Aku mendengkus kesal. Apa yang dikatakan oleh Sadewa tadi? Apa ia menyatakan cinta padaku? Oh, ya Tuhan, dia sangat tidak tahu malu. Bagaimana bisa ia menyatakan cinta kepada wanita yang telah bersuami.
"Mba, napa senyum-senyum sendiri?"
Hah, senyum!
Sopir taksi menegurku dengan kalimat yang menurutku agak sedikit aneh.
Siapa juga yang senyum. Aku ini sedang kesal, mana mungkin tersenyum.
Namun, kemudian kulirikkan kedua bola mataku pada kaca yang tergantung di bagian depan taksi itu.
Benar saja apa yang dikatakan oleh sopir taksi itu. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum yang menurutku terasa sangat janggal, sementara kedua pipiku bersemu merah semerah kepiting rebus.
Aku segera memukul-mukul pipiku. Berharap agar bibirku berhenti berlawanan dengan suasana hatiku.
***
Hari beranjak siang, tetapi aku belum memasak apa pun untuk menu makan siang. Pagi tadi Ibu mertuaku membeli sarapan di warung sehingga aku tidak perlu masak di pagi hari, jujur saja aku merasa sangat tersiksa jika waktu pagi datang.
Di saat-saat itu kepalaku terasa sangat sakit dan perutku bergolak luar biasa. Rasanya aku ingin memuntahkan apa saja yang ada di dalam perutku dan saat aku melihat wajah Mas Tio yang bersiap untuk berangkat ke kantor rasanya aku sangat ingin memuntahinya juga!
"Naima, belum masak?" tanya Ibu yang tiba-tiba muncul dari ruang depan.
Aku yang sedang duduk di hadapan meja makan dengan menenggelamkan wajahku di atas tangan yang kulipat di atas meja segera bangkit berdiri.
Gerakkan mendadak itu membuat perutku terasa sakit. Aku meringis sambil menyentuh perut bagian bawahku.
"Ada apa, Naima?" Ibu segera menghampiriku dan menuntunku untuk kembali duduk.
"Kamu itu kenapa. Kok belakangan ini ibu lihat kamu itu lemas sekali? Kalau kamu memang capek, ya, tidur di kamar sana. Jangan tidur di dapur," ujar Ibu.
"Tapi Naima belum masak, Bu, Naima mau masak dulu." Aku menolak perintah Ibu untuk istirahat di kamar, padahal aku sangat ingin.
Belakangan ini aku sangat tergila-gila pada bantal. Setiap melihat bantal tergeletak di mana pun rasanya aku ingin menyeruak di antara bantal-bantal empuk itu dan tertidur.
Akan tetapi, kasihan Ibu jika aku hanya tiduran saja. Tidak ada yang akan membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.
Aku mulai dengan memotongi sayuran sementara Ibu menyiapkan bumbu. Nah, di saat seperti inilah ujian yang sebenarnya akan kualami.
Oeeek! Aku menutup mulutku dengan tangan sambil berlari ke kamar mandi. Aroma bumbu itu benar-benar membuatku mual setengah mati.
Isi perutku terkuras habis-habisan.
Aku bersandar pada dinding kamar mandi. Selalu seperti ini, biasanya setelah muntah aku akan merasakan tubuhku menjadi lemas.
Maka setelah selesai memuntahkan seluruh isi perutku, aku memutuskan untuk beristirahat saja. Rasanya tidak mungkin jika aku kembali melanjutkan acara memasak di dapur. Bisa-bisa aku muntah lagi dan Ibu akan menaruh curiga.
***
Aku terbangun karena terdengar suara gedoran dari balik pintu kamarku. Sekilas aku melirik jam yang ada di atas nakas sebelum aku bangkit dari tempat tidur.
Ternyata waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Lama sekali aku tertidur.
Gedoran kembali terdengar, kali ini lebih kencang dari yang sebelumnya. "Siapa, sih!" dengan malas aku melangkah menghampiri pintu dan membukanya.
"Mas Tio," ucapku setengah terkejut.
Selama ini ia tidak pernah menghampiriku, bahkan saat kami berpapasan pun ia tidak pernah menegurku. Seolah kami ini adalah orang asing yang kebetulan tinggal dalam satu atap.
Belum sempat aku bertanya apa yang membuatnya hampir saja menjebol pintu kamarku, tiba-tiba Ibu datang.
"Ada apa, sih? Berisik sekali!" tanya Ibu.
"Ibu tanya aja sama menantu kesayangan Ibu itu!" Mas Tio melemparkan sebuah bungkusan di wajahku.
Aku dengan sigap menangkapnya sebelum bungkusan itu jatuh ke lantai.
"Apa itu, Naima?" tanya Ibu.
Aku hanya menggeleng dan mengerjap bingung. Tidak terpikir olehku untuk membuka bungkusan yang ada di tanganku.
"Jangan pura-pura polos, Naima. Itu titipan Pak Dewa!"
Deg!
Dewa. Mendengar namanya saja membuat denyut di jantungku menjadi tidak normal. Aku segera membuka bungkusan itu dan ternyata isinya adalah obat-obatan, susu dan asinan buah.
"Apa itu, Naima?" tanya Ibu, terlihat penasaran.
"Isinya obat-obatan dan vitamin kehamilan!" desis Mas Tio.
Mendengar ucapan Mas Tio, tubuh Ibu tiba-tiba limbung. Hampir saja ia terjatuh, utunglah aku sigap menangkap tubuhnya, karena Mas Tio sepertinya tidak menyadari apa yang terjadi pada ibu. Ia terlalu serius menatapku dengan tajam, bahkan berkedip pun tidak.
"Kamu tidak mungkin hamil 'kan, Naima? Kamu itu mandul ingat! Mandul!" Mas Tio berteriak di hadapanku.
"A-aku ... aku--"
"Aku, aku apa, hah!" Dasar wanita murahan. Kamu berakting di depan Dewa bahwa kamu itu hamil. Supaya Dewa kasihan padamu dan akhirnya bertanggung jawab akan apa yang telah dia perbuat padamu. Iya, 'kan?" Mas Tio kembali berteriak di depan wajahku, ia terlihat gusar sekali.
Aku menggeleng mendengar penuturannya. Semua yang ia tuduhkan kepadaku sungguh sangat tidak benar. Tanpa terasa air mataku mulai mengalir, aku terisak di depan suami yang telah menyebabkan semua kekacauan ini, bukannya menyesal, ia malah menyalahkan dan mengataiku yang tidak-tidak.
"Jangan ngomong sembarangan, Tio, dan jangan membentak Naima begitu. Ibu tidak suka!" Ibu kemudian menyentuh wajahku dengan kedua tangannya. "Cerita sama ibu Naima. Beberapa minggu ini kamu memang terlihat bebeda, kamu bahkan selalu muntah setiap selesai makan. Apa benar kamu hamil, Nak?"
Aku menatap langsung ke dalam mata Ibu. Saat kulihat tatapan Ibu begitu teduh dan tidak terlihat marah kepadaku maka aku menganggukan kepala.
Sontak Ibu memelukku. "Setelah sekian lama, Naima. Setelah sekian lama!" Ibu merangkulku sambil terisak.
Mas Tio kemudian menarik tubuh Ibu. Memisahkan rangkulan hangat itu dari tubuhku. "Katakan, anak siapa itu?!"
"Tio, kamu ini apa-apaan." Ibu mencubit lengan Mas Tio.
"Aku tidak pernah menyentuhnya sejak malam itu, Bu, dan malam sebelum malam itu juga tidak, karena beberapa hari sebelumnya dia berhalangan. Lagi pula dia mandul, Bu! Sulit untuk dipercaya."
Mendengar perkataan Mas Tio membuat amarah menguasai dada. Bukankah dia yang membuatku tidur dengan pria lain, kenapa sekarang nada bicaranya seolah aku ini baru saja tertangkap sedang berselingkuh!
"Aku tidak mandul, Mas. Aku memang hamil--"
"Anak Dewa? Iya, anak Pak Dewa 'kan?" Mas Tio kembali berteriak di depan wajahku. "Kurang ajar kamu, Naima! Bisa-bisanya kamu hamil anaknya!" Tangan Mas Tio sudah terangkat tinggi untuk menamparku.
"Sedikit saja kamu sentuh kulitnya, maka habislah kamu Tio!"
Suara yang terdengar tidak asing itu menghentikan tindakan Mas Tio yang hendak menyakitiku.
"Maaf, Bu, saya masuk tanpa izin. Saya mengucapkan salam sejak tadi tapi tidak ada yang menyahut. Kemudian saya mendengar teriakan pria sialan itu ... um, saya takut terjadi hal yang buruk pada Naima, makanya saya langsung masuk."
Dewa berdiri di sana, tidak jauh dari hadapanku dan menatapku dengan penuh ... cinta?! Melihatnya berdiri dan menatapku seperti itu jujur saja membuat hatiku berdebar dan yang lebih gila lagi rasanya aku ingin berlari dan menghambur ke dalam pelukannya, lalu menangis di sana.
Aah, ini pasti bawaan bayi, 'kan?!
Dewa kemudian melangkah menghampiriku. Setelahnya ia hanya berdiri di hadapanku dan menatapku selama beberapa saat.
Aku hanya diam saja, tidak berusaha untuk membalas tatapannya, apalagi mencoba berbicara kepadanya.
Suasana begitu hening, hanya isakkanku yang sesekali terdengar.
"Besok mari kita periksa kehamilanmu, Naima. Aku jemput kamu jam delapan pagi." Dewa berkata dengan lembut kepadaku.
"Dia istriku, Pak Dewa, Anda tidak bisa membawanya sesuka Anda." Mas Tio terlihat kesal dan menarik tubuhku agar mendekat dengannya.
Dewa tidak mau kalah, aku pikir pria itu akan menarik lengan sebelahku yang bebas dari cekalan Mas Tio, tetapi ternyata aku salah. Alih-alih menarik lenganku, ia justru menghampiriku dan mengangkat tubuhku agar kembali berada di sampingnya.
Kulihat Ibu menutup mulut dengan kedua tangannya, tetapi dapat kulihat mata ibu berbinar bahagia.
Aneh! Mungkin hanya perasaanku saja.
"Dia istri yang kamu jadikan taruhan! Masih pantaskah kamu disebut sebagai suami?!" ujar Dewa dengan tajam.
"T-tapi Anda pun tidak jauh lebih baik dari saya!" Mas Tio berkata dengan tergagap, mungkin merasa gugup karena harus beradu pendapat dengan atasannya.
"Setidaknya, jika dia istriku, aku tidak akan menjadikannya taruhan di atas meja judi. Aku tidak akan membiarkan pria lain menyentuhnya apalagi menidurinya. Sekarang dia sedang mengandung anakku dan aku bukan tipe laki-laki yang akan lari dari tanggung jawab!" desis Dewa, tangannya masih menyentuh tanganku dan aku merasakan sentuhannya semakin erat di telapak tanganku.
Aku melirik Ibu, penasaran dengan reaksinya, tetapi Ibu terlihat tenang, terlalu tenang bahkan.
Mas Tio meremas rambutnya dengan kasar, sepertinya ia sedang kesal sekali. "Kenapa Anda begitu yakin kalau bayi yang dikandung Naima adalah anak Anda, bisa jadi anak itu adalah anak saya!"
"Aku yakin karena aku adalah ayahnya!" ucap Dewa, tegas. Membuatku hatiku menghangat.
"Kamu selalu mengatai istrimu mandul bahkan di depan teman-temanmu sekalipun. Bagaimana jika besok kita melakukan pemeriksaan. Kita pastikan kondisi kesehatan reproduksimu. Sebenarnya kamu atau Naima yang payah!"
Wajah Mas Tio seketika memerah. "Anda menghina saya?" teriaknya.
"Ya. Aku menghinamu habis-habisan, syukurlah jika ternyata kamu menyadarinya." Dewa menjawab dengan tenang. Namun, senyum menyebalkan di wajahnya sungguh dapat membuat siapa pun pasti akan mengamuk.
"Oke! Kita ke rumah sakit besok. Kita pastikan bahwa aku tidak mandul!"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments