IYI 3

Setelah mendapat izin dari Wulan, Zoya pun memberanikan diri untuk menghampiri Liam yang masih bergeming di tempat yang sama. Ia berjalan dengan sangat hati-hati dan perlahan hingga tidak menciptakan sedikit bunyi ketukan sepatu yang menggema di ruangan itu. 

Ada keraguan yang sempat menginvasinya, tetapi ia berusaha untuk tetap memberanikan diri dan percaya bahwa ia bisa menghadapi Liam, meskipun tingkat depresi pria itu terkihat sudah cukup parah. 

Ya, tanpa Zoya bertanya lebih lanjut pun tentang kondisi Liam saat ini, ia sudah bisa menebaknya dengan pasti. Lihat saja keadaan kamar itu yang tampak seperti kapal pecah. Beberapa barang terlihat berserakan di lantai dengan sembarang tempat, termasuk bantal dan guling, juga beberapa benda yang tandas habis, terjatuh ke lantai, bahkan tampak serpihan kaca yang juga ikut menghiasi kamar itu. Ia tebak bahwa Liam sempat menyapu semua benda di atas meja menggunakan tangannya dalam sekaligus, juga melempar bantal dan guling itu tanpa perasaan. 

Zoya mengamati satu per satu benda yang teronggok di lantai, tanpa menghentikan langkahnya yang masih terlihat hati-hati menghindari serpihan kaca yang mungkin tersebar ke beberapa tempat. Hingga langkahnya tiba-tiba terhenti tepat di ujung tempat tidur. 

Ditatapnya pria yang masih duduk membelakanginya. Ia menghela napas sejenak, berusaha menetralkan perasaannya sebelum melanjutkan kembali langkahnya, menghadap Liam, pria yang pertama kali akan ditemuinya itu. 

Sementara itu, Wulan masih berdiri di ambang pintu, menyaksikan kegiatan Zoya secara langsung. Dia bahkan tidak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari Zoya. Berharap wanita yang ia percaya benar-benar bisa membangkitkan kembali semangat hidup putranya. 

Sesaat kemudian Wulan mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk senyuman, begitu Zoya menoleh ke arahnya seolah-olah meminta izin dan dukungan kembali. Meskipun Zoya tak mengucapkan secara langsung, tetapi Wulan bisa memahami arti tatapan dari wanita itu. 

'Ayo, Zoya ... kamu pasti bisa melakukannya. Tante yakin!' Wulan menatap penuh harap sambil bergumam dalam hati, berharap Zoya bisa mendengar suara hatinya, meski itu tidak mungkin. 

Zoya menghela napas lagi. Kali ini terlihat sedikit berat. Mungkin karena lagi-lagi keraguan menginvasinya. Ia kemudian memutar kembali wajahnya ke depan, setelah mendapat anggukkan kepala dari Wulan sebagai dukungan. 

Aku pasti bisa dan harus bisa. Aku tidak bisa melihat tante Wulan bersedih seperti itu melihat putranya. Buktikan kamu berguna untuk tante Wulan, Zoya. Bisik Zoya dalam hati. 

Langkah wanita itu pun kembali terayun perlahan. Hanya beberapa langkah ia telah berdiri di depan Liam. Tatapannya langsung mengarah ke sepasang iris berwarna coklat yang tengah menatap kosong ke arah jendela. 

Tidak hanya itu. Dia juga melihat bercak darah di pelipis pria di depannya. Masih belum dibersihkan atau bahkan diobati. Mungkin saja karena pelayan di rumah itu tidak berani mendekati majikan depresi seperti Liam atau mungkin sebaliknya, pelayan itu telah mencoba berusaha untuk mengobati luka tersebut, tetapi Liam menolaknya. Setidaknya itulah yang Zoya pikirkan saat ini. 

Terlalu banyak kemungkinan yang membuat seseorang enggan untuk mendekati orang yang mengalami depresi berat seperti Zoya dan rata-rata alasan mereka karena takut. Ia pikir, itu adalah hal yang sangat wajar dan normal. Karena tidak setiap orang memiliki keberanian yang sama. 

"Hai, Liam." Zoya menyapa lirih sambil menerbitkan senyuman simpul, begitu Liam menyadari keberadaannya dan menoleh ke arahnya. 

"Siapa kamu?" Liam membulatkan mata, menatap tajam ke arah Zoya, orang asing yang dengan berani muncul di depannya.

Terlihat jelas kekacauan di wajah pria itu. Wajahnya pucat dengan beberapa peluh yang timbul di sekitar dahinya. Belum lagi bercak darah yang semakin menambah kekacauan itu. Memang tidak terlalu banyak, tetapi itu cukup mengkhawatirkan. 

Zoya bisa membayangkan seberapa kuat Liam memukul atau membenturkan kepala hingga berdarah seperti itu. Pasti sangat kuat. Melihatnya saja ia ikut merasakan ngilu. Sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan. 

Pantas saja tante Wulan tidak punya waktu untukku, jangankan untukku, mungkin untuk dirinya sendiri pun dia tidak punya waktu. Sepertinya Liam memang butuh seseorang untuk membantunya bangkit. Tapi, siapa?gumam Zoya dalam hati. 

Zoya memaksakan untuk tersenyum, tetapi tidak kalah manis dari senyum bisanya. Ia kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Liam. 

"Perkenalkan, aku Zoya. Mungkin kamu pernah mendengar namaku. Mungkin juga kita bisa berteman?" ucap Zoya memperkenalkan diri. 

Alih-alih menanggapi, Liam justru melempar tatapan nyalang. Mengamati tangan Zoya yang masih terulur, lalu kedua matanya menyapu seluruh penampilan wanita di depannya dari mulai ujung kaki hingga ujung rambut, lalu turun lagi ke wajah cantik nan lugu itu. Hingga tatapannya terhenti di sana dan mereka beradu pandang beberapa saat. 

Akan tetapi, tidak ada pergerakan ataupun ucapan yang diberikan Liam sebagai tanggapan, meski hanya menyebutkan sebuah nama. Entah memori otaknya bisa menerima dengan baik setiap perkataan yang diucapkan Zoya, atau justru sebaliknya. 

Yang jelas Zoya melihat bahwa Liam seolah-olah tidak bisa menangkap dengan baik ucapannya. Hal itu terbukti dari tatapan kosong pria itu. Meskipun tatapan Liam tertuju ke arahnya, Zoya bisa melihat bahwa bukan ia yang menjadi objek pandangan yang sesungguhnya. Ia menyadari dan memaklumi bahwa begitu banyak beban yang mengganggu hati dan perasaan Liam. 

Zoya segera menurunkan tangannya yang sedari tadi terulur, tetapi tidak mendapat sambutan sama sekali. Ia tersenyum kecewa. Namun, tidak ingin memperpanjang hal itu. Setidaknya ia masih memiliki kesempatan untuk berusaha mendekati Liam, selama pria itu tidak memberontak dan melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya. 

"Hem ... Boleh aku bantu mengobati lukamu?" tanya Zoya seraya tersenyum tidak meyakinkan. 

Zoya tampak melangkah maju mendekati Liam dan berniat untuk duduk di samping pria itu. Namun, urung saat tiba-tiba Liam membuka suaranya. 

"Aku tidak butuh bantuanmu. Keluar dari kamarku!" teriak Liam dengan tatapan sinis yang tertuju ke arah Zoya. Tangannya terangkat dan mengarah ke pintu kamarnya yang masih terbuka lebar, tanpa ia sadari ibunya tengah berdiri di sana. 

"Keluar!" teriaknya.

Terpopuler

Comments

Bunda dinna

Bunda dinna

Liam depresi berat..

2022-11-30

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!