Bayu memesan dua ojek untuk mengantarkan dirinya dan makhluk aneh itu ke rumah. Selama di perjalanan, Bayu benar-benar dilanda pusing tak karuan. Sudah hilang semalaman, pulang dalam keadaan babak belur, dan parahnya lagi membawa seorang wanita. Iya, kalau wanitanya normal, tidak kelihatan aneh begini.
Pasti Ibu akan berpikiran macam-macam tentangnya. Bagaimana cara menjelaskannya pun Bayu tidak tahu. Pergi semalaman, pulang bersama seorang wanita aneh entah apalagi yang akan ibu katakan. Pikirannya yang buntu, tidak dapat memikirkan apa-apa selain ingin cepat-cepat sampai agar bisa tidur untuk mendapatkan tubuh yang lebih baik setelahnya. Seluruh tubuhnya terasa remuk.
Namun dalam hati tetap saja Bayu menggerutu. Bukannya membahagiakan orang tua yang hanya tinggal satu-satunya, ia malah menambah beban dengan mendatangkan orang asing ke dalam rumah. Seandainya Bayu tidak marah dan tidak lari ke bukit kidul, pasti keadaannya tidak akan seperti ini. Tetapi disisi lain, Bayu juga tidak mungkin menyuruh Putri pergi. Melihat wajahnya yang kebingungan saja rasanya tidak tega. Dunia ini seakan sangat asing baginya.
Ya Tuhan, aku harus bagaimana?
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam lamanya, Bayu sampai di depan rumah. Wajah Putri tampak ketakutan sekaligus kebingungan melihat keadaan sekitar.
“Ini rumahmu?” tanya-nya.
“Ya, ini rumahku,” jawab Bayu. “Ya, beginilah keadaan rumahku, jelek dan kurang kokoh.”
Putri hanya tersenyum meringis. Ada rasa tidak enak karena harus menjadi beban lelaki ini.
“Yuk, masuk!”
Lantaran karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, Putri langsung duduk memperhatikan Bayu yang sedang mondar-mandir entah mencari siapa. Mungkin anggota keluarganya.
“Ibuku sedang pergi,” kata Bayu menjelaskan. Lalu menghidangkan air putih dan camilan kepada Putri. “Silahkan diminum, terus ini camilannya. Kau makan saja apa yang ada. Walaupun mungkin tidak sama dengan yang biasa kau makan.”
“Matur suwun,” ucap Putri. Mungkin itu lebih baik daripada berprotes karena tidak sesuai dengan apa yang biasa di makannya.
“Ya, sama-sama.”
Tok tok tok! “Yu, Bayu!” seru seseorang dari luar.
“Iya sebentar!” Bayu membukakan pintu, Wa Tinah; tetangga sebelah yang mengetuk pintunya.
“Syukurlah, kau sudah pulang. Ibu mencarimu semalam. Bilanglah kalau mau pergi, jangan diam-diam saja, jangan buat orang tua panik. Memangnya kau tidak membawa Hape?” cecar Wa Tinah.
“Tidak bawa, aku lupa, Wa.”
“Ibumu sedang berangkat kondangan ke kawinan RT sebelah. Ada makanan tidak di rumah? Kalau tidak ada, kau ambillah di dapur Uwa, banyak nasi, ikan asin sama sambal.”
“Ada makanan, Wa. Tenang!” Bayu sudah mengecek barusan ke dapurnya sendiri.
“Ya sudah, Uwa pulang dulu. Jangan lah kau pergi-pergi terus, Yu. Kasihan Ibumu mencari sampai menangis-nangis. Mengira kau diculik sama setan gunung. Banyak sekarang yang begitu 'kan?” Masyarakat di Desa ini memang masih mempercayai hal-hal mistis.
“Ish! mana mau setan menculikku, aku tidak punya apa-apa untuk jaminan.”
“Setan itu butuhnya nyawa supaya kau ikut gabung dengan mereka, bukan jaminan. Memangnya debt kolektor!”
“Uhuk! Uhuk!” terdengar suara batuk membuat Wa Tinah melongok ke dalam ruang tamu.
“Eh itu kau bawa siapa ke rumah?” tanyanya dengan mata mendelik. “KTP baru saja jadi, kau sudah main perempuan saja, Yu. Menginap semalaman pula, astaga!”
“Jangan menuduh sembarangan, Wa. Aku saja baru kenal semalam. Ah, sudahlah Wa. Aku mau mandi istirahat, capek.”
Sayup-sayup terdengar gerutuan dari Wa Tinah mengenai dirinya.
“Dasar, ya. Anak lelaki jaman sekarang. Belum kerja belum apa, sudah main cewek. Menginap pula semalaman. Nanti kalau ada apa-apa, minta tanggung jawab, langsung menikah. Orang tua sudah tak lagi di bantunya. Kasihan si Julia itu.”
“Nanti kalau Bayu begitu juga, suruh pindah saja dia ke Padang. Kasihan.”
Bayu mengelus dadanya dan mengusap rambutnya kasar. Lantas, Bayu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Lalu sesaat kemudian setelah Bayu masuk ke dalam kamar mandi, Julia mengucapkan salam dan masuk ke dalam rumah. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Putri.
Julia langsung menoleh cepat ke sofa ruang tamu, melihat perempuan muda yang sedang duduk sendirian menatapnya. Wajah Julia kaget sekaligus penuh rasa ingin tahu. “Loh, ada tamu. Bayu—Bayu sudah pulang, apakah denganmu?”
“Iya, Bayu sudah pulang," jawab Putri. "Izin bertamu ya, Bu. Nama saya Putri,” katanya memperkenalkan diri. Lalu menyalaminya dengan sangat santun.
“Oh, iya, silakan, silakan …,” Julia menggerakkan tangannya mempersilakan dengan sangat legowo. “Kamu temannya Bayu?”
“Iya, saya temannya Bayu.”
“Habis ada acara ya, pakaianmu begitu?”
“Ini memang pakaianku sehari-hari, Bu,” jawaban Julia membuat Julia mengernyit heran. Pakaian sehari-hari, begitu? Apakah dia sedang bercanda? Batinnya bertanya-tanya.
“Bu!” seru Bayu dari belakang sana. Dekat kamar mandi.
“Sebentar, ya Put, itu ada anak lanang memanggil,” kata Julia memohon diri.
Putri tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Ada, apa? Ke mana saja semalam, Ibu mencarimu sampai ke rumah Kampleng, Koreng, Halim, tapi tidak ada yang tahu kamu itu ke mana. Terus itu siapa yang kamu bawa ke rumah, Nak. Ya Allah …,” cecar Julia dengan sejumlah pertanyaan.
“Maaf, Bu, panjang ceritanya. Nanti Bayu ceritakan. Sekarang, Bayu mau pinjam pakaian Ibu buat Putri. Dia harus mandi dan ganti pakaian.”
“Pakaian Ibu semuanya jadul-jadul alias jaman dulu, Yu. Mana mungkin siapa itu namanya—em... Putri mau memakai baju yang Ibu punya.”
“Tidak apa-apa, Ibu pinjamkan saja. Lagian dia itu orang jaman dulu juga. Mana tahu pakaian modern.”
“Orang jaman dulu, maksude piye toh?”
“Sudah, jangan banyak tanya dulu. Yang penting dipinjamkan sekarang. Sekaligus kasih tahu cara pakainya.”
“Masa cara pakai baju tidak tahu, aneh-aneh saja kau ini.”
“Ya, kenyataannya begitu.” Bayu langsung menuju ke kamar.
“Bayu! Bayu!” seru Julia karena anak itu meninggalkannya saat pembicaraan mereka belum selesai.
“Aku habis terjatuh, Bu. Seluruh tubuhku sakit semua. Janji nanti akan aku ceritakan semuanya,” jawab Bayu lalu langsung menutup pintu kamarnya.
Sementara Julia hanya bisa menatap anaknya kebingungan. Bingung cara berkomunikasi dengan wanita yang kini sedang bersandar di sofa. Lantaran mereka belum saling mengenal.
Julia mendekat. “Nduk, mau mandi?” pertanyaan yang serupa dengan menawarkan itu membuat Putri menganggukkan kepalanya.
“Yuk, Ibu antar ke jam ban.” Putri mengikutinya dari belakang. Serta merta Julia membantu melepas semua atribut yang terpasang dari tubuh Putri. Termasuk gelungan rambut dan semua perhiasan yang menurut Julia itu sangat kuno tapi antik.
“Ini emas asli, Nduk?”
“Asli, Bu.”
Julia masih saja keheranan melihat semua perhiasan yang berkilau itu. Ada sepasang anting, kalung, cincin, gelang tangan maupun gelang siku. Belum lagi yang ada di sepasang kakinya. Ini benar-benar aneh. Sampai kakinya pun diberi perhiasan. Dari mana perempuan ini berasal, dan di mana Bayu mengenal perempuan yang aneh begini? Batinnya penuh tanya.
“Sebesar ini, ya?” Julia mempertanyakan kalungnya yang lumayan berat.
“Ya, Putri punya banyak di rumah,” jawab Putri. Dia tak menyebut-nyebut lagi tentang kerajaan karena pasti Ibu ini akan menganggapnya orang yang tidak waras. Tidak akan ada yang akan mempercayai ceritanya kalau seandainya Bayu pun begitu. Dan ini bukan tempatnya. Mulai sekarang dia harus pandai menjaga sikap, menjaga diri dan pintar membaca situasi.
“Kalau Ibu mau, ambillah salah satu cincin ini,” kata Putri melepaskan cincin dari jari manisnya.
“Oh, ini tidak perlu, Nduk. Ini berlebihan. Ibu hanya bertanya.” Julia menolak. Namun Putri menarik tangan Julia dan meletakkannya ke telapak tangannya.
“Ini buat Ibu saja, anggap ini hadiah karena Ibu baik sekali kepada Putri.”
Julia langsung tersenyum lebar. “Terima kasih, terima kasih, Nduk. Ibu mau jual buat bayar hutang!”
Putri langsung tergelak mendengarnya.
“Rambutmu kok bisa sepanjang ini, Nduk?” tanya Julia saat menyisir rambut Putri. Lantaran rambut Putri yang hitam dan tebal itu panjangnya hampir menyentuh pahanya. “Ibu pikir sanggulmu itu bukan rambut asli.”
“Biasanya ada yang membantu membersihkannya. Orang-orang di tempatku memang suka memanjangkan rambut, supaya bisa disanggul,” papar Putri. Di kehidupannya yang lampau, ia memang sangat di manjakan oleh para dayang-dayang kesayangannya. Semua keperluan Putri baik urusan perut, pakaian hingga riasan di urus oleh mereka tanpa kecuali.
“Tetapi kalau orang-orang di sini berambut pendek, aku mau seperti mereka juga,” lanjut Putri lagi.
Ibu bertanya untuk meyakinkan. “Memangnya Putri yakin? Tidak apa-apa rambutnya sepanjang ini di potong?”
“Iya,” kata Putri mengangguk. “Potong saja, Bu. Tidak apa-apa.”
Mau tak mau Putri harus menyesuaikan diri dengan orang-orang yang berada di sini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
rinny aphrystanti
semakin penasaran sama ceritanya...
lanjut sampai tamat ya kak
2022-11-06
0