi entah mengapa hatiku gampang kembali luluh, walau hanya sekedar melihat wajah datar miliknya.
Tangannya yang tengah melonggarkan dasi terhenti. Ia menatap sengit penuh rasa tak suka. "Jangan pernah bersikap layaknya istri kebanyakan. Saya muak!"
Gemuruh dalam dada mencuat begitu saja. Aku selalu berusaha untuk bersabar dan berlaku baik padanya, tapi yang kudapat justru bentakan dan makian. Apakah itu setimpal?
Tidak bisakah ia sedikit menghargai jerih payahku. Apakah itu sangat memberatkan dan menyulitkan? Kurasa tidak. Jika terus seperti ini, akhirnya sudah bisa ditebak, berakhir di pengadilan. Mau tak mau, suka tidak suka, perpisahan adalah jalan keluarnya.
Namun aku tak bisa. Apa kata ayah jika ia tahu rumah tangga putrinya berakhir hanya dalam hitungan minggu saja? Hatiku sudah hancur lebur karena masih bertahan di sisinya, dan aku pun tak ingin ikut menghancurkan harapan beliau.
"Kita perlu bicara, akan dibawa ke mana rumah tangga ini jika kita terus perang dingin seperti ini? Kesampingkan ego kita masing-masing."
Setelah mengumpulkan keberanian akhirnya terangkailah kalimat tersebut. Jujur itu sangat amat menyulitkan, karena aku sudah bisa menebak jawabannya. Ia akan menolak dan bersikukuh dengan pondasi diri. Egois, itulah yang sangat amat melekat dengannya.
"Pengadilan agama."
Hatiku berdenyut ngilu kala dua kata itu ia lontarkan dengan lancarnya. Semudah itu ia mengambil jalur perpisahan? Tapi sepertinya itu memang cara terbaik bagi kami.
"Ini pernikahan, bukan mainan yang bisa seenak jidat kamu kendalikan. Kit—"
"Simpan semua omong kosong kamu. Saya sudah katakan berulang kali, bahwa jangan berharap lebih dari pernikahan ini!"
Sorot netranya begitu tajam dan menusuk, hal itu berhasil membuatku sakit hati. Aku sudah jatuh terlalu dalam, bisa-bisanya berharap pada lelaki sejenis Bagas Manggala Putra. Hatiku terlalu lemah dan mudah goyah.
"Jangan membuat drama di depan saya. Sebanyak apa pun air mata yang kamu tumpahkan, itu takkan pernah membuat saya iba!"
Aku memejamkan netra, berusaha untuk menghentikan derai tangis yang entah sudah sejak kapan meluncur bebas. "Tidak bisakah sedikit saja Mas menghargaiku? Ak—"
"Takkan pernah!" Ia langsung berjalan cepat ke arah kamar, meninggalkanku yang kini hanya bisa menatap nanar kepergiannya.
Sakit, sangat amat menyiksa. Tak ada setitik pun harapan untukku memperbaiki hubungan ini. Semuanya sudah hancur lebur tak berbentuk. Hampir setiap hari komunikasi kami dipenuhi dengan drama perdebatan, entah itu pagi hari ataupun malam hari. Tak ada kedamaian dan kerukunan, selain saat dirinya pergi.
Aku pun mengayunkan kaki dengan lunglai ke kamar, merebahkan tubuh di sana, dan meringkuk seperti bayi yang tengah kedinginan. Tangis kembali pecah tak terbendung kala mengingat segala perlakuan buruknya.
Kukira tidak akan sesakit ini. Ternyata aku masih sangatlah lemah jika berbicara perihal cinta. Aku bodoh karena sudah berani bermain rasa dengannya yang justru membenciku tiada terkira.
Bertahan dalam kedukaan dan ketidakpastian. Itu adalah tindakan konyol tak masuk akal yang seharusnya tidak kutempuh. Namun aku bodoh karena masih saja memaksakan diri untuk berlagak tetap tegar.
Mencoba untuk memejamkan mata dan segera menyambut mimpi indah di alam sana. Hanya tidurlah yang bisa membuatku lupa akan segala hal, dan besoknya aku akan kembali fresh seperti tak pernah terjadi sesuatu hal yang menyakitkan.
Melupakan adalah cara terampuh untuk tetap bertahan di sisinya. Jika terlalu banyak dipikirkan dan dibawa beban, pasti hanya akan merusak hati serta mental. Oleh sebab itulah aku lebih memilih untuk menghapus sebagian memori dan membangun kisah baru yang lebih indah lagi, walau akhirnya akan dihancurkan secara paksa olehnya.
Tak apa, itu memang takdir yang sudah harus kujalani. Penuh duka, derita, serta air mata. Allah saja yakin terhadapku, mengapa aku harus putus asa pada-Nya? Dia percaya bahwa aku bisa memikul ujian ini, dan aku pun harus yakin, bahwa aku mampu untuk melewati semua ini.
Selalu ada kemudahan di balik setiap kesulitan. Itu adalah janji Allah pada setiap hamba-Nya, tak mungkin mangkir ataupun ingkar. Hidupku sudah dijamin dan tak pantas jika masih mengeluh ini dan itu. Aku harus berusaha untuk mempertahankan mahligai ini, baik dengan diiringi dorongannya ataupun tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments