"Iya, waktu pesta ulang tahun Labiq tahun lalu."
DEG DEG DEG
Harusnya aku tak berada di sini.
Kalimat itu hanya bisa kuutarakan di dalam hati. Baik ibu mertua mau pun Mbak Yuli, sepertinya tidak berniat sedikit pun untuk menjaga perasaan seorang istri. Istri dari pria yang sedang mereka bicarakan itu.
Aku membuang muka, seraya kembali mengerjapkan mata berkali-kali. Berusaha menahan luapan emosi yang berwujud air luka agar tak tumpah ruah. Rasanya aku ingin keluar dari tempat ini, dan berlari sejauh mungkin. Namun, itu tidak mungkin kulakukan, karena aku ini seorang istri, bukan kekasih tak halal seperti masa-masanya cinta monyet.
"Pril, kamu gak cemburu apa lihat suami keluar sama cewek lain gitu?" Mbak Yuli kini mulai menganggap keberadaanku.
Eh!
Aku lantas menatapnya yang sudah menjatuhkan perhatian ke arahku.
"Gak dong, Mbak. Mas Labiq kan masih dalam penugasan, bukan untuk bersenang-senang," jawabku dengan wajah tegar. Aku ingin membuktikan padanya bahwa aku ini bukan istri yang semudah itu mengedepankan emosi. Apalagi, tadi suamiku sudah mengatakan alasannya berada di tempat ini.
"Eh, dari mana kamu tahu?" cebik Mbak Yuli yang memang terkenal berlambe turah.
"Dari Mas Labiq, Mbak. Tadi dia bilang harus menggantikan ajudannya ibu ketua untuk mengantarkan putri beliau," uraiku untuk meluruskan pandangan buruk orang lain terhadap sang suami.
"Oh, emang kamu percaya gitu aja, Pril?" Mbak Yuli masih belum menyerah. Ia terus memberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah. Seperti sedang memancing letupan bara di dalam jiwa.
Aku tak langsung menjawab. Kugiring sekilas pandangan ke arah ibu mertua yang sepertinya tidak terlalu mempermasalahkan anggapan dari tetangganya itu terhadap sang putra. Aku menghela napas pelan--tak habis pikir.
"Iya, Mbak. Saya percaya sama suami."
Aku pun tak mau kalah. Tak akan kubiarkan adanya sedikit ruang pun bagi orang lain untuk menyusupi rumah tangga kami dengan sifat adu domba.
"Wah, luar biasa kamu, Pril. Kalau saya, udah tak labrak itu. Abisnya cuma berduaan," lanjutnya lagi.
Kini ... ibu mertuaku mulai memutar pandangan. Ditatapnya Mbak Yuli dengan sorot tajam. Seketika Mbak Yuli tampak gelagapan.
"Eh, maksudnya itu loh, Mbak Ras. Anu ...."
Ibu dari Kania itu mulai salah tingkah. Tampaknya bahasa tubuh ibu mertuaku sukses menyentil pertahanannya.
Tak lama setelah itu, kami melihat beberapa gadis muda memasuki resto dan berjalan menuju meja yang ditempati suamiku dan There. Mas Labiq sigap berpindah kursi dan mengambil tempat terpisah dari mereka.
Aku tersenyum penuh kemenangan, sementara Mbak Yuli hanya bisa tersenyum kecil dengan ekspresi tak enak hati. Dia langsung mengalihkan perhatian pada Kania yang masih menyantap makan siangnya dengan lahap.
"Makannya pelan-pelan dong, Nak."
------
"Sayang ... maaf, ya."
Mas Labiq menyusulku yang sedang duduk bersandar di atas kasur sambil bermain ponsel.
Aku yang menyadari kehadirannya pun, kini meletakkan benda pipih itu di atas meja.
"Minta maaf untuk apa, Sayang?" tanyaku yang merasa kalimatnya itu sedikit ambigu. Aku berkerut dahi. Apa ada yang salah?
"Untuk kejadian tadi siang." Ia mulai bersandar di samping seraya menggenggam sebelah tanganku. "Aku terpaksa harus menemani There," lanjutnya memperjelas poin pembicaraan.
Aku langsung tersenyum maklum, dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.
"Tidak usah minta maaf, Sayang. Aku ngerti kok. Ya, walaupun ada sedikit rasa khawatir," akuku.
Mas Labiq menarik daguku agar menatap wajahnya. "Sayang ragu akan perasaanku?"
"Bukan, Yang. Tapi, aku khawatir akan diriku sendiri." Aku kembali menyandarkan kepala dengan posisi miring.
Aku tahu, suamiku bukanlah malaikat dan aku tidak menafikannya. Tapi, aku juga harus menanamkan banyak kepercayaan, jika ingin terus berada di sisinya.
Mas Labiq lantas mengusap punggung tanganku dengan jarinya.
"Mbak Yuli nyinyir lagi?" tanyanya yang mulai paham situasi. Dia lebih lama tinggal di komplek ini. Mana mungkin tidak tahu seperti apa perangai orang-orangnya.
Aku menggeleng samar seolah tak ingin membahas hal tersebut. Suamiku pun lantas terkekeh kecil tanda memaklumi.
"Aku gak peduli omongan orang, Yang. Bagiku yang penting adalah kamu tetap percaya sama aku," tutur Mas Labiq seraya terus mengelus lembut punggung tanganku.
Aku menghentak diri, lalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu percaya sama aku?" Suaraku mulai bergetar.
"Ya, sejak awal kamu memutuskan untuk menjadi persitku, maka aku percaya kalau kamu akan selalu bertahan di sisiku." Tangannya terulur mengelus rambutku. "Apa pun yang terjadi, benar, 'kan?"
Pertanyaan itu ... sungguh menghangatkan sanubari. Dia percaya akan pertahananku. Lalu, bagaimana mungkin aku tidak mempercayai kesetiaannya?
Aku langsung berhambur memeluknya dalam isak tangis yang mungkin suamiku tidak tahu tekanan batin apa saja yang sedang menerjangku. Namun, momen ini cukup logika jika dijadikan alasan untuk sekadar meluapkan emosi yang terpenjara di relung kalbu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Najwa Aini
Terkadang memang nyinyiran orang yang bikin pertahanan runtuh.
2022-11-09
1
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Sayangnya gua gk seteger bininye si Labiq.
ke sononya alamat ngaco lah ni
2022-11-09
1
༄ᴳᵃცʳ𝔦εᒪ࿐
Kalo gue jadi April udah gue tebalik-tebalikin semua tong sampah di mall 🤣
2022-11-08
1