Flashback

Saat itu Chana dan Sakya baru kelas dua SD semester dua, Pak Raga meminta izin untuk pulang kampung karena istrinya akan melahirkan.

Terus saja Iksia mengizinkan, dia bahkan memberikan sejumlah uang yang cukup banyak untuk persalinan istrinya.

"Pakai saja mobil hitam untuk memudahkan mobilisasi di sana."

"Tidak perlu, Non. Saya naik kendaraan umum saja."

"Haruskah aku yang mengantar?"

"Terus saja tidak, Non. Itu berlebihan."

"Kalau begitu bawa mobil saya satu. Setidaknya di sana akan dibutuhkan untuk membawa istri dan anak bapak setelah lahir."

Meski dengan tidak enak hari, akhirnya Pak Raga pulang dengan membawa mobil hitam yang biasa digunakan untuk para pelayan ke pasar atau untuk keperluan lainnya.

Pak Raga pun pergi setelah berpamitan pada Iksia, Arzhan dan tentu saja baby twins.

"Non?" bodyguard baru Iksia menghampiri.

"Tunggu sampai dia agak jauh. Setelah itu kita bergerak."

"Baik, Non."

"Sayang ...."

"Pergilah," titah Iksia pada bodyguard barunya saat mendengar suara Arzhan memanggil.

"Ada apa, Mas?"

"Sepertinya aku gak enak badan, tolong pijit."

Iksia menghela nafas, dia tahu Arzhan tidak hanya minta dipijat karena akan ada embel-embel lainnya setelah pijat selesai.

"Mas ...." Iksia mendekat, dia mengusap lembut dada suaminya.

"Boleh kah kalau pijatnya nanti malam saja?" bisik Iksia menggoda di telinga Arzhan.

"Kalau aku menolak?" Arzhan membalas bisikan nakal istrinya sambil melingkarkan tangan di pinggang Iksia.

"Mas tidak akan mendapatkan apa-apa jika menolak. Lebih baik aku pergi ke salon dulu untuk membersihkan diri, gimana?"

"Baiklah ...," ucap Arzhan lesu. "Tapi lihat saja hukuman yang akan kamu dapatkan nanti," lanjutnya sambil mencium telinga Iksia yang terhalang jilbab.

Iksia tertawa sambil mengangguk mengiyakan.

Bodyguard baru Iksia datang, dia menghentikan langkahnya saat melihat apa ayang sedang dilakukan sang majikan.

Mata Iksia mengedip memberi tanda bahwa dia akan segera menyusul.

"Mas, aku pergi dulu. Titip anak-anak, ya."

"Segera kembali."

"Oke, Sayang." lalu Iksia mencium bibir suaminya cukup lama. Setelah itu dia segera menyusul bodyguard barunya ke dalam mobil.

"Bismillahirrahmanirrahim. Ayo jalan."

Iksia membuka ponselnya lalu melihat titik merah yang terus berjalan menjauh. Selama perjalanan Iksia selalu menatap layar ponselnya.

"Apa yang sedang disembunyikan Pak Raga dariku?" bisiknya pada diri sendiri.

"Non, apa kita mau ke makan ayah Non lagi?"

"Bukan, Pak." Iksia menjawab pertanyaan supirnya.

"Lalu kenapa kita ke sini lagi? Ini kan jalan menuju ke sana , Non."

Mendengar penuturan supirnya, Iksia langsung melihat ke depan, memperhatikan sekeliling dan ....

Kenapa GPS yang aku pasang di mobil itu menuju ke sini? Apa mungkin Pak Raga satu kampung dengan istri ayah?

Iksia melihat mobil yang dipakai Pak Raga terparkir di sebuah puskesmas.

"Apa kita turun?"

"Jangan sekarang."

Iksia memundurkan mobilnya agak jauh dan terhalang beberapa pohon, tujuannya agar tidak ketahuan Pak Raga.

Tok tok tok

Kaca mobil diketuk seseorang dari luar. Begitu melihat siapa yang ada di luar, Iksia terkejut bukan main.

"Ada apa, Non?" tanyanya saat mereka duduk di sebuah kursi di pojok kantin puskemas.

"Justru saya yang bertanya ada apa? Apa ada yang Pak Raga sembunyikan dari saya?"

"Apa yang ingin Non ketahui?"

"Foto."

Pak Raga menoleh dengan senyuman tipis.

"Foto yang ada di dompet Pak Raga itu--"

"Itu saya dan kakak saya, Non."

"Kakak?"

"Ya. Itu kakak saya. Ayah Non adalah kakak kandung saya."

Iksia menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan tangannya.

"Saya sudah lama berkerja dengan keluarga Pak Indra. Saat bertemu dengan Mama Non, saya sangat terkejut. Tidak di sangka kami Kana bertemu kembali setelah sekian lama berpisah."

"Kenapa Mama tidak memberitahuku?"

"Dia takut Non membenci saya. Saya menjadi pengawal pribadi Non pun atas permintaan Nyonya. Dia ingin saya bertanggung jawab menjaga Non menggantikan ayah."

"Ayah ...."

"Non, jangan terlalu membenci ayah. Dia punya alasan kuat kenapa sampai bersikap kasar pada Non dan Nyonya."

"Apa pun alasannya, dia tetap jahat pada kami , dia bahkan membawa wanita ****** itu ke rumah kami."

"Dulu, seseorang tetangga mengirimkan foto nyonya sedang bersama pria lain masuk ke rumah. Ayah Non sangat marah karenanya. Tidak lama setelah itu Nyonya hamil dan ayah Non menuduh jika anak yang dikandung istrinya adalah anak hasil selingkuhan. Itulah kenapa kakak saya sangat marah. Namun, belakangan dia tau kenyataan bahwa pria yang masuk bersama Nyonya adalah paman kami yang mencari ayah Non."

Apa itu alasan kenapa dia menjadi baik waktu itu? Apa itu karena dia tahu aku anaknya?

"Apa itu juga alasan kenapa ayah membakar rumah tetangga, lalu dia dipenjara dan cerai dengan mama."

Pak Raga mengangguk.

"Dia menceraikan Nyonya karena tidak ingin membuat kalian hidup menderita karena punya ayah narapidana. Dia juga menikah lagi dengan wanita lain karena ingin melupakan kalian."

Iksia hanya bisa menangis tanpa tahu alasannya apa. Entah karena bersedih, terharu, marah atau semuanya yang menjadi satu.

"Andai saja ... andai saja waktu itu ayah lebih lembut dan tidak menikah dengan wanita lain, mungkin kami akan memaafkannya. Juga mungkin aku tidak akan melalui penderitaan yang melelahkan ini, Pak. Aku tidak akan mengalami hamil sendirian di pengasingan, dan mungkin anakku tidak akan menyandang status sebagai anak haram."

Pak Raga merangkul pundak Iksia, majikan yang sebenarnya adalah keponakannya sendiri.

"Lupakan semuanya, Non. Ujian yang kita alami adalah tempaan untuk menjadikan kita manusia yang kuat. Lihatlah hasilnya, Non menjadi wanita yang kuat dan pintar bukan?"

Iksia masih menangis.

"Sekarang, ayo kita lihat bayinya. Dia sangat cantik dan merah. Sapa lah anggota keluarga kita yang baru."

Iksia menoleh pada Pak Raga. Dia segera menyeka air matanya dan pergi untuk melihat anak Pak Raga.

Sepulangnya dari kampung halaman Pak Raga, Iksia segera menuju salon untuk melakukan spa dan sauna sesuai janinnya pada Arzhan.

"Mana lagi?" tanya Iksia saat memijat punggung Arzhan yang sudah dibaluri dengan minyak zaitun.

"Bagian depan." Arzhan membalikkan badan dan langsung menarik tubuh Iksia ke dalam dekapannya.

Iksia seperti anak rusa yang sedang dimangsa singa yang kelaparan. Diam tidak berdaya dan pasrah menerima apa pun yang dilakukan Arzhan.

"Mas ...."

"Hmm, ada apa? Mau nambah?"

Iksia mencubit dada suaminya yang basah karena keringat.

"Aku mau kasih tahu sesuatu."

"Apa itu?"

"Pak Raga ternyata pamanku. Dia adik dari almarhum ayah."

"I know."

"What?"

Iksia yang bersembunyi di balik selimut untuk menutupi tubuhnya yang tidak memakai apa-apa, bangun karena terkejut. Dia kini berada di atas dada Arzhan. Matanya menatap tajam suami yang terlihat santai itu

"Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?"

"Harusnya aku yang nanya, kapan kamu tahu dan dari mana?" tanya Iksia penasaran.

"Kami sekeluarga tahu begitu Pak Raga dan Mama menjelaskan waktu itu."

"Tapi--"

Belum sempat Iksia melanjutkan ucapannya, Arzhan menarik tengkuk Iksia dan mencicipi lagi bibir istrinya yang kemerahan.

"Mas ...." Iksia berusaha menyingkirkan tubuh Arzhan dari atas tubuhnya.

"Sekali lagi, Sayang."

Meski dengan keadaan tubuh yang masih lelah, Iksia hanya bisa pasrah dan mencoba mengikuti keganasan permainan Arzhan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!