Hari sudah semakin gelap sekarang dan udara dingin juga mulai menbuatku mengigil. Akhirnya dengan sangat berat hati aku memutuskan untuk kembali ke rumah suamiku. Memangnya mau ke mana lagi? Aku tidak memiliki keluarga di kota ini yang rumahnya bisa kukunjungi jika aku sedang berada dalam masalah.
Sebenarnya kembali ke rumah suamiku sama saja dengan kembali ke rumahku sendiri, toh kami adalah pasangan suami istri. Akan tetapi, setelah mengetahui apa yang Mas Tio lakukan kepadaku, sungguh aku tidak lagi sudi menganggapnya sebagai suami.
Memang aku belum tahu pasti bagaimana kejadian sebenarnya. Bisa saja Andre dan Dewa berbohong kepadaku, tetapi jika mengingat kembali perkataan Mas Tio kemarin tentang hukumanku, semuanya menjadi masuk akal. Namun, apakah mungkin Mas Tio tega melakukan semua hal buruk itu kepadaku? Mana ada suami yang tega menjadikan istrinya sebagai taruhan dan membiarkan istrinya dibawa oleh pria lain menuju penginapan tepat di bawah hidungnya!
Aku menghela napas dengan kasar, sebelum akhirnya aku bangkit berdiri dengan susah payah karena kakiku sepertinya kesemutan.
Dewa yang melihat aku kesusahan untuk berdiri segera berlari menghampiriku. Raut wajahnya terliha khawatir. "Ada yang sakit, Naima?" tanyanya.
"Jangan mendekat!" desisku.
Ia menuruti perkataanku dengan mundur beberapa langkah, tidak terlalu jauh sehingga jika aku terjatuh ia bisa dengan mudah menghampiriku kembali. Bagus, biar bagaiman pun juga si Sadewa ini selalu menuruti apa perkataanku. Jika kubilang jangan mendekat, ia tidak mendekat. Setidaknya aku tahu bahwa ia menghargai keinginanku.
***
"Jangan keras kepala, Naima. Kita tidak mungkin pulang dengan berjalan kaki. Saat ke pantai tadi juga kita berjalan kaki. Apa kamu tidak capek?" Dewa merentangkan tangannya di hadapanku agar aku berhenti melangkah dan menerima tawarannya.
Baru saja ia menghentikan sebuah taksi untukku dan memintaku agar masuk ke dalamnya, tetapi aku menolak mentah-mentah permintaannya itu.
"Aku sama sekali tidak capek. Kamu saja yang naik taksi itu, aku tidak mau!"
"Jangan begini, Naima. Setidaknya kasihanilah bayi di dalam kandunganmu!"
Deg!
Ada perasaan aneh saat ia menyebutkan kata bayi. Kedua mataku tiba-tiba saja terasa panas. Ada rasa haru yang tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin aku menerima kebaikan dari orang yang telah menodaiku.
"Aku bisa mengurus diriku sendiri. Terima kasih!" Aku kemudian berlari menjauh darinya, tetapi si Dewa itu tidak menyerah. Bukanya pergi, ia malah mengejarku, dan sudah bisa ditebak jika kakinya yang panjang dapat dengan mudah menyusulku.
"Maafkan aku, tapi aku tidak punya cara lain, dan apa yang kulakukan ini demi kebaikanmu, Naima, maaf!" ujar sadewa sembari menyatukan kedua tangan di hadapanku.
Belum sempat aku menanyakan apa maksud dari perkataannya itu, tiba-tiba saja kedua tangan kekar itu merangkulku dan menggendongku menuju taksi yang tadi ia hentikan.
Aku berteriak dan meronta, berusaha turun dari gendongannya, tetapi percuma. Tubuhku yang kecil ini tidak ada apa-apanya jika ingin melawan tubuh kekar Sadewa.
Tidak lama kemudian aku sudah duduk di kursi penumpang dan Dewa duduk di sebelahku.
"Beraninya kamu menggendongku!" desisku.
"Aku menggendong bayiku, tetapi karena bayiku masih berada di dalam perutmu, mau tidak mau aku harus menggendongmu sekalian. Jika tidak, mana mungkin aku mau menggendong wanita keras kepala sepertimu," ucapnya tanpa menatapku sama sekali.
"Bayimu? Percaya diri sekali kamu," desisku.
"Aku percaya anak itu adalah anakku, Naima." Kali ini ia menatap langsung ke dalam mataku.
Aku segera membuang muka. Aku tidak ingin terjebak dalam tatapannya yang begitu sendu. agar pikiranku teralihkan dari sosok Sadewa yang memesona, aku mulai memikirkan Mas Tio. Kapan terakhir kali kami berhubungan setelah pesta makan malam di kediaman rekan kerjanya itu? Dan jawabannya adalah, tidak pernah!
Memang benar apa yang dikatakan Sadewa jikalau bayi yang kukandung pastilah bayinya. Semenjak malam itu, belum pernah sekali pun Mas Tio menyentuhku, itu berarti bayi ini ... ah, nanti saja kupikirkan. Memikirkannya membuat kepalaku semakin terasa sakit.
***
"Dari mana saja kamu Naima? Pulang malam dan diantar oleh pria asing!" Mertuaku menyambut kedatanganku dengan tatapan sinis dan omelan yang sudah biasa aku dengar.
"Aku bukan orang asing, Bu. Aku merupakan rekan kerja Tio." Dewa yang menjawab omelan dari mertuaku, seolah tidak ingin jika wanita tua di hadapan kami terus mengomeliku.
"Oh. Bawahannya?" Ibu tersenyum kecut. Sudah biasa ia merendahkan orang lain seperti itu. Sehingga aku tidak lagi merasa heran.
Dewa tersenyum. Lalu ia mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya dan menyerahkannya kepada mertuaku.
"Baca, Naima. Ibu tidak bisa lihat kalau tulisan kecil-kecil begini." Ibu menyerahkan kartu nama Sadewa kepadaku.
Aku mengmbil kartu nama itu lalu membacanya sesuai permintaan Ibu.
"Sadewa Putra Wijaya, CEO ... haah!" Aku menutup mulut dengan tangan. Lalu mengucek mata, barangkali mataku salah melihat tulisan yang tertera di kartu nama itu.
CEO, ia tidak mungkin seorang CEO. Ya, kuakui ia memang tampan dan penampilannya terlihat berkelas, tetapi rasanya tidak mungkin sekali. Bagaimana bisa seorang CEO memiliki kelakuan yang sangat tidak manusiawi.
Ya, menurutku meniduri istri orang lain adalah kelakuan yang sangat tidak manusiawi.
"Lanjutkan, Naima. Apa jabatannnya tadi, hah?!"
Mertuaku kembali berteriak, membuatku terkejut dan seketika lamunanku pun buyar.
"Dia CEO, Bu," ucapku.
"Oh, cuma CEO. Anak saya itu manajer, jadi kamu jangan macam-macam, ya. Kalau kamu berani main-main sama istri anak saya, nanti saya suruh anak saya pecat kamu."
Aku mengeluh dalam hati mendengar ucapan Ibu mertuaku. Sepertinya ia tidak tahu apa itu artinya CEO.
Mendengar perkataan Ibu mertuaku, Dewa hanya tertawa. Suara tawanya terdengar renyah dan menenangkan.
"Naima! Dasar istri kurang ajar! Apa maksud pesan yang kamu kirim kepadaku tadi, hah?!"
Mas Tio keluar dari dalam rumah, sepertinya ia tidak menyadari bahwa Dewa berada di dekatku, sehingga dengan mudahnya suamiku itu menjambak rambutku dengan kasar.
Aku mengaduh, tetapi percuma. Hal seperti ini sudah sering terjadi, bahkan saat melihat apa yang sedang kualami, ibu mertuaku tidak pernah berusaha untuk menolong.
Biasanya aku hanya diam saja, lalu kemudian menangisi nasibku seorang diri, tetapi kali ini berbeda ....
Bug!
Sebuah tinju melesat di hadapanku dengan cepat dan tepat mengenai wajah suamiku hiingga darah keluar dari lubang hidungnya.
"Rasakan!" batinku.
"Kurang ajar kamu!" teriak Mas Tio, dia terlihat marah dan bersiap untuk membalas tinju dari orang yang telah berani kurang ajar kepadanya.
Tangannya sudah mengepal, tetapi kemudian ia terkejut saat melihat siapa yang telah berani melayangkan tinju ke wajahnya. "Hah, P-Pak Dewa!"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Dravia Hastuti
bagus thor
2022-11-10
1