Suami untuk matahari
03
Naura berjalan menuju ruang kerja sang suami setelah tadi dia memeriksa kamar mereka. Nyatanya tak terlihat disana batang hidung suaminya. Dibukanya perlahan pintu bercat coklat itu dan menyembulkan kepalanya sedikit untuk mengetahui apakah suaminya ada di dalam atau tidak.
"Bang, boleh aku masuk?" tanya Naura setelah dia melihat suaminya sibuk dengan laptop di depannya.
Panji mengalihkan penglihatannya saat mendengar suara lembut istrinya. Suara wanita yang membuat ia semakin hari semakin mencintainya. "Masuklah Sayang," ujarnya sambil mempersilahkan sang istri untuk mendekat.
Naura melangkah menuju suaminya. Duduk di samping Panji setelah mengambil salah satu kursi yang ada di sana.
"Bagaiaman keadaan Matahari sekarang, Sayang?" tanya Panji khawatir dengan keadaan putri kesayangannya.
"Tadi setelah aku tinggal Ata baik-baik saja kok Bang," jawab Naura.
"Jadi gimana Sayang? Apa Matahari menerima perjodohan ini?" Ada raut sedih di wajah tegas itu dan dapat di lihat oleh Naura. Bahkan siapapun yang melihatnya pasti akan mengatakan hal yang sama.
Naura menganggukkan kepalanya. "Alhamdulillah diterima sama Ata, Bang." ungkapnya jujur sambil menunduk. "tapi jujur saja Bang, aku belum sanggup untuk pisah sama putri kita. Dia masih kecil untuk menjadi seorang istri Bang, dan membina rumah tangga Bang," ujar Naura sambil terisak di samping suaminya. Tentu saja Naura sedih karena tak lama lagi dia akan berpisah dari putri semata wayangnya.
"Abang pun juga sedih Sayang, tapi apa yang bisa kita lakukan? Memang seperti ini lah tradisi dalam keluarga kita," balasnya memeluk erat tubuh ramping Naura. Meski sudah berumur kecantikan Naura tak luntur sedikitpun. Bahkan di mata Panji tetaplah istrinya yang paling cantik di dunia ini. Bahkan Panji akan cemburu jika Naura berdekatan dengan laki-laki lain. Sifat posesif yang muncul dalam seketika.
"Ya sudah Abang telpon Haikal dulu untuk ngasih tahu keluarganya tentang jawaban Matahari," Panji melepaskan pelukannya pada tubuh Naura.
"Iya Bang," balas Naura sambil menghapus air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.
Tak berapa lama sambungan telepon Panji terhubung.
("Hallo, assalamu'alaikum Kak,")
("Wa'alaikumsalam Ji,") terdengar balasan suara tergas dari sebrang sana.
("Aku mau ngabarin jika putriku, Matahari menerima perjodohan itu,") ucapnya.
("Alhamdulillah akhirnya di terima juga Ji. Baiklah besok kami akan datang lagi ke sana untuk kembali melamar putrimu,")
("Baiklah, kami semua menunggu kehadiran keluargamu, Kal. Ya sudah aku akhiri ya, assalamu'alaikum,")
("Wa'alaikumsalam,")
"Bagaimana Bang? Apa kata Pak Haikal?" tanya Naura saat suaminya telah mengakhiri teleponnya.
"Besok mereka akan kembali lagi datang ke ruamah kita Sayang. Mereka akan kembali melamar kutri kita untuk kedua kalinya," jawab Panji dengan senyuman yang dibalas Naura dengan senyuman pula.
****
Kini keluarga Panji tengah menikmati makan malam bersama. Disana ada Panji sebagai kepala keluarga serta sang istri dan kedua anaknya Langit dan Matahari. Mereka makan dalam diam, tak ada seorangpun yang membuka suara. Yang terdengar hanya bunyi sendok yang bersentuhan dengan piring.
Bahkan Matahari yang biasanya selalu membuat gelak tawa keluarga kecil itu saat makan malam kini tak ada lagi. Gadis itu hanya diam sambil menyuap nasi kedalam mulutnya. Wajahnya tampak murung mungkun, karena masih memikirkan masalah perjodohan antara dirinya dan laki-laki pilihan Ayahnya.
Naura yang sebagai Ibu merasa aneh dengan sikap anaknya. Padahal tadi sore dia sudah tersenyum kepada dirinya. Lalu kenapa sekarang putrinya itu diam tak seperti biasanya. Apakah putrinya marah padanya atau suaminya. Sungguh ia tak bisa menebak pikiran putrinya itu.
Sedangkan Panji hanya diam tanpa membuka suara pada putri kesayangannya itu. Panji paham dengan perubahan sikap putrinya saat ini. Mungkin perjodohan itu membuat putrinya kepikiran. Maka dari itu ia membiarkan putrinya diam saat ini. Tapi jika besok ia masih diam maka Panji akan mengajaknya bicara duluan.
*****
Malam harinya Matahari tengah duduk termenung di balkon kamarnya. Menatap langit malam yang di penuhi bintang yang tengah memancarkan cahayanya. Sentuhan pada bahunya membuat Matahari melihat kebelakang.
"Abang," ujarnya parau saat melihat Abang kesayangan telah duduk di kursi samping Matahari.
"Kenapa nangis, hmm?" Langit menghapus air mata adiknya dengan ibu jarinya.
"Kenapa ini semua terjadi sama aku, Bang? Kenapa harus aku Bang? Kenapa?" Matahari memukul pelan dada Langit. Langit hanya diam menerima setiap pukulan dari adiknya. Langit akan membiarkan seberaoa lama adiknya itu mau memukul dirinya.
"Kamu harus sabar ya Dek, segala sesuatu yang sudah di takdirnya untuk kamu, itulah yang terbaik Dek. Bukannya Abang mau memihak siapapun tidak Dek. Abang yakin pilihan Ayah sama Bunda pasti yang tebaik buat kamu. Bahkan Adek sudah tahu bukan jika keluarga kita memiliki tradisi seorang anak perempuan harus menikah setelah genap berumur 17 atau 18 tahun kan?"
Matahari menganggukkan kepalanya. "Iya Bang, tadi Bunda sudah ngomong sama aku," jawabnya sambil sesegukan.
"Jadi intinya sekarang Adek harus tetap sabar dan ikhlas menerima semua ini. Bahkan ini semua sudah takdir Adek juga untuk nikah muda. Nggak perlu Adek pikirkan lagi. Apabila Adek ikhlas dalam menerima segala sesuatu maka semaunya akan di mudahkan sama Allah, Dek," langit memeluk adiknya dengan erat.
"Tapi aku belum mau nikah Bang, bahkan Abang tahu kalau cita-cita aku belum terwujudsatupun kan? Masih banyak yang harus aku wujudkan Bang," ucapnya sambil menatap nertra terang Langit.
"Terkadang apa yang kita impikan itu tidak selalu tercapai saat kita masih sendiri Dek. Bahkan banyak diluaran sana yang cita-citanya terwujud meski setelah berkeluarga. Allah maha tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya dan mana yang tidak." Langit menatap adiknya yang terus saja melihat gelapnya langit malam.
Matahari berfikir jika apa yang dikatakan Abangnya itu memang benar. Bahkan ia juga sempat melihat itu semua. Bahkan ada pula yang terjadi didepan matanya sendiri. Meski dia mengetahui baru lagi tadi dan itu adalah Bundanya. Bunda dan Ayahnya menikah di saat ia berumur 17 tahun dan dapat meraih mimpinya menjadi seorang dokter. kenapa tidak dengan dirinya?
"Semoga saja apa yang Abang katakan benar terjadi sama aku, aamiin. Do'ain aku biar kuat menjalani ini semua ya Bang?" pintanya dengan lembut.
"Itu pasti Dek. Pasti Abang akan selalu mendo'akan kebaikan buat kamu, Dek. Tanpa harus Adek minta pun akan Abang lakukan. Jadi Abang minta Adek jangan sedih lagi. Adek harus seperti dulu lagi yang penuh dengan canda dan tawa. Bahkan tadi saat di ruang makan Abang merindukan kebisingan kamu, Dek," Langit menatap Matahari yang juga saat ini sedang menatapnya.
Matahari menganggukkan kepalanya. "Iya Bang, aku akan seperti dulu lagi yang selalu tersenyum dan selalu berisik, hehehe," jawab Matahari sambil tertawa di akhir ucapannya.
"Nah gitu dong, ini baru Adek, Abang,"
"Berarti tadi aku bukan Adek, Abang?ihhh, Abang jahat!!". Matahari berdiri lalu melangkah ke dalam kamarnya menuju ranjang king sizenya.
"Iss, ya nggak lah Dek, kamu sa--"
"Jelas-jelas Abang tadi bilang sama aku gini 'ini baru Adek, Abang' kan?" rajuknya memonyongkan bibir ke depan.
"Iya Dek iya, Abang minta maaf kalau Abang salah," pintanya.
"Abang emang salah kok," ujarnya ketus.
"Iya Abang salah, Adek mau kan maafin Abang?"
"Dengan satu syarat?"
"Apa?"
"Besok Abang harus beliin aku es Boba, kalau Abang lupa aku nggak akan mau maafin Abang dan aku juga nggak akan nyapa Abang selama satu minggu," ancamnya sambil menyodorkan jari kelingkingnya pada Langit.
Dengan senang hati Langit menautkan kelingkingnya pada kelingking kecil Matahari. Setelahnya mereka berpelukan sebentar sebelum akhirnya Matahari memilih untuk tidur.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments