Dunia Mutia seolah runtuh, impiannya menikah dengan Yusuf–lelaki yang sangat ia cintai musnah sudah. Gadis itu tidak tahu lagi harus melakukan apa. Seharusnya besok adalah hari yang paling bahagia untuknya. Hari yang paling bersejarah saat ia dan Yusuf mengucap janji suci dan bersanding di pelaminan. Namun, semua hanya tinggal angan saja karena sang calon suami telah membatalkannya secara tiba-tiba.
Melangkah gontai, Mutia meninggalkan kediaman Yusuf dengan hati yang tercabik-cabik. Bukan hanya soal pernikahannya yang gagal. Tapi, hinaan serta cacian yang mereka tujukan untuk sang mama sungguh membuat Mutia hancur.
"Kau anak seorang pelakor, Mutia. Mama–mu itu pelakor! Aku juga tak sudi punya menantu sepertimu!" Kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Seolah apa yang mereka tuduhkan benar-benar kenyataan.
Bagaimana mungkin mereka menuduh sang mama seorang pelakor? Apa karena status mamanya yang hanya sebagai single parent? Padahal yang ia tahu jika selama ini mamanya adalah perempuan baik, perempuan hebat yang selalu berjuang agar bisa menghidupi keluarganya.
"Maaf, Nona, tadi Anda belum membayar ongkos taksi." Suara supir taksi yang mengantarnya tadi membuyarkan lamunan Mutia. Gadis itu menyeka air matanya segera dan berusaha menyembunyikan kesedihannya tadi.
"Maaf, Pak, tadi saya buru-buru." Mutia memaksakan tersenyum. Ia meminta taksi tersebut untuk mengantarnya kembali rumah.
Sepanjang perjalanan Mutia hanya bisa melamun, membayangkan kisah cintanya dengan Yusuf yang sudah terjalin hampir setengah tahun. Tapi, semua kandas tanpa sisa. Yusuf yang dulu pernah berjanji akan menjaganya, melindunginya, malah menghinanya dengan terang-terangan.
Mutia mendesah berat. Gadis itu memijit pelipisnya sendiri yang tiba-tiba berdenyut. Seolah enggan memikirkannya lagi, gadis itu merebahkan kepalanya sejenak, menunggu sampai taksi tersebut sampai di depan pekarangan rumahnya yang sederhana.
"Mutia, dari mana saja kamu!" Baru saja Mutia menapakkan kakinya turun dari taksi, sang mama sudah lebih dulu menyambutnya di dengan tatapan tajam. Wanita berumur empat puluh tahunan lebih itu berdiri tepat di depan pintu yang akan gadis itu lewati.
"Mama kan udah bilang jangan ke mana-mana! Kenapa malah keluyuran?" ungkap Naila dengan wajah cemas. Karena terlalu sibuk mengurus persiapan pernikahan, wanita itu jadi tidak bisa selalu mengontrol kegiatan putrinya.
"Ingat, Mutia, kamu itu sedang di pingit karena besok pagi acara pernikahanmu!" Wanita itu sepertinya panik sekali, atau takut sesuatu menimpa putrinya.
Mutia mematung mendengar ungkapan sang mama. Ia bingung sendiri harus menjelaskannya bagaimana.
"Mas Yusuf baru aja membatalkan pernikahan ini, Ma," ucap Mutia dengan wajah sendu. Gadis itu menunduk tidak berani menatap wajah sang mama yang tengah berdiri menatapnya.
"Jangan main-main, Mutia! Kamu ...." Rasanya Naila tak percaya mendengarnya dengan ungkapan putrinya itu. Bagaimana mungkin Yusuf membatalkannya begitu saja. Sedangkan gedung dan semua perlengkapan pesta sudah siap, undangan pun sudah tersebar dari sejak jauh-jauh hari.
"Aku nggak main-main, Ma. Mas Yusuf sendiri yang sengaja membatalkan pernikahan ini."
Naila sontak lemas. Tubuhnya tiba-tiba merosot ke lantai seiring dengan ucapannya yang terbata. "Ba ... Bagaimana bisa?" bisiknya lirih. Sudah banyak yang Naila keluarkan agar acara itu berlangsung meriah. Uang tabungan yang ia kumpulkan selama dua tahun pun habis tak tersisa untuk membayar gedung serta perlengkapan lainnya. Sedangkan dari pihak Yusuf, entahlah ... katanya mereka dari keluarga kaya raya, nyatanya untuk biaya resepsipun mereka hanya sanggup membayar make up pengantinnya saja.
"Mama mau ke mana?" Kini gantian Mutia panik saat melihat sang mama yang tiba-tiba bangkit dan melangkah menuju pintu depan.
"Tentu saja ke rumah Yusuf. Mama ingin tahu kenapa tiba-tiba mereka membatalkan acara pernikahan kalian!" ucap Naila dengan penuh semangat. Wanita itu sudah melangkah keluar rumah dan bersiap memanggil taksi.
"Ma, tunggu!" Mutia kebingungan sendiri. Tidak mungkin ia mengatakan alasan mereka membatalkan acara pernikahannya sekarang. Tapi, jika ia biarkan sang mama pergi, itu artinya ia membiarkan wanita yang telah melahirkannya itu terluka. Mutia tidak ingin sang mama juga mendapatkan hinaan dari keluarga Yusuf.
"Udah kamu tunggu aja di rumah, Mama nggak akan biarin pernikahan ini batal begitu saja. Enak sekali mereka memperlakukan–mu seperti itu!"
Naila tidak lagi menghiraukan panggilan Mutia. Setelah mendapatkan taksi, Naila segera meluncur ke kediaman calon menantunya itu.
Tidak butuh waktu lama Naila tiba di depan gerbang mewah rumah calon besannya. Sejenak ia menatap takjub dengan bangunan di depannya itu. Hingga beberapa detik berlalu Naila baru tersadar saat seorang satpam menegurnya dari balik gerbang.
"Maaf, Ibu cari siapa ya?"
Naila tersentak dan buru-buru menguasai diri lagi. Ia kembali teringat akan rencananya tadi saat datang ke rumah itu.
"Bapak tidak mengenal saya?"
Pak Satpam mengernyit dengan tatapan bingung. "Memangnya Anda siapa?"
Naila menghembuskan napas panjang. "Saya ini calon mertuanya Yusuf. Apa dia ada di rumah?"
Satpam itu baru paham jika wanita di depannya ini adalah mantan calon mertua majikannya, yang tak lain ibu dari gadis yang menangis tadi.
"Jadi, Ibu mantan calon mertuanya Tuan Yusuf, begitu?" Ungkapan satpam tadi sontak membuat wanita di depan sana melebarkan kedua matanya.
"Apa! Bapak bilang apa tadi, mantan calon mertua!" balas Naila dengan tatapan setajam pisau. "Bapak jangan main-main ya! Cepat, buka gerbangnya, aku ingin menemui calon menantuku!" Naila masih berusaha menyembunyikan fakta itu meski tadi ia sudah mendengar sendiri dari putrinya bahwa pernikahan mereka telah di batalkan.
"Memang kenyataannya seperti itu, Bu. Bahkan saya mendengar sendiri saat Tuan Yusuf mengusir putri Ibu dari sini." Satpam tadi tersenyum sinis.
Wajah Naila langsung memerah. Wanita itu tidak menyangka jika putrinya telah mendapatkan perlakuan buruk dari laki-laki yang selama ini ia anggap baik.
"Bapak bilang apa tadi?" Dada wanita itu bergemuruh hebat mendengar pengakuan dari satpam tadi. Siapa sih yang rela putrinya di perlakukan seperti itu?
"Memangnya putri Ibu belum menceritakan apa yang terjadi di sini? Atau, memang sengaja menyembunyikannya karena tidak ingin sampai ibunya kecewa?" Satpam itu malah semakin menyulut amarah Naila, hingga rasanya wanita itu ingin marah dan menghancurkan apapun yang ada di depannya.
Sedangkan dari dalam sana terlihat dua orang pria yang berpakaian rapi tengah berjalan menuju kearah gerbang. Yusuf nampak terkejut sekali melihat kedatangan mantan calon mertuanya itu.
"Kau!!" Geram Naila saat kedua matanya menatap kearah pria yang tengah berdiri di belakang Yusuf. Begitupun dengan sang papa yang berjalan di belakangnya, Broto tidak menyangka akan di pertemukan lagi dengan sesosok wanita angkuh yang pernah menolaknya mentah-mentah.
"Kau rupanya Ibu dari gadis itu." Broto tersenyum sinis memandang kearah Naila.
"Yusuf, dia ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments