Melati segera memakai handuk tersebut, untuk menyelimuti tubuhnya yang sudah basah kuyup. Setidaknya, ia harus mengeringkan air yang menetes dari pakaiannya lebih dulu, sebelum langsung masuk ke dalam rumahnya.
"Gimana ceritanya sih, Mel? Kenapa bisa begini jadinya?" tanya Bapak, yang sangat khawatir dengan keadaan Melati.
"Udah, Melatinya diajak masuk dulu. Biar Ibu bikinin teh manis hangat, biar badannya agak enakan. Habis itu, baru deh cerita kenapa sebenarnya yang terjadi," ujar Ibu memberi gagasan yang bagus kepada mereka.
"Ya udah, ayo masuk dulu. Melati mandi dulu, terus ganti baju. Nanti teh manisnya disiapin sama Ibu di dalam," ujar Bapak menyetujui apa yang Ibu katakan.
Melati hanya bisa mengangguk kecil, untuk sekadar menghormati apa yang kedua orang tuanya katakan padanya. Tentu saja karena tubuhnya yang tidak bisa merespon dengan kata-kata, jadi ia hanya bisa merespon menggunakan gestur tubuhnya.
Melati membersihkan tubuhnya dari kotoran dan air hujan yang membasahinya. Setelah itu, ia mengganti pakaiannya yang basah, dan mencoba mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil yang ada di dalam kamarnya.
Karena tidak memiliki hair dryer, Melati hanya bisa mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil saja. Tentu saja butuh waktu yang lumayan lama, agar air sisa keramas dari rambutnya tak menetes kembali.
Ketika melihat dirinya di cermin, tiba-tiba saja ia merasa sangat hancur. Setiap perkataan yang keluar dari mulut Martin tadi, masih teringat dengan jelas di dalam benak Melati.
Sakit kepala hebat terasa, saking terus memikirkannya. Ditambah lagi air hujan yang terus mengenai kepalanya, membuatnya semakin terasa tidak keruan.
Melati meremas rambut hitamnya yang masih basah, sampai tercabut banyak sekali rambutnya yang cukup tebal.
'Kamu harus kuat, Mel! Jangan hanya karena lelaki kurang ajar itu, kamu jadi gak mau nerusin hidup! Kamu harus kuat, demi masa depan yang cerah!' batin Melati, yang bertekad kuat untuk mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Walaupun hancur, tetapi Melati tidak berniat untuk mengorbankan nyawanya sendiri. Ia malah bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Namun, perasaan hancur pasti ia rasakan. Rasa kesal dan juga kesedihan itu, pasti menggenang di hatinya untuk beberapa waktu.
Tangisnya pun pecah seketika, setelah ia bertekad untuk bangkit dan berubah. Perkataannya sangat mudah, tetapi perasaan sedih itu masih terasa menyesakkan hati dan perasaannya.
Betapa hatinya telah terpikat pada sosok terang dalam kegelapannya selama ini, yang ternyata hanyalah omong kosong yang salah diperjuangkan. Sia-sia perjuangannya selama ini, hanya untuk orang yang salah.
Tangannya meraba ke dalam laci, berusaha mencari benda yang ia maksudkan. Beberapa saat mencari, ia pun menemukannya dan melihatnya dengan dalam.
"Aku gak bisa!" gumamnya, seraya mengguntingi secara asal rambutnya yang panjang itu.
Pikirannya melayang tak keruan, dengan tangannya yang terus-menerus memainkan gunting ke arah rambutnya.
Perlahan rambut itu berjatuhan, dengan keadaan yang asal dan tak teratur.
"Argh!" teriak Melati, dengan kondisi yang sangat jauh di bawah kesadarannya.
PRANG!
Tak sengaja, Melati melemparkan gunting yang ia pegang ke arah cermin, sampai membuat cermin itu pecah.
Emosinya muncul seketika, saat ia berusaha untuk memendam rasa sakitnya kembali. Sedikit demi sedikit ia pendam, saat ini rasa sakitnya meledak-ledak, sampai ia tak bisa lagi menahannya.
Melati kembali meremas rambutnya, saking tidak bisa ia berpikir jernih dengan keadaan yang membuat seluruh hidupnya hancur.
Mendengar suara pecahan kaca dari arah kamar Melati, orang tuanya pun mendadak khawatir dan segera berlarian ke arah kamar putrinya.
"Mel, kenapa kamu?" teriak Ibu dari arah luar kamar, yang terdengar sampai dalam kamar Melati.
Mereka sampai di kamar Melati, dan melihat kondisi anaknya yang terlihat sangat tidak baik. Mereka sangat kaget, dan merasa sangat histeris melihat Melati dengan rambut yang sudah compang-camping itu.
"Ya ampun, Mel! Kamu kenapa, Nak?" teriak Ibu, yang langsung memeluk Melati dengan sangat erat.
Sejenak Melati pun menumpahkan perasaan hancurnya di dalam pelukan sang Ibu. Ia harus menumpahkan semuanya, jika tidak mungkin hal itu akan memicu rasa stres yang ia miliki.
Isak tangis terus terdengar dari mulut Melati. Mereka tidak bisa berbuat banyak, dengan keadaan yang tidak mereka mengerti. Melati belum memberi tahu mereka tentang keadaannya. Jadi, mereka sama sekali tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk menenangkan hati Melati.
"Rambutnya kenapa digunting gitu, sih? Kenapa kacanya juga dipecahin?" tanya Ibu dengan sangat panik.
Biasanya seorang Ibu memang terlihat lebih panik dan lebih cerewet, dibandingkan seorang Ayah. Ayah Melati hanya diam saja, sembari memandang sendu keadaan putrinya itu.
"Bu ... Mas Martin gugat cerai Melati, Bu!" isak Melati, yang baru diketahui kedua orang tuanya.
Pikiran mereka terbuka, setelah mengetahui sedikit informasi dari Melati.
"Jadi itu semua karena si Martin mau ceraikan kamu?" tanya Ibu, yang saking stresnya sampai ikut menangis bersama dengan Melati.
Bapak menjadi sangat kesal mendengarnya, "Beraninya si Martin nalak cerai Melati! Dia gak tau apa, seberapa berjuangnya Melati untuk dia? Dari mulai pekerjaan, uang, makanan, sampai keturunan pun Melati sabar ngadepin makhluk itu! Sudah gak menafkahi, gak bisa kasih cucu juga karena dia mandul! Sekarang, dia sok belagu nalak cerai Melati setelah dapat pekerjaan yang bagus. Lelaki macam apa dia, sih?" gerutu Bapak, yang saking kesalnya sampai mengatakan hal macam-macam yang bisa membuat amarahnya menghilang.
Ya! Selama ini, Melati selalu menutupi apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Bukan Melati yang mengidap kemandulan, tetapi Martinlah yang tidak bisa mengahasilkan keturunan. Itu semua karena ada masalah pada organ reproduksi miliknya.
Sementara itu, hasil pemeriksaan Melati sangatlah bagus. Tanggal menstruasinya pun teratur, sehingga rahimnya dinilai sangat baik setelah keluar hasil pemeriksaan.
"Iya, memang lelaki kurang ajar Martin itu! Semuanya udah kita kasih saat dia lagi susah nyari kerja! Modal kerja, makan sehari-hari, kurang apa kita sebagai mertua ke dia?" tambah Ibu, yang juga sangat kesal dengan sikap Martin setelah sukses berjaya mengadu nasibnya yang tidak seberapa beruntung.
"Iya, kalo bukan karena kita yang usaha minta kerjaan sama Tuan Bram, gak akan dia diterima di perusahaan itu! Lulusan cuma SMA, kok, jadi manajer! Dia mandang saya aja sebagai teman. Coba kalau enggak, mungkin dia gak akan diterima dengan mudah di kantor itu!" Bapak semakin kesal saja dengan keadaan ini.
Baru mengatakan sepatah kata saja, keadaan sudah menjadi sangat tidak keruan. Apalagi jika Melati sudah mengatakan hal yang menyakitkan, yang Martin katakan kepadanya tadi. Orang tuanya juga pasti akan murka, kalau mereka mengetahui Martin menceraikannya karena ingin menikahi kekasihnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Shellia Vya
Biarkan karma yg bekerja,Mel.
2022-12-02
0
𝙨𝙚𝙩𝙞𝙖𝙥 𝙢𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣𝙠𝙖𝙣 𝙧𝙪𝙢𝙖𝙝𝙩𝙖𝙣𝙜𝙜𝙖 𝙮𝙜 𝙠𝙚𝙠𝙖𝙡 𝙩𝙣𝙥𝙖 𝙖𝙙𝙖 𝙤𝙧𝙜 𝙠𝙚3, 𝙩𝙣𝙥𝙖 𝙖𝙙𝙖 𝙠𝙚𝙡𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙖𝙥𝙖 𝙥𝙪𝙣 𝙠𝙚𝙠𝙪𝙧𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙙𝙡𝙢 𝙧𝙪𝙢𝙖 𝙩𝙣𝙜𝙜𝙖, 𝙩𝙖𝙥𝙞 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙘𝙖𝙥𝙖𝙞 𝙠𝙚𝙗𝙖𝙝𝙜𝙞𝙖𝙖𝙣 𝙞𝙩𝙪 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙖𝙮𝙖𝙝 𝙠𝙡𝙤 𝙩𝙞𝙖𝙙𝙖 𝙠𝙚𝙠𝙪𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙩𝙖𝙡,
𝙠𝙚𝙧𝙣𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖 𝙣𝙞 𝙖𝙙𝙖 𝙠𝙖𝙡𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙡𝙪𝙥𝙖 𝙠𝙚𝙬𝙪𝙟𝙪𝙙𝙖𝙣 𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙖𝙧𝙞𝙢𝙖𝙣𝙖....
𝙨𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙤𝙩𝙝𝙤𝙧𝙧
2022-11-20
1
Arsyazzahra
Aku malah curiga yang mandul si Martin.
2022-11-19
2