SUAMI UNTUK MATAHARI

SUAMI UNTUK MATAHARI

01

Sore itu seorang gadis bertubuh mungil memasuki perkarangan rumahnya. Keningnya tampak berkerut karena melihat jejeran mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya. Bahkan satpam yang biasanya menjaga di pintu masukpun tak nampak sedikit pun batang hidung mereka.

Sinar Matahari yang bisa dipanggil Matahari atau Ata itu celingak-celinguk kesana kemari melihat apakah ada orang di halaman rumahnya. Tapi semakin ia lihat semakin tak ada seorang pun yang berada di halaman rumah itu.

Kening Matahari semakin berkerut saat mendengar suara-suara yang berasal dari dalam rumahnya. Mau membuka pintu tapi ia merasa ragu. Tidak masuk lalu kemana ia akan pergi. Tidak mungkin Matahari kembali lagi ke sekolah bahkan urusannya disekolah rasanya sudah selesai. Tadi pagi ia sudah pergi ke sekolah bersama teman-temannya untuk mengambil ijazah dan setelahnya mereka pergi nongkrong di cafe dekat sekolah mereka.

"Assalamualaikum Bunda," salam Matahari dengan intonasi yang berkurang dari biasanya. Takut akan malu jika didengar tamu sang bunda.

"Waalaikumsalam Sayang, sini Nak duduk samping Bunda," pinta Naura pada anak gadisnya.

"Nanti ya Bun, Ata mau ganti baju dulu rasanya sudah nggak enak banget," jawab Matahari cengengesan.

"Yaudah gih ganti dulu bajunya. Setelah itu langsung ke sini ya jangan sampai nggak pula," peringat Naura pada putrinya itu.

"Ok Bun," Matahari menjawab dengan menyatukan jari jempol sama telunjuknya agar membentuk huruf O.

"GPL(gak pake lama) ya Ta," Naura kembali meneriaki anaknya itu.

"Iya-iya Bun," jawab matahari dengan sedikit kesal pasalnya Bundanya itu terlalu nyinyir.

Matahari berjalan dengan cepat menuju lantai dua dimana letak kamarnya. Disana hanya ada tiga buah kamar. Kamar Matahari berada ditengah sedangkan kanan dan kiri adalah kamar Abangnya dan kamar kedua orang tua Matahari.

Matahari memasuki kamarnya lalu meletakkan tas yang tadi ia bawa ke dalam lemari yang emang disediakan untuk meletakkan tas dan semacamnya. Selanjutnya Matahari mengambil baju di dalam lemari dan menggantinya di kamar tersebut. Tak lupa ia memakai hijab senada dengan baju yang saat ini ia kenakan.

Matahari melangkah menuruni tangga dengan perlahan. Tampak kedua orang tuanya tengah berbincang dengan tamu serta Abangnya yang tengah duduk di samping sang ayah. Naura yang melihat kehadiran sang anak langsung melambaikan tangannya menandakan ia menyuruh Matahari agar segera mendekat.

Matahari duduk di samping sang bunda setelah menyalami tangan tamu kedua orangtuanya karena tadi belum sempat bersalaman dengan mereka.

"Bun ada acara apa? Kenapa di rumah kita ada tamu?" tanya Matahari dengan berbisik pada Bundanya.

"Nanti kamu juga akan tau Sayang," balas Naura juga dengan berbisik. Rasanya agak canggung saat ia berbisik di depan para tamunya, dan tidak mungkin juga ia akan menjawab dengan suara besar pada anaknya itu.

"Sebelum kita mulai acaranya lebih baik kita makan dulu," ajak Panji pada semua tamunya. Tamu yang jumlahnya hanya lima orang.

Mereka semua melangkah menuju dapur untuk menyantap hidangan yang sudah tertera di meja makan. Tak ada yang membuka suara disana yang terdengar hanya suara sendok yang bersentuhan dengan piring.

Seorang laki-laki yang berhadapan langsung dengan Matahari terus menatap gadis mungil itu tanpa berhenti. Bintang Bersinar, nama laki-laki yang menatap Matahari. Nama yang terdengar agak aneh tapi mau gimana lagi emang itu pemberian orang tuanya. Bahkan ia tak bisa mengubah karena suatu nama pasti memiliki arti yang bagus. Itu pikirnya. Tapi emang nyatanya begitu, tak mungkin orang tua memberi nama anaknya yang jelek-jelekin.

"Kedatangan kami kesini untuk membahas perjodohan yang tempo hari saya katakan padamu, Panji dan hari ini saya akan langsung melamarnya," Seorang kaki-kaki paruh baya membuka suaranya setelah mereka sudah duduk di ruang tamu.

Perjodohan? Melamar? Siapa yang akan dijodohkan dan siapa yang akan dilamar? apakah Abangnya? Tapi mereka tak ada yang membawa anak perempuan. Lau, lalu siapa? A--apakah dirinya? Tidak! Ia belum mau menikah. Umurnya masih kecil baru 18 tahun. Masih banyak cita-cita yang harus ia gapai. Itulah yang ada dipikirkan Matahari. Pasalnya ia sangat terkejut saat mendengar kata perjodohan dan lamaran yang keluar dari mulut laki-laki paruh baya itu. Makanya ia langsung berasumsi demikian.

"Iya silahkan Kal mumpung keluarga saya sedang berada disini semuanya," jawab Panji dengan senyum tipis di bibirnya.

"Yah, Bun siapa yang akan menikah?" Matahari menatap Panji dan Naura bergantian karena dia merasa panik saat ini, itu

terlihat jelas dari wajahnya.

"Kamu tenang dulu ya Sayang, dengerin dulu apa kata Pak Haikal," jawab Naura menenangkan putrinya yang terlihat gelisah.

"Lanjut Kal," kata Panji.

"Baiklah kedatangan saya dan keluarga saya kesini untuk meminang putri Bapak Panji untuk dijadikan menantu dan istri untuk anak saya yang bernama Bintang. Harapan kami sekeluarga pinangan kami diterima," Haikal mengakhiri ucapannya lalu menatap seluruh keluarga Panji secara bergantian.

"Yah, Bun i--ini tidak be--benar 'kan? Ta--tadi ata hanya salah dengen 'kan Bun?" Suara Matahari terdengar bergetar. Apa yang ia pikirkan tadi ternyata suatu kenyataan yang tak bisa ia hindari saat ini. Rasanya dada Matahari terasa berdetak dengan kencang. Ia tak bisa menerima ini semua cita-cita yang ia impikan saja belum ia gapai. Bahkan baru tadi pagi ia mengambil ijazah ke sekolah dan sekarang apa yang ia dengar? Ia akan menikah? Menikah? Rasanya ia belum sanggup untuk membina sebuah keluarga. Umurnya masih kecil, bahkan mungkin teman sebayanya sekarang sedang bercengkrama dengan keluarga mereka untuk membahas perihal kampus yang akan mereka masuki saat akan kuliah nantinya.

"Maaf Sayang, kamu tidak salah dengar. Apa yang dikatakan Pak Haikal tadi benar," jawab Naura sambil mengusap lembut bahu putrinya agar sang putri bisa lebih tenang dari sebelumnya.

"A--ayah ini nggak benar 'kan?" Ulangnya dengan menatap manik mata Panji dengan tajam.

"Ini be--"

"Ayah dan Bunda jahat!! Kalian tidak memikirkan perasaan ata, padahal kalian tau jika ata baru saja lulus dan tadi pagi ata ngambil ijazah ke sekolah dan sekarang Ayah dan Bunda sudah membuat ata kecewa. Padahal Ayah dan Bunda tau kalau ata ingin mencapai cita-cita ata sebagai seorang dokter. La--lau kenapa sekarang Ayah tega ngelakuin ini sama ata? Dan Bunda pun tau akan hal itu 'kan? Kenapa? Kenapa Ayah tega sama ata? Apa salah ata hingga Ayah menjodohkan ata dengan laki-laki itu!" Suara Matahari denger semakin lirih. Air mata tiba-tiba jatuh dari pelupuk matanya. Dadanya sangat sakit. Ada rasa marah dalam dirinya pada kedua orang tuanya.

"Tapi itu yang terbaik untuk kamu, Sayang?" Panji mendekat ke arah putrinya lalu memeluknya dengan erat.

"Terbaik apanya Yah? Aku baru tamat sekolah Yah, bahkan ata tak pernah berfikir untuk menikah diumur segini Yah. Jadi ata mohon batalkan perjodohan ini demi ata ya, ata mohon," Matahari memohon sambil mengatupkan kedua tangannya kepada sang ayah.

"Maaf Sayang, perjodohan ini tidak bisa dibatalkan. Karena ini sudah keputusan yang mutlak tanpa bisa diganggu gugat lagi!" tekan Panji dengan suara rendah tapi terdengar sangat menyakitkan bagi Matahari.

"Ayah jahat!!" Matahari melepas pelukan Panji lalu berlari menuju kamarnya di lantai dua dengan linangan air mata yang tidak berhenti mengalir.

"Ata tunggu Nak, dengerin dulu penjelasan Ayah,"

"Sudah Bang, nanti aku coba ngomong sama Ata,"

"Maaf ya Kal, nanti coba aku ngomong sama putriku dulu baru nanti aku kabari lagi sama kamu," Panji berucap dengan tak enak hati pada Haikal.

"Iya nggak apa-apa Ji, aku ngerti kok. Yaudah kami pulang dulu." pamit Haikal beserta keluarganya.

TBC....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!