AKU MANDUL, DOK!

Aku Saraswati Naima, biasa dipanggil Naima.  Aku menikah dengan Mas Tio Nugraha sejak sebelas tahun yang lalu saat usiaku baru 18 tahun dan hingga saat ini kami belum dikaruniai seorang anak.

Aku merupakan wanita yang bisa dikatakan menarik, dengan tinggi mendekati 170 cm, kulit kuning langsat dan rambut panjang berwarna hitam pekat.

Di lima tahun pertama pernikahan kami, Mas Tio tidak pernah sekali pun menyalahkan aku atas keadaan yang tidak baik ini. Ia justru menjadi sosok yang selalu berada di sampingku dan melindungiku dari serangan kata-kata menyakitkan yang biasanya keluar dari mulut tetangga, teman, bahkan keluarganya.

Mas Tio bahkan menolak untuk melakukan pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan kami berdua, dengan alasan bahwa jika sudah tiba waktunya, maka kami pasti akan memiliki momongan.

Kami sehat dan normal. Itulah selalu yang Mas Tio katakan kepadaku.

Hingga suatu hari ia merasa kesal saat perusahaan tempatnya bekerja mengadakan acara Familly Gathering.

Semua rekan kerjanya membawa anak dan istri, sementara dirinya hanya membawa istri ... tanpa anak!

Hari itu banyak rekan kerja yang menggodanya, mungkin hanya dimaksudkan untuk bercanda, tetapi sungguh kekurangan kami bukanlah hal yang pantas untuk dijadikan bahan candaan dan sejak hari itu sikap Mas Tio berubah dingin kepadaku.

Secara tidak langsung akhirnya ia ikut berbaris di barisan orang-orang yang mencibirku.

Aku benar-benar putus asa dan sakit hati akan semua perubahan yang terjadi kepada Mas Tio. Dia bahkan selalu menyebutku dengan sebutan Si Mandul dan Si Pembawa Sial.

Lalu sekarang aku di sini, terduduk sambil menatap bingung pada dokter yang ada di hadapanku.

"Aku mandul, Dok. Aku tidak mungkin hamil!" seruku. Namun, tanpa sadar tangan ini menyentuh dan mengusap lembut perut yang masih rata seperti sebelumnya.

"Mandul? Siapa yang mengatakan itu? Apa Anda sudah melakukan pemeriksaan sebelumnya?" Dokter itu menuntut jawaban dariku.

Deg!

Benar, aku bahkan belum pernah melakukan pemeriksaan. Aku hanya tersugesti dengan kata-kata yang kerap dilontarkan kepadaku. Suami, mertua dan orang-orang di sekitarku menganggap dirikulah yang bermasalah, bukan suamiku.

"Siapa yang mengatakannya?" tanya Dokter itu lagi, kali ini ada nada sedikit memaksa dalam pertanyaannya.

"Suamiku!" lirihku.

***

"Kamu harus beristirahat, Naima. Kamu sudah dengar apa kata dokter tadi, 'kan?!"

Pria itu terus mengikutiku sejak aku memaksa pulang dari rumah sakit.

Saat ini kami sedang berada di terotoar. Aku menolak tawarannya untuk mengantarkanku pulang dengan mobilnya. Alih-alih pergi meninggalkanku, pria itu justru mengikutiku berjalan kaki, padahal aku tidak memiliki tujuan hendak ke mana.

Dia adalah Dewa. Pria yang beberapa minggu lalu tertidur di sampingku. Jika aku tidak salah, maka pria itu adalah ayah dari bayi yang sedang kukandung.

Itu jika memang benar aku sedang mengandung.

"Kenapa kamu terus mengikutiku!" teriakku kepada pria tinggi dan luar biasa tampan itu. "Enyahlah dari hadapanku, sungguh aku sama sekali tidak ingin melihatmu!"

Aku mendorong tubuhnya menjauh, kemudian melanjutkan langkahku. Sambil terisak aku terus melangkah tanpa tahu  harus ke mana. Aku sama sekali tidak ingin kembali ke rumah saat ini.

***

Hari sudah sore, sinar kemerahan mulai nampak di langit yang artinya sang pemilik cahaya akan menyingkir sementara untuk memberikan kesempatan pada  bulan dan bintang-bintang menggantikan dirinya menghiasi langit.

Aku masih terduduk di sini, di atas pasir halus dan berwarna keabuan. Menatap gulungan ombak yang datang dan pergi.

Di sampingku tersedia berbagai macam makana ringan, mulai dari buah-buahan, manisan, asinan, susu dalam kemasan bahkan kue tart pun ada, tetapi tidak dari satu pun makanan itu yang kusentuh.

Padahal cairan di mulutku rasanya ingin menetes melihat asinan buah yang menggiurkan itu.

Semua makanan itu berasal dari Dewa, ia masih berada di sekitarku sejak siang tadi. Duduk di atas pasir yang tidak jauh dariku, berusaha menjaga jarak agar aku tidak mengusirnya. Hanya sesekali ia menghampiriku dan membawakan makanan-makanan itu untukku. Entah dari mana ia mendapatkan semua itu, aku sungguh tidak peduli.

Aku menatap ponselku yang sejak tadi berada dalam genggaman. Sudah berkali-kali aku menghubungi Mas Tio, tetapi tidak sekali pun ia menerima panggilanku. Hingga akhirnya aku tidak sabar lagi dan mengirimkan pesan singkat kepadanya.

[Mas, benarkah kamu menjadikanku taruhan di atas meja judi? Benarkah kamu membiarkan pria bernama Sadewa untuk membawaku ke sebuah penginapan? Jika benar, aku akan melaporkanmu ke polisi, Mas. Aku tidak main-main?"]

Ting!

Sebuah pesan masuk dan ternyata pesan itu adalah pesan balasan dari Mas Tio.

[Kurang ajar! Beraninya kamu, Naima. Dasar istri pembawa sial?!]

Aku menghela napas membaca isi pesan itu. Baiklah, perang akan dimulai.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!