Lama sekali aku menunggu bodyguard sedang berkemas-kemas, sungguh rasanya hati sudah gondok dan dibuat kesal, sebab aku harus buru-buru mampir ke kantor dulu.
"Dio ... Dio, ayo cepetan," panggilku dengan cara berteriak-teriak.
"Aah ... heeh. Lelet amat sih dia ngambil barang saja!" gerutuku kesal.
Angka yang tertera digawai sudah menunjukkan angka lima belas menit terlambat.
"Sabar Dilla, mungkin dia sedang banyak barang yang perlu dikemas!" pembelaan ucapan mama.
"Aneh bener sih dia! Masak dari kampung saja banyak betul barangnya, kayak barang berharga emas berton-ton saja dia bawa," imbuhku mengerutu.
Mulut terus saja ngoceh, saat dia belum saja menampakkan batang hidungnya didepanku.
"Iya ... ya, Non. Aku sudah selesai nih! Maaf Non menunggu lama, sebab aku tadi mampir ke toilet dulu," ucap Dio menjelaskan.
"Heeh, bawel amat sih! Cepetan kita pergi sekarang, aku ada perlu penting diperusahaan. Kalau sampai keteteran disana, akan kutabok muka kamu itu," acaman menyuruh.
"Baik, Non. Maaf."
"Aku pergi dulu, Ma!" pamitku berusaha bercipika-cipiki pipi.
"Iya, kalian hati-hati dijalan," pesan beliau.
"Siiip, Ma."
"Nyonya saya pamit dulu," ujar Dio sambil menundukkan badan pelan.
"Iya, Dio. Kalian hati-hati."
Kamipun sudah keluar dari rumah Mama, dan segera menuju mobil mewahku yang berwarna silver. Karena malas untuk menyetir mobil, jadi akan kusuruh Dio untuk menyetirnya.
"Ambil ini!" Kulempar kunci mobil pada Dio.
"Untuk apa ini, Non!" tanyanya yang sudah menangkap tepat kunci itu.
"Ya kamulah yang harus menyetir mobil," perintahku menjawab.
"Hehehe, maaf Non. Aku tidak bisa menyetir mobil," jawabnya polos dengan tangan mengusap-usap pelan belakang tengkuk.
"Yah ... yah, beneran kamu tidak bisa menyetir mobil?" tanyaku kaget.
"Iya, Non. Maaf!" jawabnya pelan.
"Heeeh, papa ini apa gak salah memilih bodyguard, masak nyetir mobil saja tidak bisa, sini kuncinya!" ucapku kasar sambil mengeluh, yang berhasil merebut kunci mobil dari tangan Dio.
"Maaflah, Non."
Dio hanya berdiri mematung, kelihatan merasa tidak enak sekali atas ketidakbecusannya.
"Cepetan masuk! Kenapa? Tidak bisa juga buka pintu mobilnya?" keherananku bertanya.
Hanya senyuman menyeringai sumringah yang diberikan Dio.
"Hiiiccch .... iiih," erangku kesal.
"Aduuuuh papa, aku bisa gila punya pengawal ngak bisa apa-apa kayak gini, jangan sampai umur sudah tua tumbuh uban cepat dan banyak, gara-gara sering emosi pada bodyguard sendiri," nada suaraku keras agar sengaja Dio mendengarnya.
Jebret, pintu mobil telah kututup dengan kerasnya. Mobil sudah mundur sedikit, dan sekarang berusaha maju untuk kami siap meluncur.
"Sebenarnya kelebihan kamu itu apa, sih? Kayaknya papaku itu beneran salah mengangkat pengawal seperti kamu, takkan majikan disuruh menyetir dan membukakan pintu untuk anak buah," sewotku mengerutu pada Dio.
"Maaf ya, Non. Sekali lagi maaf banget. Aku sementara ini memang belum bisa menyetir, tapi besok-besok pasti akan bisa, sebab tuan besar sudah menyuruh orang untuk mengajari aku menyetir," jelas Dio.
"Besok ... besok, ya besok itu kapan? Jangan sampai tiap hari aku yang nyetir dan kamu hanya duduk manis saja," protesku tak senang.
"Pokoknya secepatnya deh, Non!" jawab Dio dengan senyum lebar.
"Ciiih, baru jadi bodyguard setengah jam yang lalu aja bangga banget, pakai ngomong bakal bisa nyetir secepatnya? Dasar kampungan, memang sukanya pamer kayak sudah bisa saja," decihku dalam hati tak suka.
"Umur kamu berapa sih? Masih imut-imut gitu?" tanyaku penasaran.
"Aku memang imut, sebab masih 26 tahun," Kesombongannya berkata.
"Jangan sok kege'eran, aku habis memuji kamu," balik jawabku tak suka.
"Hehehe, sedikit ge'ernya."
"Berarti umur kamu masih dibawahku, jadi kamu harus sopan memanggilku. Lagian aku adalah majikan kamu yang sah, jangan pernah coba-coba yang aneh, awas saja!" tambah perkataanku.
"Siip dah."
Dengan terpaksa akupun mengajak Dio keperusahaan, sebab sedang terburu-buru ada file penting yang harus kutanda tangani. Mata Dio terus saja menatap gedung mewah milik perusahaanku, seperti kagum dan takjub.
"Kamu itu tidak usah kampungan melihat gitu, kayak ngak pernah lihat gedung bagus saja, bukankah di telivisi juga ada dan pastinya pernah melihat," keluhku tak senang.
"Aku memang dari kampung dan ngak pernah lihat gedung sebagus bertingkat-tingkat begini. Di telivisi itu 'kan beda sama aslinya, jadi ya heran saja lihatnya," jawab Dio masih takjub.
Netranya terus fokus melihat gedung menjulang tinggi milik keluarga.
"Aah ... benar-benar anak ini bikin malu saja, papa pasti sudah dikelabui mengangkatnya jadi pengawal, awas saja kalau ada sesuatu terselubung memanfaatkan keluargaku, pasti akan kubuat hidupmu menderita seumur hidup, hahahahha!" tawaku puas dalam hati, saat sedang berdiri di lif bersama Dio.
Karena tak ada hal penting yang kukerjakan diperusahaan, kini tugasku adalah mengajak Dio untuk kerumahku sendiri. Walaupun orangtua ada rumah besar dan mewah, akupun tak mau bergantung hidup pada mereka yang boleh dikatakan harus mandiri.
"Ini adalah rumahku, jadi kamu harus menjaganya dengan baik. Jangan sampai mentang-mentang kamu ditugaskan menjadi pengawal pribadiku, kamu bisa enak-enakkan tak membersihkan rumah ini," ujarku memberitahu.
"Beres, Non."
"Itu kamar kamu," tunjukku.
"Iya, Non. Terima kasih sudah diantar."
"Hmm."
Mata Dio mengintip sedikit kamarnya, mungkin heran jika kamar pengawal saja bisa mewah.
Setelah diriku memperkenalkan beberapa ruangan kepada Dio, akhirnya kerjaanku sekarang hanya berbaring malas-malasan didalam kamar, yang mencoba ingin kembali memejamkan mata, karena sempat tertunda akibat suara cempreng mama pagi tadi.
Dert ... dert, gawai telah berbunyi.
[Heeem, ada apa?]
Tanyaku pada Reyhan, saat dia sedang menelpon diseberang sana.
[Gak ada hal penting, sih! Cuma aku mau mengajak kamu makan malam lagi, sebab tadi malam belum puas gara-gara kamu keburu pulang]
[Baiklah, jam berapa?]
[Jam delapan, bisa?]
[Yang pastinya bisa, apa sih yang gak buat kamu pacar tertampanku]
[Hihihihi, tau aja kalau aku tampan. Gak mungkin kalau aku gak tampan bakal jadi artis begini, iya 'kan?]
[Ya ... ya, memang pacarku paling tampan sedunia]
[He ... he, makasih atas pujiannya. Jangan lupa nanti malam, sayang]
[Iya]
Tut ... tut, gawai kembali tertutup, dan mata rasanya sudah tak tahan lagi untuk segera terpejam.
Tanpa terasa akupun telah tidur begitu nyenyaknya, sampai-sampai waktu sorepun telah tiba. Pikiranpun kembali teringat jika Dio sudah ada dalam rumah ini, jadi kini aku buru-buru bangkit dari tempat tidur. Langkah sudah tergesa-gesa menuruni anak tangga, dan kini netra mencoba mencari keberadaan Dio.
"Dio ... Dio!" panggilku.
"Dio ... Dio?" ulang memanggilnya.
"Iya non," jawabnya sudah tergopoh-gopoh lari.
"Dari mana aja sih! Dipanggil-panggil ngak nyimbat-nyimbat?."
"Aku habis dari belakang melihat tanaman yang mulai layu-layu, dan mulai kusirami dan ditata rapi," jelasnya.
"Ooh. Ya sudah, kamu hentikan pekerjaan dibelakang, belikan makanan sekarang! Sebab aku lapar banget, dari pagi tadi ngak ada makanan yang kumakan," suruhku.
"Biar aku masakkan saja, Non. Aku juga jago masak lho!" Kesombongannya berkata.
"Ciih, masak sih. Sayangnya aku tidak percaya, mana ada cowok pandai masak, muka kamu aja pas-pasan kayak gitu," hinaku.
"Gak percaya? Mau bukti? Muka boleh pas-pasan, tapi jangan remehkan khuwalitasnya," sahutnya menjawab.
"Sudah ... sudah, aku ngak mau berdebat sekarang, cepetan belikan makanan aja, bawel amat sih! Keburu maag datang," perintahku.
"Heeeh ... iya deh, Non. Siap laksanakan tugas," Hembusan nafasnya pasrah.
Sambil menunggu Dio datang, kerjaanku sekarang mempercantik kuku dengan cara mewarnainya.
Untung ada sepeda kayuh dirumah, jadi tidak terepotkan diriku untuk mengantar Dio. Penjual makananpun tidak jauh, sehingga Dio bisa mudah menemukan dan cepat kembali.
"Itu Non, sudah siap makanannya," ujar Dio memberitahu.
"Heeem," jawabku biasa, sebab masih sibuk dengan kuku.
"Non, itu makanan sudah siap!" tutur Dio memberitahu lagi.
"Ahh ... Dio! Aku dengar dan telinga belum tuli lagi, iya nanti akan kumakan. Kamu itu apa ngak lihat, aku tengah sibuk mewarnai kuku," gerutuku kesal.
"Maaf, Non."
"Sudah pergi sana! Rasanya eneg banget lihat muka kamu itu," bentakku memprotes.
Karena bentakkan yang kelihatan marah, Dio tak berucap sepatah katapun dan langsung meninggalkanku sendirian.
"Dasar cowok lebay, masak baru dibentak dikit saja kelihatan sudah cengeng. Heeeh, semoga saja aku tak semakin keriput tua gara-gara sering marah padanya," rancau hati kesal.
Kok jadinya aneh rasa ini habis membentak seseorang.
"Aah ... apa aku keterlaluan ya ngomong dan membentaknya tadi. Iiiiss .. sudahlah, toh dia sendiri yang buat gara-gara, bikin aku kesal," guman hati merasa menyesal tapi masih bersikap acuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
❤️⃟Wᵃf 🤎ˢʰᵉʸₙᵤᵣ𝒻ₐ₳Ɽ💔
y ampun dilla klo aq jadi dio udah qu comot bibir km yang bawelnya mirip mama km...
jangan suka merendahkan orang lain hanya karna orang itu dari kampung..
ntar km kena karma.
2024-12-10
2
𝚁𝚎𝚢 𝙽𝚊𝚛𝚊
ya di maklumi aja lah.. dio kan baru pertama kali ke kota.
2024-05-08
2
𝚁𝚎𝚢 𝙽𝚊𝚛𝚊
aduuh jangan galak2 kenapa.. jd kesaannya kasar. cewe itu yg lemh lembut
2024-05-08
1