"Alah, aku ga peduli! Yang penting, aku mau menikahi Ria secepatnya!" bantah Martin dengan keras, sehingga menambah luka dan sakit yang Melati rasakan.
Ria memandang angkuh ke arah Melati, yang saat ini berada di hadapannya. Pakaiannya terlihat sangat lusuh, berbeda jauh dengan pakaian yang ia kenakan.
"Ini istri kamu itu? Kok pakaiannya lusuh gini, yah?" tanya Ria dengan sangat angkuh, membuat Martin merasa malu mendengarnya.
"Sayang, jangan ngomong gitu. Aku pasti segera menceraikannya. Jangan bilang dia istriku lagi, aku malu dengernya!" tegur Martin pada Ria, semakin menambah rasa terkejut Melati ketika mendengar ucapan Martin.
"Apa, Mas? Kamu mau ceraikan aku demi perempuan ini?" tanya Melati setengah tidak percaya.
Memang penampilan dirinya sangat jauh kalah dibandingkan dengan Ria. Namun, Melatilah yang sudah menemani Martin ketika Martin berada di titik terendahnya. Melati yang sudah menerima Martin, ketika Martin tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan.
Sekarang ketika sudah jaya, Martin malah mencampakkan Melati, dan malah memilih untuk menjalin hubungan dengan wanita lain di belakangnya.
Di mana letak kesalahan Melati?
Seluruh jiwa dan raganya sudah ia berikan agar hubungan pernikahan mereka tidak kandas, seperti kebanyakan pernikahan di luar sana, yang hancur hanya karena permasalahan ekonomi.
Namun, ternyata apa yang dikorbankan Melati pada hubungannya ini, sangat tidak sepadan dengan apa yang ia terima dari sikap Martin terhadapnya.
Melati kembali memandang Martin dengan tatapan yang dalam, "Apa salah aku, Mas? Aku udah ngasih semua jiwa raga aku untuk pernikahan kita. Kenapa kamu bales dengan kelakuan kamu yang seperti ini ke aku?" tanyanya mulai terisak tak kuasa menahan kesedihannya.
Martin memandangnya dengan remeh, "Apa salah kamu? Kamu masih berani nanya apa salah kamu?" tanya balik Martin dengan tatapan yang menyeleneh, "kamu liat diri kamu, dong! Wajah kamu jelek, pakaian kamu lusuh dan yang paling penting, kamu itu mandul! Ingat, kamu ga bisa ngasih aku keturunan, karena kamu tuh mandul! Aku nyesel pernah nikah sama orang kampung kayak kamu!" caci Martin, sontak membuat Melati semakin mendelik saja mendengarnya.
Melati tidak menyangka, kalau akan keluar perkataan seperti itu dari mulut Martin. Ia tega melukai beberapa kali hati Melati, ketika ia sedang berada di hadapan wanita yang ia cintai.
Sudah cukup, ini adalah akhir dari segala akhir. Melati tidak sanggup jika harus menerima perkataan buruk yang lebih menyakitkan hatinya lagi.
Ria memandang sinis ke arah Martin, "Udah ah, kita tuh mau makan siang sama beli lipstick aku! Kenapa kamu malah ladenin orang gak penting ini, sih? Kalau kita telat balik lagi ke kantor, gimana? Bisa kena omel kita sama Bos!" gerutu Ria, dengan gaya bahasanya yang sangat kasar, tetapi bisa membuat Martin sangat ketakutan mendengarnya.
"Iya, sayang. Aku juga udah gak mau ladenin dia. Ini cuma terakhir kalinya aku bicara sama dia lagi, kok!" ujar Martin yang berusaha menenangkan hati Ria.
Martin memandang sinis ke arah Melati, "Ini terakhir kalinya ya kita bicara! Satu minggu dari sekarang, datang ke pengadilan untuk perceraian kita, dan jangan pernah temuin aku lagi! Dasar mandul!" bentaknya, yang kemudian berlalu pergi untuk masuk ke dalam mobil yang tidak diketahui kepemilikannya itu.
Mereka pergi dengan mobilnya, meninggalkan Melati di sana. Bisa dibayangkan, betapa hancurnya hati Melati saat ini.
Ketika pelakor lebih galak dibandingkan istri sah.
DUAR!
Seketika petir menyambar, disusul dengan rintik hujan yang perlahan turun membasahi bumi. Setiap perkataan mereka mampu membuat kesabaran Melati habis, sampai tak tersisa lagi saat ini.
Hujan perlahan menjadi sangat deras, Melati sudah sangat frustrasi dengan keadaan dirinya saat ini. Ia membiarkan tubuhnya basah karena hujan, dan membiarkan rambutnya terurai lepas dari ikatannya.
"Ini gak adil! Kenapa harus pernikahanku yang hancur, Tuhan? Kenapa bukan pernikahan orang lain saja?" teriak Melati di tengah derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.
Tangannya menyapu ke kepalanya yang sudah basah, akibat air hujan yang turun semakin deras. Langkahnya tak terarah, hanya mengandalkan ke mana kakinya hendak melangkah.
Itulah hal yang masih melekat dengan jelas di pikiran Melati, sampai perasaan sakitnya pun masih terasa sampai detik ini.
Dalam hatinya meneriakkan sebuah perubahan, yang harus ia lakukan demi membuat dirinya diakui oleh orang lain. Namun, itu semua dirasa tidak penting karena satu minggu dari sekarang, Martin memintanya untuk mendatangi sidang perceraian antara mereka.
'Untuk apa aku ngelakuin semua ini, kalau ujungnya harus ditinggalkan seperti ini? Kenapa dia gak mikirin perasaan aku, ya? Kenapa sakit sekali rasanya?' batin Melati yang sudah sangat kacau saat ini.
Melati sudah sampai di kediamannya. Dengan menempuh waktu 2 jam perjalanan, Melati berhasil sampai dengan berjalan kaki pulang ke rumahnya. Semuanya ia lakukan karena dirinya yang tak menyadari, dan hanya mengikuti kakinya melangkah saja.
Kedua orang tua Melati sudah menunggu di depan pintu rumah mereka yang sangat sederhana. Mereka terlihat sangat cemas, karena putri mereka yang belum kembali sejak siang tadi.
Ibunya mendelikkan matanya ketika melihat Melati sampai di kediaman mereka, "Itu dia Melati, Pak!" pekiknya dengan sangat terkejut.
Melati melangkah masuk ke dalam koridor rumah mereka, walaupun hujan masih mengguyur tubuhnya. Kekhawatiran dirasakan kedua orang tua Melati, saking takutnya mereka melihat keadaan Melati saat ini.
"Ya ampun, Melati. Kamu dari mana aja, sih? Kenapa malah hujan-hujanan begini?" tanya Ibu dengan nada yang terdengar sangat khawatir.
"Iya, kita khawatir karena kamu belum pulang ke rumah. Ke mana aja kamu, Mel?" tanya Bapak, yang sama-sama mengkhawatirkan keadaan Melati.
Melati adalah putri tunggal keluarga ini, sehingga mereka sangat menginginkan kebahagiaan Melati.
Melihat putrinya pulang dengan keadaan basah kuyup seperti ini, hati mereka menjadi terenyuh dengan keadaan Melati saat ini.
"Ya ampun, Mel. Kamu kenapa hujan-hujanan begini?" tanya Ibu, sembari memeluk erat tubuh Melati, berusaha memberikan kehangatan untuknya.
"Bapak ambil handuk dulu sebentar!" ujar Bapak, yang lalu segera masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan handuk, untuk mengeringkan tubuh Melati yang sudah basah.
Tubuh Melati sudah sangat gemetar, saking dinginnya udara sore ini, ditambah lagi sekujur tubuhnya yang sudah basah karena terguyur air hujan yang sangat deras.
Ibu terus berusaha menggosokkan tangannya pada lengan Melati, setidaknya memberikan kehangatan sementara untuknya.
"Ya ampun, Mel." Ibu merasa sangat panik, dengan kondisi Melati saat ini.
Tak berapa lama, ayahnya pun datang dengan membawa handuk untuk mengeringkan tubuh dan rambut Melati yang sudah basah karena guyuran hujan.
"Ini Mel, pakai dulu handuknya!" suruh ayahnya, yang segera memberikan handuk tersebut padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
👊🅼🅳💫
ho'ooh,kek nagih utang mlh yg ngutang lebih galak pas ditagih bknya mnt mangap Krn blm bs byr🙄🙄🙄
2022-12-25
0
👊🅼🅳💫
Bersyukur g py keturunan dr laki bi**ab kek dia,Mel😌😌
2022-12-25
0
Shellia Vya
Jangan sadis2 lah Bang 😊
2022-12-02
0