Fakta selanjutnya

Para staf perusahaan berbaris rapi menyambut datangnya pimpinan perusahaan termuda yaitu Sakya yang ditemani ibunya, Iksia.

"Ini laporan keuangan Minggu ini, Pak. Sepertinya kenaikan laba perusahaan kita tidak begitu signifikan, tapi setidaknya perusahaan tidak rugi saja kita sudah bersyukur."

Langkah Sakya terhenti dan diikuti oleh yang lainnya yang berjalan di belakang.

Iksia menoleh pada anaknya.

"Jika berpikir tidak rugi pun harus bersyukur, bagaimana kita bisa maju? Seharusnya, jika kenaikan laba perusahaan hanya beberapa persen saja kita harus mencari tahu penyebabnya apa, bukan malah bersyukur."

"Iya, Pak. Tapi ...."

"Rasa syukur itu tidak bisa diterapkan di dalam bisnis. Jika keuntungan perusahaan hanya sedikit, bagaimana karyawan saya bisa sejahtera?"

"Baik, Pak."

"Suruh semua kepala bagian meeting sekarang juga."

Iksia hanya tersenyum melihat sikap anaknya. Sakya memang terlihat galak jika soal bisnis, tapi Iksia tahu benar bagaimana sikap anaknya.

"Nak, setidaknya kamu jangan menegur bawahan di depan karyawan lain," ucap Iksia saat mereka sudah berada di ruangan Sakya.

"Itu bisa jadi pelajaran untuk yang lainnya juga, Mom. Sekarang, kalau laba kita kecil, bagaimana aku bisa menghidupi tujuh ratus anak yatim dalam asuhanku? Mereka para lansia mau dikasih makan apa?"

"Masih cukup, Nak."

"Bagiku tidak, aku harus menjamin kebutuhan mereka dengan baik. Itu wasiat dari opah sebelum dia meninggal. Opah bilang kalau anak yatim, fakir miskin dan jompo adalah tanggung jawab kita yang masih muda, terlepas mereka sodara kita atau bukan."

"Mom tau. Bahkan opah kamu memberikan seluruh tabungan dan sisa harta pribadinya untuk yayasan."

"Aku ingin seperti opah, Mom."

Iksia mengangguk bangga pada anaknya. Jika dilihat lebih teliti, Sakya memang terlihat seperti Papa Indra. Gaya bicara, tutur kata dan sikapnya banyak sekali yang sama.

"Tapi kamu juga harus segera memikirkan pendamping, Sayang. Mom sudah terlalu tua untuk mengurus kamu. Mom ingin segera pensiun dan hidup berdua saja dengan Daddy."

"Berhentilah membicarakan tua, tua, dan tua. Ayolah, Mom, lihat di cermin kalau Mom itu masih sangat cantik."

Iksia tertawa. "Sudahlah, ayo pergi meeting."

Kebaikan memang tidak memiliki nasab, tapi setidaknya bisa dijadikan sebagai contoh untuk ditiru oleh anak cucu generasi berikutnya.

Jika Sakya memiliki anak yatim-piatu dan jompo dalam asuhannya, lain halnya dengan Chana. Dia lebih suka membantu orang yang dia temui secara tidak sengaja.

Dia selalu membawa uang cash khusu untuk dia berikan pada siapa saja yang membutuhkan jika kebetulan bertemu dengannya. Jika di pagi hari saat menuju ke kampus, Chana selalu meminta chef dan para pelayan untuk menyiapkan makanan.

Seperti pagi ini, dia membawa dua puluh kotak makanan. Chana memberikan makanan itu pada tukang becak, ojol, atau siapapun yang ada di jalan.

"Pak, sudah sarapan?" tanya Chana saat melihat tukang becak sedang diam di pinggir jalan. Menunggu seseorang yang hendak menggunakan jasanya.

"Belum, Nduk. Belum dapat rezeki hari ini. Dari semalam saya tidur di becak ini."

Mendengar penuturan tukang becak yang sudah beruban itu, hari Chana hangat karena sedih.

"Ini, Pak." Chana memberikan uang seratus ribu dan nasi kotak yang sudah disiapkan dari rumah.

Wajah pak tua itu berbinar. Dia begitu bahagia melihat apa yang diberikan Chana. Nasi kotak degan uang seratus ribu membuat orang yang ada di sekitar ikut tergiur. Mereka yang bisa dikatakan mampu pun ikut menghampiri. Hati manusia yang memiliki rasa serakah, membutakan mata dan hatinya sekaligus. Mereka tidak melihat seksamanya yang lebih membutuhkan.

Pengemis, dan manusia gerobak yang seharusnya mendapatkan hak, tergeser oleh mereka yang berpakaian rapi dan wangi.

Chana yang didampingi Bodyguardnya pun kewalahan menangani membludaknya manusia yang berdesakan meminta bagian.

Bahkan, ada provokator yang membuka mobil Chana untuk mengambil sendiri nasi kotak dari sana dan diikuti beberapa orang lainnya.

Nasi itu bahkan koyak dan menumpahkan segala isinya. Makanan yang seharusnya menjadi ganjal bagi mereka yang lapar, berhamburan di tanah dengan sia-sia.

"Adduuuh." Chana yang terlepas dari perlindungan bodyguard, terjatuh. Dia terdorong orang-orang yang berebut dan berujung pada pertengkaran.

"Awas!" Seseorang berteriak. Dia berlari untuk melindungi Chana dari orang-orang yang akan menginjaknya.

Pria itu memeluk Chana dan melindunginya.

Chana yang ketakutan pun membenamkan diri di dalam dekapan pria tersebut. Sementara kerumunan pun berhasil diurai setelah beberapa orang dengan tubuh besar mengamankan dan membubarkan mereka dengan paksa.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria itu sambil memeriksa keadaan Chana.

"Mata itu ...." Chana terpana pada mata pria itu yang tidak lain adalah William.

"Are you okey?"

Chana tidak memperdulikan pertanyaan Willi, dia fokus dengan mata berbinar dan senyum merekah melihat mata indah William.

"Non." bodyguard Chana meraih tubuh majikannya untuk berdiri akan tetapi di tahan William.

Mata William memberikan petunjuk agar bodyguard itu melihat kaki Chana yang terluka. Gadis itu bahan tidak menyadari bahwa kakinya berdarah karena terlalu menikmati keindahan mata William.

Tanpa banyak bicara, William menggendong Chana dan membawanya ke dalam mobil. Dia membawa Chana ke fasilitas kesehatan terdekat.

Saat William menggendong Chana, wanita itu tidak sadar sedang berada di mana. Dia masih saja fokus pada mata William sambil tersenyum genit.

"Non, sadar. Itu kakinya berdarah."

"Ya, kenapa?" tanya Chana masih antara sadar dan tidak.

"K-A-K-I N-O-N-A B-E-R-D-A-R-A-H."

"Apa? Siapa Yanga berdarah? mana darah?" Chana sibuk sendiri, menengok ke kana dan ke kiri mencari darah yang disebutkan oleh bodyguard nya. Dia seperti anak kucing yang sedang di ajak main bulu.

Bodyguard itu menahan tubuh Chana agar diam, lalu mengarahkan wajah ke arah kaki Chana dengan pelan.

Mata Chana membelalak dan mulutnya menganga.

"Daraaah ...." dia berteriak saat melihat darah di kakinya.

"Kakiku berdarah, tolong!" dia seperti ikan yang kekeringan. Setelah lelah berteriak, Chana pingsan.

Dokter dan William hanya diam keheranan melihat tingkah Chana.

"Tolong diurus, Dok." bodyguard Chana pun keluar dari ruangan diikuti William dan dua pengawalnya.

"Maaf sudah merepotkan."

William mengangguk. "Kenapa dia bersikap seperti itu? Darah yang keluar pun tidak banyak dan hanya lecet saja."

"Maka dia akan pingsan untuk waktu yang lama jika melihat banyaknya darah."

"Phobia?"

"Trauma."

William mengangkat satu alisnya.

"Masih pusing?" tanya Bodyguardnya yang tidak lain adalah Pak Raga. Pengawal Iksia yang ditugaskan untuk menjaga putri kesayangannya.

"Sedikit." Chana memijat kepalanya perlahan.

"Ayo kita pulang, Non."

"Gendong tapi."

Pak Raga tertawa. Baginya, Chana adalah anak kecil yang sama seperti dulu. Anak manja yang selalu minta digendong setelah dia resmi menjadi pengawal dan supir pribadi untuk Chana.

"Tidak malu dilihat banyak orang?" tanya Pak Raga saat berjalan menuju parkiran. Chana menggelengkan kepala.

"Kenapa harus malu, Pak Raga ini kan pamannya Mommy."

Pak Raga tersenyum.

"Ayo kita beli es krim."

"Yeeeeeyy!" Chana bersorak gembira.

Terpopuler

Comments

IKa LesTari

IKa LesTari

🥰🥰🥰🥰🥰😤

2022-11-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!