Malam itu, Zayn terlihat berpakaian rapi dan menuruni anak tangga dengan malas. Ia hendak diajak makan malam bersama keluarga besarnya, itu artinya dirinya akan bertemu dengan Farzan, sepupu yang dianggapnya sebagai pengkhianat karena telah merebut gadis bernama Joya yang menjadi incarannya sangat lama. Meski sebenarnya itu kesalahan Zayn yang terlalu lama memendam perasaannya pada gadis pujaan hatinya, tapi entah kenapa tetap saja menganggap Farzanlah penyebab dirinya tak bisa memiliki gadis bernama Joya.
“Ma, apa aku boleh jika tidak ikut?” tanya Zayn yang benar-benar malas. Andai tahu jika hari ini akan ada makan malam keluarga, mungkin Zayn akan memilih berpura-pura jika ada urusan bisnis di luar kota dan tidak bisa pulang.
“Tidak bisa, Zayn. Kita harus hadir agar mempererat tali persaudaraan kita. Kamu tahu kalau acara seperti ini sudah diadakan keluarga besar kita secara turun temurun, ‘kan?” Tentu saja orangtua Zayn menolak keinginan pemuda itu untuk tak ikut.
“Biasalah, Ma. Kakak tidak mau ikut pasti karena tak ingin melihat Kak Farzan,” celoteh adik perempuan Zayn yang berumur dua puluh tiga tahun.
“Diam kamu! Berisik!” Zayn melotot ke arah adik perempuannya itu.
Zahra Adzriel—adik Zayn, menjulurkan lidah untuk mengejek sang kakak, sebelum kemudian melenggang pergi keluar menuju mobil.
Sang ibu pun merasa heran, dulu hubungan Zayn dan Farzan sangat baik, mengingat mereka satu keluarga dan tumbuh bersama. Namun, sejak beberapa tahun lalu, Zayn tiba-tiba membenci Farzan, belum lagi saat Zayn mengalami sebuah kecelakaan motor, wanita itu sempat mendengar jika Zayn menyalahkan kakak sepupunya itu.
“Jika kamu benar-benar tak mau bertemu dengan Farzan, tapi setidaknya tetap datang untuk menghormati paman dan bibimu. Jangan buat mereka beranggapan jika kamu tidak sopan dengan tak mau menghadiri jamuan di rumah mereka,” ujar wanita paruh baya itu menjelaskan, menepuk pelan lengan Zayn, sebelum kemudian berjalan menyusul sang suami dan Zahra yang sudah menunggu di mobil.
“Ini sangat menyebalkan,” gerutu Zayn, tapi kemudian memilih menyusul adik dan kedua orangtuanya.
**
Zayn ternyata hadir di rumah orangtua Farzan, ikut makan malam bersama keluarga besarnya, tentu saja bersama Farzan juga Grisel karena mereka saudara. Pemuda itu sesekali melirik Farzan yang duduk berseberangan dengannya, tentu saja karena masih kesal jika mengingat bagaimana Farzan merebut Joya, kemudian malah membuangnya lantas memilih Grisel yang dianggap buruk oleh Zayn.
Di meja makan itu terjadi pembahasan tentang Grisel yang belum hamil. Zayn sendiri terus memperhatikan ekspresi wajah sang kakak sepupu yang tertekan. Zayn tahu jika Farzan selama ini memang tidak bahagia hidup bersama istrinya, mungkin itu karma karena kakak sepupunya itu menyia-nyiakan gadis baik dan memilih batu sandungan seperti istrinya sekarang ini.
Zayn melihat Farzan yang pamit ke kamar kecil, hingga kemudian mengusap bibir depan tisu lantas ikut berdiri.
“Aku ke kamar mandi juga sebentar,” kata Zayn lantas pergi meninggalkan meja makan.
Zayn melihat sang kakak sepupu yang tidak pergi ke kamar mandi, tapi menuju lantai tiga rumah orangtua kakak sepupunya itu. Dia pun menyusul ke lantai tiga, untuk bicara dengan sang kakak sepupu, atau lebih tepatnya hanya ingin meledek.
Zayn memandang punggung Farzan—kakak sepupunya yang memunggungi pintu balkon lantai tiga. Dia menghela napas kasar lantas menghampiri Farzan.
“Apa kamar mandi pindah ke lantai tiga?” tanya Zayn yang tentunya hanya mencibir.
Farzan menoleh dengan wajah kesal, sebagai saingan cinta saat masih muda, Farzan tahu jika Zayn tidak menyukai dirinya.
Farzan bicara dengan nada ketus, tapi itu tidak masalah bagi Zayn. Di sana Zayn bicara banyak hal, termasuk menghina dan mencibir Farzan yang salah pilih pasangan.
**
Hari sabtu yang indah layak disambut dengan hal indah pula. Sore itu Zayn sedang berolahraga di ruang Gym yang terdapat di rumahnya, mengangkat barbel dan alat olahraga lainnya secara bergantian.
Hingga pintu ruangan Gym terbuka, Zahra tampak berjalan mendekat dengan langkah riang. Gadis berumur dua puluh tiga tahun itu mendekat ke arah sang kakak yang sedang berolahraga.
“Kakak Zayn!” panggil Zahra dengan suara manja.
Namun, harapan Zahra agar sang kakaknya itu membalas balik sapaan manjanya itu sirna sudah, karena Zayn bersikap tak acuh dan seolah tak melihat kedatangannya.
“Kak Zayn!” geram Zahra karena Zayn tak menoleh sama sekali.
Zayn mematikan mesin treadmill, lantas turun dan mengambil handuk kecil yang ada di depannya. Dia menoleh dan melihat Zahra yang sudah memasang wajah masam.
“Ada apa?” tanya Zayn dengan wajah datar, mengusap keringat menggunakan handuk kecil yang dipegang.
“Minta uang!” Zahra menengadahkan tangan, hendak meminta jatah kepada sang kakak, atau lebih tepatnya sedang memalak kakaknya yang banyak uang.
Zayn melirik tangan Zahra yang menengadah ke arahnya, hingga memukul telapak tangan adiknya itu dengan kencang. Lantas berjalan santai ke arah alat olahraga lainnya.
“Zayn!” teriak Zahra yang kesal karena kena pukul hingga telapak tangannya memerah.
“Sekarang berani memanggil dengan namaku saja, hm?” tanya Zayn tanpa menoleh Zahra.
Zahra mengerucutkan bibir, menatap telapak tangan yang panas.
“Salah siapa memukulku!” gerutu Zahra, kemudian berjalan menyusul kakaknya itu.
“Salah siapa minta uang terus!” balas Zayn. Pemuda itu duduk di salah satu kursi khusus, mengambil Dumbbell kemudian mengayunkan ke atas dan bawah secara perlahan.
Zahra mengerucutkan bibir, mendekat dan berjongkok di depan Zayn yang sedang mengayunkan Dumbbell.
“Ayolah Kakak, beri aku uang. Aku ingin nonton sama temen-temen,” pinta Zahra memelas, memasang wajah imut agar kakaknya itu mau memberinya uang.
Zayn melirik Zahra, tapi kemudian kembali fokus pada tangan yang sedang memegang Dumbbell.
“Memangnya Mama nggak kasih?” tanya Zayn kemudian, sebenernya dia tidak bisa jika mengabaikan permintaan adiknya itu.
“Kasih, tapi takut kurang,” jawab Zahra jujur karena tak bisa berbohong dari Zayn.
Zayn berhenti menggerakkan tangan, lantas meletakkan Dumbbell ke lantas dan menatap wajah adiknya yang masih memasang wajah imut.
“Memangnya kamu mau ke mana, sih Zahra? Aku tidak percaya jika Mama memberimu uang sedikit,” ujar Zayn menatap kedua bola mata Zahra, menilai apakah adiknya itu akan berbohong.
Zahra kebingungan jika Zayn sudah bertanya seperti itu, tapi dirinya harus berhasil membujuk agar bisa mendapatkan uang lebih.
“Ya, lumayan. Tapi takut kurang,” jawab Zahra sambil menusukkan telunjuk satu sama lain. “Kak, ayolah! Masa kamu nggak mau kasih uang adikmu yang cantik ini. Ayolah Kakak tampanku, yang manis, baik.” Zahra mencoba merayu Zayn.
“Aku sudah tampan dan manis sejak lahir, jadi jangan diperjelas,” balas Zayn percaya diri.
Zahra mencebik mendengar sang kakak malah terlalu percaya diri, hingga teringat akan satu jurus yang mungkin sangat mempan untuk membujuk Zayn. Dia tersenyum lebar, kedua alis tampak naik-turun seolah ada ide yang siap dilaksanakan.
“Kak Zayn yang baik,” rayu Zahra.
“Aku sudah baik sejak dulu, Zahra,” balas Zayn. Pemuda itu mengambil gelas berisi air putih dan menenggak perlahan.
“Oh … Kakak sayang, beri aku uang, ya. Kakakku sayang paling tampan,” bujuk Zahra menggunakan jurus terakhirnya.
Mendengar Zahra mengucapkan kata sayang, membuat Zayn langsung menyemburkan air yang baru saja masuk ke kerongkongan, dia paling jijik dan risih jika dipanggil dengan sebutan sayang. Nahasnya, air itu mengenai tepat di wajah Zahra.
“Kak Zayn jahat!” Zahra memejamkan mata karena terkejut, kini wajah yang sudah berpoles make up itu harus basah karena perbuatan kakaknya.
Zayn menahan tawa, apalagi melihat wajah Zahra yang belepotan karena terkena semburan air dari mulutnya.
“Huwaa ….” Zahra berteriak dan menangis dengan kencang. “Kak Zayn jahat sekali!” rengeknya.
Zayn benar-benar ingin meledakkan tawa, hingga kemudian menggunakan handuk yang dipegang untuk mengusap wajah Zahra.
“Makanya jangan membuatku terkejut, apalagi sampai mengucapkan kata itu. Kamu tahu aku geli jika mendengarnya,” ujar Zayn menyampaikan kesalahan Zahra.
Zahra sangat kesal, hingga menepis tangan Zayn yang sedang membersihkan sisa air di wajah.
“Tapi nggak nyembur di wajahku juga, Kak!” teriak Zahra kesal.
Melihat Zahra yang kesal, seperti sebuah kesenangan tersendiri untuknya. Dia merogoh dompet dari saku celana, lantas mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dompet.
“Nih, buat jajan. Tanda maaf sudah menyemburmu dengan air,” ucap Zayn masih sambil menahan tawa.
Zahra memicingkan mata, melirik uang yang disodorkan Zayn tanpa menerima.
“Nyogok!” protes Zahra.
“Lho, bukan nyogok. Katanya tadi mau minta uang jajan,” balas Zayn dengan tangan masih menyodorkan lembaran uang itu.
“Ya ini nyogok! Nyogok, suap biar aku nggak marah!” protes Zahra lagi masih memasang wajah kesal.
“Terserah apa sebutannya, asal kamu tidak marah. Jadi mau nggak? Kalau nggak mau, aku masukin lagi,” balas Zayn bersiap mengembalikan uang itu ke asalnya.
Secepat kilat Zahra mengambil uang dari tangan Zayn, jangan sampai masuk ke kandang lagi atau akan sulit mengeluarkannya.
“Ya sudah, karena Kakak sudah bersusah payah merayu, jadi aku terima dengan ikhlas,” ucap Zahra mengada-ada, sedangkan awalnya dia yang minta.
Zayn benar-benar gemas dengan adiknya itu, dia lantas mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut Zahra yang sudah berantakan.
“Kak! Kamu merusak penampilanku!” teriak Zahra menepis tangan Zayn, lantas menghindar dengan cepat.
“Memangnya kamu mau pergi sama siapa? Sampai menjaga penampilan seperti itu?” tanya Zayn yang tiba-tiba penasaran ke mana adiknya itu akan pergi.
“Biasalah sama teman,” jawab Zahra sambil menghitung uang yang diberikan Zayn, ingin tahu berapa banyak kakaknya itu memberi.
“Cowok apa cewek?” tanya Zayn lagi.
“Tentu saja Co ….” Zahra hampir saja keceplosan, lantas mengatupkan bibir dan meralat ucapannya. “Maksudnya tentu saja cewek.”
Zayn menyipitkan mata, melihat ada yang aneh dari jawaban adiknya.
“Cewek apa cowok?” tanya Zayn mengulang.
“Ceweklah, Kakak,” jawab Zahra tegas, kini dengan senyum lebar di bibir.
“Hm ….” Suara dehaman yang terdengar dari bibir Zayn.
Zahra sudah ketakutan, jangan sampai kakaknya tahu jika dirinya akan pergi dengan pemuda.
“Oh ya, Kakak nggak pergi malam mingguan?” tanya Zahra mencoba mengalihkan perhatian Zayn dari pembahasan dirinya.
“Tidak, mending di rumah,” jawab Zayn santai. Dia kembali duduk dan mengambil Humbbell lagi.
“Oh, aku lupa,” ucap Zahra sambil terlihat seolah sedang mengingat sesuatu.
Zayn memperhatikan Zahra dengan dahi berkerut. “Lupa apa?” tanya Zayn penasaran.
Zahra menatap Zayn dengan senyum lebar, kemudian sedikit membungkuk ke arah Zayn yang duduk. “Lupa, kalau Kakak jomblo abadi,” jawab Zahra begitu keras, lantas berlari untuk kabur.
“Zahra! Sialan bocah ini!” geram Zayn karena ledekan sang adik.
Namun, sedetik kemudian Zayn menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, ledekan adiknya menjadi hiburan tersendiri untuknya. Saat Zayn akan kembali mengayunkan Dumbbell di tangan, ponselnya berdering dan nama seseorang terpampang di sana.
“Halo, ada apa?” tanya Zayn begitu menjawab panggilan itu. Zayn terdiam sejenak mendengarkan, hingga tangan terlihat lemas dan wajah berubah pucat.
“Baiklah, tentu aku akan datang,” balas Zayn sebelum kemudian mengakhiri panggilan itu.
Zayn menatap nama yang terpampang di layar ponselnya, menggenggam erat ponsel itu sebelum kemudian berdiri dengan cepat. Meski mencoba melupakan, tapi kenapa tetap ada sesuatu yang membuatnya merasa sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
🦋𝖀𝖓𝖓𝖎𝖊 𝕰𝖛𝖎🍀
kamu geli atau jijik dipanggil sayang ya Zayn🤭🤭
2023-01-09
0
𝕸y💞Terlupakan ŔẰ᭄👏
benar benar kakak beradik yang rukun
2023-01-03
1
@♕🍾⃝𝙾ͩʟᷞıͧvᷠεͣᵉᶜw⃠❣️
haduh punya Abang macanu Zayn bikin betah tuh
2022-12-29
1