“Kenapa ayah tidak menelponku secara langsung?” jawabku ramah.
Walaupun aku punya masalah besar yang hampir saja membuatku putus asa, tapi aku tetap menjaga sopan santun.
“Katanya ada hal penting yang harus dibicarain, makanya beliau memintaku untuk menjemput mbak Nayla langsung.”
“Ya sudah. Teman-teman, aku duluan ya.” Aku meraih tas ransel kesayanganku.
“Eh, Nay, kamu belum bayar.” Ucap Lala.
“Ira yang bayar, kan tadi dia yang maksa aku buat datang disini.” Jawabku hendak berdiri.
“Kamu aneh banget sih, Nay, punya kartu kredit serta ATM yang nominalnya banyak tidak pernah dipake. Malah nyiksa diri dengan makan nasi sama sambal tiap hari.” Celetuk Lala, sahabatku.
“Huss.. kamu jangan gitu, La.” Ucap Nani menimpali.
“Ya udah deh, kalian lanjut aja ngomongin aku, ya. Aku mau pergi Assalamu’alaikum.” Ucapku berlalu meninggalkan sahabatku.
Di dalam mobil hanya aku dan Fahmi. Kemacetan membuat kami berlama-lama dalam mobil dengan keheningan bak sedang sendiri.
“Hmmm, aku boleh nanya?” tanyaku sopan.
“Boleh, tanya aja mbak.” Jawabnya fokus pada jalan di depan.
“Eh, kamu panggil saja aku Nayla jangan mbak, aku kan lebih muda dari kamu. Dan aku akan manggil anda dengan sebutan kakak, Aku sudah terbiasa memanggil orang yang lebih tua denga panggilan kakak.” Ucapku yang hanya di lirik oleh Fahmi.
“Ayah itu orangnya gimana sih? Dan kak Dirga kenapa tinggal di luar Negri? Almarhumah bunda apa mencariku?” tanyaku penasaran.
“Ayah sama bundamu itu sosok yang sangat penyayang, selama 21 tahun ayah sama bundamu sering uring-uringan mencarimu. Bundamu frustasi tidak kunjung menemukanmu hingga penyakit yang dia alami tidak lagi dihiraukannya, karena menemukanmu adalah prioritas utamanya. Hingga Dirga tidak sengaja bertemu dengan kakakmu di kampung. Mereka berteman, hingga kakakmu mengajak Dirga ke rumahnya, disitu Dirga melihat fotomu.” Jelasnya menerawang.
“Lalu, kenapa kak Dirga begitu yakin kalau aku adiknya?” tanyaku lagi. Aku bertanya pada kak Fahmi karena aku tau sejak kecil kak Fahmi sudah mengabdi pada ayahku.
“Dia melihat tanda lahir di lenganmu, juga melihat mama dan bapakmu yang persis dengan foto yang diberikan oleh bundamu. Setelah lama mereka berteman, Dirga menceritakan semuanya pada kakakmu dan meminta menemuimu. Awalnya kakakmu menolak permintaan Dirga, tapi saat mengetahui bundamu masuk rumah sakit dan sekarat, kakakmu menyebutkan alamat kuliahmu serta mengirimkan fotomu di WA nya.”
Tak terasa air mataku mengalir, aku ingin bertemu dan minta maaf sama bunda. Selama ini aku sudah salah menilai bunda. Aku berdosa padanya. Melihat aku menangis, kak Fahmi khawatir.
“Eh, kok malah nangis mbak. Eh, Nay?”
“Antarkan aku ke makam bunda.” Pintaku tanpa menjawab kekhawatirannya.
Kak Fahmi langsung membelokkan mobil menuju TPU, dia menepikan mobil setelah mendapat tempat yang pas untuk parkir.
Selama di makam bunda, aku menceritakan banyak hal tentang kisah hidupku pada bunda. Air mata mewarnai kisahku saat bercerita. Tak jarang juga aku tersenyum dikala cerita bahagiaku.
Setelah 30 menit aku mengadu pada bunda, aku kembali ke mobil untuk melanjutkan perjlanan menemui ayah..
“Assalamu’alaikum,” sapaku pada ayah ketika memasuki ruang kerjanya.
“Wa’alaikumsalam, masuk sayang.” Jawabnya.
Aku masuk, diikuti oleh kak Fahmi yang membawa kopi untuk ayah. Saat kak Fahmi pamit untuk keluar, ayah menyuruhnya mengerjakan tugas ayah.
“Fahmi, tolong kamu bantu aku untuk menyelesaikan proyek kemarin yang tertunda ya, kamu pake saja komputerku.”
Kak Fahmi menyanggupi dan langsung menuju meja kebesaran ayah. Aku penasaran, kok kak Fahmi yang hanya sebagai supir bisa ngerjain proyek ayah?.
“Fahmi itu bukan supir, dia manager di perusahaan ini. Hanya terkadang ayah menyuruhnya untuk menjemputmu karena dia orang yang ayah percaya.” Jelas Ayah seolah tau isi pikiranku.
“Oh,” jawabku cuek.
“Oh ya, ayah kenapa manggil aku kesini?” Tanyaku penasaran.
“Ada hal penting yang ayah ingin sampaikan padamu.” Jawab ayah.
“Iya yah, maksud Nayla hal penting apa? Nayla tidak punya banyak waktu. 1 jam lagi Nayla harus balik ke kampus ada rapat yang harus Nayla hadiri.” Ungkapku panjang lebar.
“Apa tidak boleh diwakili?” tanya ayah.
“Tidak bisa, ayah, Nayla sekretaris. Nayla harus selalu hadir dalam rapat itu.”
Ya, aku yang menjabat sebagai sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa harus hadir pada setiap rapat yang diadakan. Sebagai lembaga tertinggi di tingkat fakultas, mengharuskan kami sebagai pengurus selalu mengadakan pertemuan.
“Baiklah, sebenarnya ayah memanggil kamu kesini karena ayah ingin kamu segera menikah dengan pilihan ayah.” Jelas ayah.
Deggg,! Pernyataan ayah bagai petir disiang hari.
“Maksud ayah, apa? Aku masih kuliah dan belum mau menikah sekarang. Aku ingin bahagianin bapak sama mamaku.” Aku tidak terima dengan pernyataan ayah.
“Ayah ingin melihat kamu bahagia sayang, ayah yakin pilihan ayah bisa membuat kamu bahagia. Jadi suatu saat nanti jika ayah telah menyusul bunda, ayah bisa tenang. Bunda juga pasti setuju dengan keputusan ayah, bunda juga sangat sayang pada pilihan ayah.”
“Kenapa ayah mengatur hidup Nayla? Apa ayah belum puas telah meninggalkan Nayla? Sampai kapanpun aku tidak mau menikah dengan pilihan ayah.”
Aku berdiri dan hendak keluar dari ruangan menyebalkan itu, tanpa memperdulikan panggilan ayah.
“Kalau kamu tidak mau menikah dengan pilihan ayah, bapak kamu akan masuk penjara karena telah menculikmu dari ayah dan bunda 21 tahun lalu.” Teriak ayah, saat aku hendak menutup pintu.
“Jangan coba-coba mengganggu keluargaku kalau ayah masih ingin aku anggap sebagai orang tuaku.” Ancamku pada ayah.
“Ayah tidak akan mengganggu mereka jika kamu mau menikah dengan pilihan ayah. Ini semua juga ayah lakukan demi kebahagiaanmu, sayang.”
“Apa ayah pikir dengan memaksaku menikah dengan pilihan ayah yang belum pernah aku kenal sebelumnya bisa membuatku bahagia? Apa ayah pikir dengan mengancam memenjarakan bapakku aku akan senang? TIDAK! Yah, kebahagiaanku hanya satu tetap menjalani hidup seperti sebelumnya. Aku tidak ingin jalan hidupku berubah hanya karena masa lalu. Dan ini, aku kembalikan kartu kredit serta ATM yang pernah ayah berikan padaku. Nominalnya masih utuh, satu rupiah pun aku tidak menggunakannya.”
Aku meletakkan kartu kredit serta ATM diatas meja, lalu berlari keluar ruangan. Dari luar aku masih mendengar ayah menyuruh kak Fahmi untuk menyusulku. Aku tidak peduli dengan tatapan para karyawan ayah yang kebingungan. Mungkin mereka pikir aku menangis karena tidak diterima kerja di perusahaan itu, apalagi aku sedang memegang map persis orang melamar kerja.
Saat tiba di depan lift, aku bingung bagaimana cara masuknya karena aku belum pernah menggunakannya sendiri. Hingga ada salah seorang karyawan menekan tombol, entah tombol apa sehingga pintu lift terbuka. Aku ikut masuk bersamanya, aku pikir lift itu akan membawaku ke lantai dasar. Nyatanya tidak, aku malah kesasar di lantai 8.
Saat keluar dari lift, aku mencari tangga darurat untuk turun. Tidak peduli berapa tenagaku yang akan terkuras ketika melewati tangga. Yang ada dalam pikiranku hanyalah pergi dari kantor ayah.
Saat tiba di lantai 4, kepalaku mendadak Pusing. Semua menjadi buram dan gelap, aku pingsan dilantai 4
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments