AKU PIKIR AKU MENCINTAIMU

Kami bertiga duduk di ruang keluarga. Aku, Mas Tio dan Dewa. Sementara Ibu, aah sudahlah, ia segera bersembunyi di dalam kamar begitu tahu bahwa Dewa merupakan pemilik perusahaan tempat putra kesayangannya bekerja. Mungkin ia malu karena telah bersikap kurang baik kepada Dewa tadi.

Aku menundukkan wajah, tidak ingin menatap salah satu di antara mereka. Aku benar-benar merasa muak dan jijik.

"Kapan kamu akan pulang? Malam sudah larut!" tanyaku pada Dewa, yang kumaksudkan untuk mengusirnya sekalian.

Dewa terlihat menghela napas sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. "Sebentar lagi aku akan pulang. Naima, besok kujemput kamu pukul 10 pagi. Kita harus ke dokter."

"Dokter? Untuk apa? Aku tidak mau!" Aku kemudian bangkit berdiri, berniat untuk meninggalkan kedua pria bodoh dan tidak memiliki hati nurani yang ada di hadapanku.

Akan tetapi, Sadewa bergerak lebih cepat untuk menghampiriku dan menahan langkahku.

"Lepas!" aku menyentakkan tangan Dewa yang menyentuh lenganku.

"Oke, maaf." Dewa melepaskan kedua tangannya dari lenganku. Ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatapku dengan intens. "Apa yang membuatmu takut kepadaku. Aku bukan orang jahat Naima."

Aku tertawa sinis dan menatap tajam ke arahnya. Tanpa bisa kutahan, air mata kemarahan dan kekecewaan menetes dari kedua sudut mataku. "Jadi kamu adalah orang baik?!" desisku, ingin rasanya aku meludah ke wajahnya yang sok berwibawa itu.

"Orang baik yang bermain judi dan menerima seorang manusia sebagai taruhan! Lalu dengan mudahnya kamu membawa manusia taruhan itu ke sebuah penginapan dan menidurinya di sana. Padahal saat itu manusia taruhan ini sedang tidak sadarkan diri." Aku memukul dadaku dengan kencang. Aku sungguh tidak tahan lagi. Rasanya aku ingin berteriak sejadi-jadinya. Aku sakit hati dan merasa terhina sekaligus.

Wajah Dewa seketika memerah, mungkin ia malu atau marah. Aku tidak peduli.

"Naima aku tahu aku salah, aku--"

"Tutup mulutmu, Pak Sadewa! Kamu sama buruknya seperti Mas Tio. Dia menjadikan istrinya sebagai taruhan dan kamu menerimanya dengan senang hati, waaah luar biasa sekali kalian berdua!" Aku semakin terisak dan berteriak kepda mereka berdua, tanpa menyadari bahwa Ibu telah hadir di antara kami bertiga dan mendengar semua apa yang aku katakan.

"Saat itu aku hanya bermain-main dengan mereka semua. Lalu Tio datang dan menawarkanmu sebagai taruhan. Kamu wanita yang cantik Naima. Aku pikir aku harus menyelamatkanmu dari mereka semua yang ada di sana saat itu. Aku pikir jika aku memenangkanmu aku akan bisa melindungimu dari kegilaan suamimu dan juga teman-temannya, tetapi ... tetapi aku malah tertarik ke dalam kegilaan itu. Maafkan aku, aku sungguh tidak bisa mengendalikan diri saat itu!" Dewa terlihat sungguh-sungguh, bahkan aku dapat melihat genangan di kedua sudut netranya.

"Tetap saja, seharusnya kamu tidak melakukan hal itu kepadaku!" Aku kembali berteriak.

"Sudahlah, Naima. Jangan berlebihan, toh kamu cuma menjadi taruhan dalam satu malam. Jangan lebay!" ucap Mas Tio, dengan santainya. Membuat dadaku terasa sakit sekali.

"Taruhan ... judi? Apa maksudmu, Naima, Tio?" Ibu bertanya padaku dan Mas Tio.

"Bu, Ibu masuklah. Ini urusan kami bertiga." Tio meminta Ibu untuk kembali masuk ke kamar, tetapi jelas sekali Ibu terlihat enggan menuruti perkataan Tio.

Alih-alih meninggalkan kami, Ibu malah menghampiriku dan menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Membuatku menatap langsung ke dalam matanya.

Sungguh di luar dugaan, aku pikir Ibu akan marah dan menuduhku berkata yang bukan-bukan, tetapi ternyata tidak. Dari matanya terbesit kekhawatiran dan kesedihan, matanya merah dan berair. Ia terlihat terpukul sama seperti diriku.

Menyadari bahwa kali ini Ibu menaruh iba kepadaku sontak membuatku semakin menjadi. Aku meraung dan meremas rambutku dengan gemas. Aku sudah seperti orang gila, tapi aku tidak peduli.

"Mas Tio memberikanku kepada pria itu, Bu! Dia membuatku menjadi taruhan di atas meja judi. Dia membuat aku, istrinya tidur dengan pria lain. Dia ... dia jahat, Bu. Bagaimana bisa dia tega. Bagaimana bisa, Bu?!"

Ibu merangkulku. Wanita tua yang selama ini kukenal sebagai wanita yang cerewet dan kejam itu ikut menangis bersamaku. Ia bahkan terisak melebihi isakku.

Setelah beberapa saat Ibu melepas pelukannya dari tubuhku lalu menghampiri Mas Tio. Amarah jelas sekali terlihat di wajah keriputnya.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi si putra kesayangan.

"Kapan aku mengajarkanmu keburukan yang sangat kelewatan ini, Tio, kapan?" teriak Ibu.

"Bu, Tio hanya iseng--"

Plak!

Tamparan kedua kembali mendarat di pipi Mas Tio.

"Iseng kamu bilang! Kamu sungguh membuatku menyesal karena telah melahirkanmu, Tio!"

***

Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Malam di mana Ibu berubah menjadi pelindung dan penyelamatku.

Wanita yang sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri itu tak henti-hentiya meminta maaf kepadaku atas perlakuan putranya yang tak lain adalah suamiku.

Tentu saja aku menerima permintaan maaf itu agar Ibu tidak terus merasa bersalah. Akan tetapi, untuk memaafkan Mas Tio. Rasanya tidak akan pernah kulakukan.

Hari-hari kulewati seperti biasa. Ibu melarangku untuk pergi dari rumah seperti keinginanku. Ia mengambil jalan tengah untuk memisahkan kamarku dengan kamar Mas Tio. Bagaimana pun juga aku masih kesal dan jujur saja sepertiya rasa kesal ini akan bertahan hingga aku mati.

Siang ini Ibu membawakan makanan ke kamarku, nasi pecel kesukaan. Ia mengatakan ingin menyuapiku. Aku sungguh sangat bersyukur akan perubahan yang terjadi pada diri Ibu mertua. Ternyata ia tidak seburuk yang kukira.

"Makanlah, Naima. Ibu lihat kamu semakin pucat dan kurus."

Aku juga merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak kurus jika aku selalu memuntahkan apa pun yang masuk ke dalam perutku. Bahkan air putih sekali pun.

Seperti saat ini, baru saja mulutku menerima suapan pertama dari Ibu, tiba-tiba saja rasa mual mendera perutku.

Aku bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan semua makanan itu.

"Mungkin kamu masuk angin, Naima," ujar ibu, sambil menggosokkan minyak angin di leherku.

Ibu tidak tahu jika aku hamil, aku terlalu takut untuk mengatakan kepadanya.

***

Aku sedang berada di pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa bahan makanan, lalu kemudian mataku menangkap asinan buah yang berada di jejeran rak paling atas.

Aku berusaha menggapai, tetapi tubuhku terlalu pendek untuk dapat mengambil asinan itu.

Saat aku sudah putus asa, tiba-tiba saja tubuhku melayang beberapa senti dari lantai. Sontak aku berteriak karena terkejut.

Aku 'kan tidak mungkin melayang sendiri!

"Cepat ambil, jangan cuma berteriak."

Aku semakin terkejut. Ternyata ada yang mengangkat tubuhku. Lancang sekali!

Aku yang sudah terlanjur melayang dari lantai, tanpa membuang-buang waktu segera mengangkat tangan untuk mengambil asinan buah itu.

Saat aku sudah kembali mendarat dengan selamat kembali di lantai barulah aku melihat wajah orang yang dengan lancang berani mengangkat tubuhku.

"Kamu!" ucapku.

Dia adalah Sadewa, sudah hampir sebulan aku tidak bertemu dengannya.

Ia terlihat berwibawa dengan setelan jas berwarna hitam dan dasi berwarna navy.

Terdapat cambang tipis yang tumbuh di dagunya, membuatnya semakin terlihat memesona.

"Apa kabar?" tanya Dewa, sambil tersenyum kepadaku.

Senyuman yang sangat manis sekali.

"Tadi baik, tapi sekarang tidak lagi," gerutuku, lalu aku berbalik meninggalkannya.

Dewa mengikuti langkahku tanpa banyak bicara. Ia terus berjalan di belakangku dan sesekali ia mengambilkan barang-barang yang tidak bisa kuambil seperti asinan tadi.

Sesampainya di kasir, barulah ia mengambil alih. Pria itu segera mengambil alih troli yang kudorong dan mengantre di kasir.

Aku berusaha untuk merebut kembali troli itu darinya tetapi tidak bisa, ia terus menghalangiku.

Begitu pula saat aku ingin membayar. Dia buru-buru mengambil kartu kredit dari dalam dompetnya dan membayarkan semua belanjaanku.

"Kalau tahu begini, tadi aku belanja yang banyak!" ujarku kesal, lalu pergi meninggalkannya.

***

Dewa membawakan semua belanjaanku hingga kami keluar dari dalam Mal.

"Bagaimana hubunganmu denga Tio?" tanyanya  kemudian.

"Kami baik-baik saja!" jawabku berbohong.

"Oh, ya. Apa kalian sudah memeriksakan diri ke dokter ... kalian berdua maksudku?" tanya Dewa lagi.

"Kami tidak melakukannya, aku takut Ibu akan terluka jika mengetahui yang sebenarnya."

"Sayang sekali, padahal aku menantikan hari perceraianmu!" ucapnya tajam.

Aku tertawa sinis. Dia pikir dirinya itu siapa, sehingga mudah sekali mengharapkan perceraian orang lain!

"Menikahlah denganku, Naima."

Aku terbatuk ketika mendengar ucapannya itu. Dia pikir pernikahan itu adalah hal yang mudah, sehingga ia enteng sekali mengajak seorang wanita yang telah bersuami untuk menikah dengannya.

"Jika kamu tidak mau maka aku akan memecat Tio dari pekerjaannya."

"Masih banyak perusahaan lain!" jawabku santai.

"Memecatnya dengan tidak hormat! Jika aku memecatnya dengan tidak hormat, maka akan sulit baginya untuk kembali mendapat pekerjaan."

"Jahat sekali kamu!" desisku.

"Maka dari itu pikirkanlah." Dewa kemudian menyerahkan kantung belanjaan kepadaku lalu ia menghentikan sebuah taksi yang melintas.

"Antar dengan selamat ya, Pak. Jangan terlalu laju dan jika bisa hindari jalan berlubang. Dia sedang hamil."

Dewa mengatakan semua itu kepada sopir taksi yang akan mengantarku kembali ke rumah.

Aku kemudian masuk ke dalam taksi itu dan duduk dengan nyaman. Sebelum pintu menutup, Dewa membungkukan tubuhnya ke arahku. "Aku serius dengan ucapanku tadi. Karena aku pikir ... um, aku pikir aku mencintaimu!" 

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Jamilah MiuShop Samarinda

Jamilah MiuShop Samarinda

belum ada visual aktornya ya 😄

2022-11-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!