"Suster tolong selamatkan dia, cepat!" Mutia berteriak keras memanggil para suster agar segera menolongnya membawa tubuh laki-laki di dalam dekapannya. Gadis itu berlari cepat setelah memberikan ongkos dan menyusul para suster itu yang membawa tubuh laki-laki asing tadi.
"Maaf, Nona, sebaiknya Anda menunggu di luar." Dua orang suster menahan langkah Mutia yang hendak ikut masuk ke ruangan ICU. Terpaksa gadis itu memutar tubuhnya lagi dan memilih mencari sebuah bangku kosong di depan sana.
Satu jam, dua jam berlalu dengan begitu lambat. Ruangan tempat laki-laki itu di rawat belum terbuka sejak tadi. Mutia bertambah risau, ia yakin sekali jika luka di tubuh laki-laki itu memang cukup parah.
"Ya Tuhan, semoga dia bisa di selamatkan." Gadis itu mengusap wajahnya sendiri. Tidak sadar jika pakaiannya juga basah kuyup, ponsel miliknya mati, serta kedua sepatunya yang di penuhi lumpur dari dalam danau.
Orang-orang yang melintas di depannya melirik sekilas, menerka gadis berpenampilan acak-acakan itu pasti korban kecelakaan. Itu yang ada di pikiran mereka. Hingga jam yang tergantung di dinding menunjuk angka lima sore, dokter yang menangani laki-laki itu belum menunjukkan batang hidungnya.
"Apa sebaiknya aku tinggal saja?" Ia mengacak rambutnya frustasi. Sudah dapat dipastikan jika sang mama cemas karena ia tidak bisa di hubungi. Mutia berjalan kearah resepsionis, lantas meminjam telepon yang ada di sana untuk menghubungi orang rumah.
[Hallo ....?]
[Mutia ...!] Dari seberang sana suara sang nenek yang terdengar. Jantung Mutia berdegub kencang, pasti ada sesuatu yang terjadi sepeninggalnya tadi.
[Nenek?]
[Cepat pulang, Mutia, Mama ....]
tuttttt ....
Panggilan terputus secara sepihak. Mutia lari tunggang langgang keluar dari gedung rumah sakit dengan wajah cemas. Gadis itu tidak bisa lagi berpikir jernih saat mendengar suara teriakan dari neneknya tadi.
Nenek? Mama? Sebenarnya apa yang terjadi?
Jalanan yang macet membuat Mutia beberapa kali mendesah frustasi. Jika bisa ia ingin segera berlari, tapi itu tidak mungkin karena jarak yang harus ia tempuh masih lumayan jauh.
"Bisa lebih cepat lagi tidak, Pak!" Gadis itu terus berteriak pada pria di belakang kemudi. Memintanya untuk menambah kecepatan lagi, dan lagi.
"Di depan masih macet, Nona."
Akhhh .....!!
Satu jam lebih taksi baru bisa bergerak dan kembali melanjutkan perjalanan. Supir memacu kendaraan roda empat itu dengan kencang sesuai permintaan gadis itu.
"Ini ongkosnya, Pak. Terimakasih!" Gadis itu sudah berlari setelah memberikan beberapa lembar uang dari saku celananya.
Sedangkan sang supir hanya melongo menyaksikan lembaran uang yang ada di tangannya. Basah, berlumpur, dan saat melirik bangku belakang ...
"Astaga!" Supir itu memekik. Terkejut melihat keadaan taksinya yang kotor oleh lumpur yang menempel di sana-sini.
"Sebenarnya gadis itu dari mana sih? Kenapa taksiku di penuhi lumpur begini?" Menggeleng pelan, lantas segera masuk dan meninggalkan pelataran rumah gadis aneh yang menjadi penumpangnya.
Di dalam sana. Tepatnya di ruang tamu tengah terjadi perdebatan sengit antara Naila dan Yudi. Laki-laki yang tak lain adalah papa kandung Mutia itu terus saja menyalahkan Naila atas batalnya pernikahan putrinya. Apalagi saat ini istri mudanya turut datang ke rumah itu, semakin menambah suasana semakin panas oleh perdebatan yang sejak tadi tak kunjung usai.
"Lihat saja, Yud, mantan istrimu ini memang tak tahu diri sekali. Sudah salah malah masih saja membela diri!" Laura malah memprovokasi Yudi hingga laki-laki semakin memandang Naila dengan tatapan benci.
"Tutup mulutmu perempuan sialan!" maki Naila. Jika dulu ia seorang wanita yang lemah lembut, keadaan telah merubahnya menjadi sosok yang tangguh dan tegas. Ia tidak mau lagi di tindas oleh siapa pun.
"Kau yang harusnya tau diri, Naila, cih! Rasanya aku malas berhubungan lagi denganmu!" ungkap Yudi yang makin membuat dada Naila terbakar amarah.
"Aku juga tak sudi mempunyai hubungan dengan kalian lagi! Kalau bukan karena Mutia putri kandungmu, aku tidak akan mengemis untuk meminta restumu kemarin!" Naila seolah kehilangan harga diri saat ia harus memohon agar Yudi mau menjadi wali untuk putrinya. Meski akhirnya pernikahan itu harus gagal.
"Kau!!" Yudi mengeram emosi. Laki-laki itu maju beberapa langkah kearah Naila dan hendak melayangkan tangannya ke wajah wanita itu.
"Cukup!!" Mutia tiba-tiba muncul dari arah depan sana. Gadis cantik itu masih mengenakan pakaiannya tadi yang basah dan berlumpur.
"Sebaiknya Papa pergi saja dari sini!" Mutia sama sekali tidak mau menatap kearah laki-laki paruh baya itu. Ia memilih melempar tatapan kearah lain karena terlalu muak dengan kelakuan papanya sendiri.
"Sayang ...." Naila menatap wajah sang anak dengan tatapan bingung. "Kenapa kamu kotor sekali?" Wanita itu memeriksa tubuh putrinya, beruntung Mutia pulang dalam keadaan baik-baik saja. Padahal tadi Naila sudah panik bukan main karena ponsel gadis itu sama sekali tidak bisa di hubungi.
"Nak, kamu ikut Papa pulang ya?" bujuk Yudi mendekat pada Mutia. Perempuan di sampingnya melengos, Laura sama sekali tidak menyukai ini, saat Yudi berusaha mengajak putrinya untuk ikut tinggal satu rumah dengan keluarganya.
"Kamu mau 'kan ikut pulang ke rumah Papa?" Saat suara Yudi terdengar lagi, Laura buru-buru menarik tangan laki-laki itu,
"Kamu apa-apaan sih, Yud! Aku nggak mau di rumahku ada orang asing!" Laura berucap ketus. Ia juga menatap sinis kearah Mutia.
"Mutia itu putriku, Laura, bukan orang asing!" ucap Yudi membela Mutia.
"Aku juga nggak sudi tinggal satu atap dengan perempuan iblis sepertimu!" bisik Mutia lirih. Tapi tentu saja di dengar oleh Laura karena jarak mereka yang lumayan dekat.
"Kau bilang apa tadi!" Laura sontak melebarkan kedua matanya mendengar ucapan gadis itu. "Yud, lihat anakmu sudah kurang ajar padaku!" tunjuk Laura pada wajah Mutia.
"Itu memang kenyataannya, Tante!" Mutia tidak punya rasa takut sama sekali. Ia semakin menatap kearah Laura dengan tatapan menantang.
"Dasar gadis sialan! Kau memang pantas di juluki anak pelakor!" Kini keributan bukan dari Naila dan Yudi lagi. Tapi dari dua orang wanita yang berbeda usia itu.
"Cukup, Laura!!" Yudi berusaha meredam emosi sang istri. Ia tidak ingin mereka saling membenci yang akhirnya membuat keadaan bertambah rumit.
"Bela aja terus sampai dia besar kepala!" sungut perempuan itu. Ia memang telah berhasil membuat Yudi membenci Naila. Tapi tidak dengan gadis itu.
"Sebaiknya kalian segera pergi dari rumahku!" ucap Mutia dingin. Gadis itu mengayun langkah melewati Yudi dan ...
"Auwww ....!!" Mutia sengaja menyenggol bahu sebelah kiri Laura hingga perempuan itu memekik terkejut. Lagi-lagi kedua matanya melotot seakan ingin melompat keluar.
"Dasar anak tidak berpendidikan!" maki Laura menahan kesal yang tiada terkira. Ia melirik sang suami, Yudi malah diam menyaksikan kelakuan putrinya itu.
Sedangkan Naila menarik sudut bibirnya, ia tidak menyangka Mutia akan memiliki keberanian seperti itu. Melawan serta membalas ucapan perempuan yang berstatus ibu tirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments