"Tidak bisa begitu dong, Bu. Ibu harus bayar. Ibu sudah satu bulan menunggak. Berapa yang Ibu punya sekarang?"
"Maaf sebelumnya, Mas. Tetapi saya benar-benar belum punya. Aduh, bagaimana ini ya?" jawab Julia yang tampak kebingungan dengan kolektor di depannya. Bayu memang sering melihat orang itu ke rumahnya. Namun untuk beberapa hari ini, kolektor itu datang lebih sering. Bahkan hampir setiap hari mendatangi rumahnya. Lantaran merasa penasaran, Bayu yang baru saja tiba, diam-diam memutuskan untuk menguping.
"Ada emas atau apa untuk jaminan, Ibu?"
"Tidak ada Mas, betul saya belum punya apa-apa. Kalau mau bawalah televisi itu," Julia menunjukkan TV tabung kuno untuk jaminan. "Hanya itu yang tersisa," sambungnya lagi.
"Paling kalau laku pun tidak seberapa TV itu, Bu. Itu sangat kuno. Tidak perlu saya perjelas 'kan, berapa jumlah hutangnya? Belum lagi ditambah biaya bunga keterlambatan."
"Tolong beri saya waktu lagi, Mas. Kalau sudah ada, nanti Mas saya hubungi."
"Benar?" tanya kolektor itu meyakinkan. "Kapan? Dari minggu kemarin jawaban Ibu Julia juga seperti ini. Tolong jangan berkelit, Bu."
"Maaf sekali lagi, Mas. Mudah-mudahan minggu depan saya sudah bisa menyicil lagi."
Pantas saja Ibunya sangat mengotot agar Bayu segera bekerja. Ternyata beliau mempunyai beban sebanyak itu sendirian. Seberapa tulinya dia terhadap Ibunya sendiri, sampai-sampai ia tak tahu menahu perkara sebesar ini? Bayu begitu terenyuh.
Beberapa menit berlalu, akhirnya Julia berhasil meyakinkan penagih untuk memberikannya waktu lagi. Akhirnya penagih itu lagi-lagi pergi dengan tangan kosong.
"Loh, kau di sini?" terkejut Julia pada saat mendapati Bayu berada di balik pintu tengah.
"Ibu hutang apa? Sepertinya jumlahnya tidak sedikit?"
"Kau tidak perlu tahu. Yang penting kau bantu Ibu saja, ya." Julia menepuk-nepuk pundaknya.
"Tidak bisa, Bayu harus tahu. Memangnya, ibu hutang untuk apa?"
"Hutang ibu untuk membayar hutang-hutang Ayahmu, ijazahmu, untuk membelikanmu HP itu, dan semua yang harus dibayarkan dengan uang sewaktu kau sekolah," papar Julia yang membuat mata Bayu berkaca-kaca. "Bensin harus terus kau beli, jajanmu, rokokmu, semuanya? Kau pikir hanya menitipkan peyek itu di warung sudah mencukupi semua kebutuhan? Tidak, Yu."
"Tahu kau sekarang?" tanya Julia menegaskan.
Bayu mengangguk kemudian berujar, "Kenapa Ibu tidak pernah mengatakannya denganku? Tinggal berapa angsuran?"
"Banyak, ada dua puluh jutaan."
Deg!
Bayu buru-buru masuk ke dalam kamar. Mengangkat celengan berjengger merah tinggi-tinggi dan menjatuhkannya ke lantai hingga berbunyi nyaring. BRAKK!
Seketika Ibu berteriak. "Apa yang kau lakukan? Mana masih muda."
"Ibu pikir aku menjatuhkan diri dari plafon? Ada-ada saja," kata Bayu lalu memungut uang yang sudah berserak. "Ayo bantu aku, Bu!"
"Ya, ini lumayan sedikit meringankan," ujarnya.
***
Rasa sedih, kecewa dan menyesal membuat Bayu melangkahkan kakinya keluar rumah. Sedih lantaran melihat ekonominya yang hanya seperti-itu seperti itu saja dari dulu dan malah justru kian terpuruk. Kecewa karena tak bisa membantu Ibunya berbuat lebih dan menyesal telah menjadi beban keluarga yang tidak berguna. Melihat Ibunya dibentak-bentak oleh kolektor itu membuat ulu hatinya terasa panas. Seandainya bayu tak mengerti kaidah-kaidah kesantunan kepada sesama manusia, apalagi kepada orang dewasa, sudah pasti lelaki penagih hutang yang berperut buncit dan berketek bau itu sudahlah mati di tangannya.
Rumah Bayu memang masih berada di daerah agak perkampungan. Ladang perkebunan masih banyak di daerah sini. Semakin jauh dari jalan raya, rumah-rumah semakin berjarak satu sama lain. Pertanda ekonomi masih terbilang sulit. Sebagian besar masyarakat di sini adalah petani dan penghasil gula aren atau kelapa.
Bayu melangkah ke arah selatan. Kakinya terus saja melangkah melewati ladang-ladang luas lalu menuju ke bukit. Dari satu bukit ke bukit lainnya hingga nafasnya sangat tersengal-sengal. Namun ia tetap saja menanjak ke puncak bukit bertumbuhkan pohon-pohon besar dan tanaman liar--entah apa namanya. Mungkin bukit itu lebih pantas dikatakan alas roban. Entah berapa lama dia berjalan akhirnya sampailah Bayu di puncak paling tertinggi di antara yang lain.
Sebab apakah yang mendorongnya sehingga ia bisa sampai di bukit ini? Ini aneh, namun dia menyukainya. Puas rasanya melihat dunia yang membentang.
Di sana Bayu dapat melihat ladang yang ia tinggalkan tadi yang bentuknya sudah sangat kecil, tidak lebih besar daripada korek gas yang biasa dipantiknya untuk merokok.
Tidak ada niatan untuk terjun apalagi bunuh diri, Bayu hanya mencari sebuah ketenangan. Hatinya terasa sedikit lebih tenang melihat dunia terbentang dan langit yang berwarna senja kemerah-merahan.
Kalau dibayang-bayangkan; konyol sekali, jika hanya karena hutang lantas ia bunuh diri. Bunuh diri hanya membuat kita merugi. Sekelumit apa pun masalah, pasti akan berlalu. Begitulah semestinya kehidupan ini.
Awalnya matahari masih bersinar terbit memancar dari arah barat. Suasana begitu sangat menyenangkan. Angin terasa bersemilir seakan meniup-niup tubuhnya yang panas. Tetapi lama kelamaan saat ia menikmati senja dari atas bukit sana, senja berubah menjadi gelap. Matahari telah tenggelam sempurna. Suara azan tak terdengar lagi ditelinga. Itu artinya ia telah melangkah sangat jauh. Bayu bahkan mendadak linglung karena lupa dari sebelah mana ia datang.
Beginilah akibat manusia yang pergi dalam keadaan tunggang gunung atau sandekala. Apalagi saat dalam keadaan marah atau putus asa. Mudah sekali setan mengelabui mereka dalam keadaan seperti itu. Celakanya, kesusahannya adalah sebab yang dibuat sendiri. Pelan, Bayu meraba-raba jalanan yang sudah terlihat samar.
"Ya Tuhan, di mana aku?"
"Siapa pun, tolong! Tolong aku!"
"Tolong!"
Namun naas, tidak ada yang dapat mendengarnya terkecuali-- mungkin setan, hiii .... Bulu kuduk seketika meremang. Dunia yang tadi terlihat indah seketika menjadi sangat mencekam.
Bayu sempat berhenti sejenak. Ia menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tidak salah lagi, ia memang telah tersesat di belantara yang maha luas ini. Yang mungkin saja ada banyak hewan buas seperti; harimau, macan, singa, ular, babi, anjing, dan macam-macam hewan melata lainnya. Panik, Bayu berlari sekencang-kencangnya mencari jalan.
Dan-- BRUG! Sraaaakk!
Satu kakinya tergelincir sempurna ke jurang tanpa disadarinya. Tidak terlalu tinggi memang. Tetapi terguling-guling dari atas sana cukup membuat seluruh tubuhnya begitu nyeri. Beberapa lama ia membiarkan dirinya duduk di sisa-sisa kesadaran, lantas Bayu bangun untuk kembali mencari arah jalan. Namun sepertinya lagi-lagi Bayu harus terkena sial. Sebab, ia tersandung benda yang dirinya sendiri tak tahu bagaimana rupanya. Yang pasti terasa keras dan tumpul di bagian ujungnya seperti-besi?
Dengan menggunakan sisa kekuatan yang ada, Bayu kembali berdiri, tapi bumi bagaikan terayun-ayun. Sekonyong-konyong ia berjalan. Sebelum akhirnya ia kembali terjerembap ke tanah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Regita Regita
sepertinya seru nih...
2023-03-02
0
Haikal Abiyyu
🤣🤣🤣
2022-11-02
0