Emily mencari keberadaan Syra setelah dia dibersihkan. Dia mandi di bantu oleh dua orang. Menyikat, membasuh tubuhnya. Emily selalu meringis kesakitan. Mereka menggosok tubuhnya dengan kuat. Dia merasa kulitnya terkelupas semua. Setelah dia sudah bersih kembali, dia langsung mencari keberadaan Syra yang sedang berlatih.
"Syra!" panggil Emily saat dia melihat Syra berjalan dengan teman Heinnya menuju ruang makan. Syra menatap Emily lalu melambaikan tangannya. Emily bergegas mendekati Syra.
"Kamu baik-baik saja, Em?" tanya Syra. Tanpa menjawab pertanyaan Syra, Emily memeluk Syra.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku." kata Emily sambil masih memeluk Syra. Syra menepuk punggung Emily. "Bukan aku yang menyelamatkanmu Em."
Emily melepaskan pelukannya dan menatap Syra.
"Gadis yang mendatangimu semalam yang menyelamatkanmu. Jika dia tidak memberitahukanku, mungkin aku tidak bisa menyelamatkanmu. Seharusnya aku berhutang maaf padamu karena aku terlambat. Kamu pasti sangat menderita disana."
"Tidak, aku... Aku tidak apa-apa. Aku takut kamu akan... Kamu akan menjadi sasaran Aera."
"Tidak masalah. Aku juga sudah cukup muak dengannya."
"Benar kata Syra." teman Syra dari Hein juga ikut berbicara. "Kali ini Aera memang sudah keterlaluan."
"Sekali lagi, terima kasih."
"Tidak masalah, Em. Istirahatlah. Kamu butuh itu. Aku yakin ibu Kim mengijinkannya."
"Hmm... Ibu Kim memang memintaku untuk tidak ikut pelatihan dan memintaku beristirahat."
"Kalau begitu pergilah. Ini kesempatanmu untuk beristirahat dari Aera. Kamu harus memanfaatkannya dengan baik. Apa kamu sudah makan?"
"Sudah tadi. Kalau begitu aku pergi dulu."
Emily berjalan menjauh. Syra benar. Dia harus memanfaatkan waktu ini dengan baik. Setiap hari Aera selalu menyita tenaga dan pikirannya. Dia selalu kelelahan, kurang tidur bahkan kurang makan. Emily tidak berjalan menuju asramanya. Dia berjalan menuju infirmary. Ibu Kim memintanya beristirahat disana agar tidak ada gangguan dan kesehatannya bisa di pantau. Meskipun sebenarnya tidak terlalu berbeda, tapi setidaknya infirmary sedikit lebih tenang.
Saat akan berbelok ke infirmary, dia melihat Aera dan kedua temannya dari kejauhan. Bahkan setelah para mentor tahu perlakuan Aera, mereka tidak menghukumnya. Emily berjalan menjauhi Infirmary dan mendekati Aera. Emily berdiri tepat dihadapan Aera. Aera melipat kedua tangannya didadanya dan menatap sinis Emily.
"Sudah keluar rupanya. Atas bantuan temannya yang pengadu." kata Aera. Aera semakin tidak menyukai Emily. "Untuk apa kamu mendatangiku? Bukankah seharusnya kamu bersembunyi?"
"Aku ingin membuat kesepakatan denganmu."
"Kesepakatan? Budak sepertimu??" Aera tertawa. "Yang benar aja. Sepertinya dia perlu di beri pelajaran lagi."
"Kau benar Aera." Kate ikut tertawa mengejek.
"Beri aku waktu istirahat untuk hari ini saja. Setelah itu... Setelah itu aku akan menjadi... budakmu." kata Emily. Dia sebenarnya tidak rela mengatakan kata budakmu. Tapi dia harus melakukannya.
"Kamu tidak dalam posisi untuk membuat kesepakatan denganku. Kau budak, aku tuanmu." kata Aera. Dia akhirnya menghela nafas. "Tapi baiklah, aku akan membiarkanmu untuk hari ini. Kau akan bebas. Pergilah!"
Aera berjalan melewati Emily yang masih terdiam di tempatnya.
"Kau yakin dengan itu?" tanya Kate saat sudah berada agak jauh dari Emily.
"Dengan apa maksudmu?" Aera bertanya tanpa menoleh pada Kate.
"Membiarkan budak itu hari ini?"
"Biarkan saja dia. Sebagai gantinya, besok semua budak yang aku punya akan aku bebaskan."
"A-apa maksudmu? Kenapa seperti itu?" Erin dan Kate terkejut.
"Biarkan Emily menjadi budakku satu-satunya. Kita lihat saja apa dia bisa bertahan." Aera tersenyum
"Dia akan kesulitan kurasa. Kamu tidak lupa apa kata kakakmu, Madeline kan? Kamu boleh mengambil sebanyak mungkin budak tapi mereka tetap harus masuk kelas."
Aera menghentikan langkahnya dan menatap Erin sebal. "Astaga kau cerewet sekali."
"Aku tahu. Aku hanya mengingatkanmu. Aku tahu kamu paling malas berurusan dengan Madeline. Saat budak itu berkali-kali tidak masuk kelas, aku sudah khawatir. Kau tahu bagaimana Madeline."
"Karena itu... Aku selalu mengira dia itu bukanlah kakak kandungku. Sifatnya jauh sekali dengan keluargaku! Aku yakin dia di adopsi!"
"Astaga Aera!" Erin menepuk jidatnya.
"Uuggghhh!! Baiklah, baiklah! Aku tahu itu. Waktu itu dia bukan budakku. Jadi Madeline tidak akan memarahiku. Mulai besok dia akan masuk akademi. Puas? Kau menyebalkan sekali!" Aera kembali berjalan dengan wajah cemberut. Erin menggelengkan kepalanya lalu menyusul Aera.
Madeline adalah kakak kedua Aera. Kakak tertuanya adalah laki-laki, Charles, lalu Madeline, Aera dan adik perempuannya Clarissa. Ayah Aera adalah salah satu dewan agung Ecaunthya. Dia memiliki sikap tegas dan kesempurnaan menjadi nomor satu. Jabatan tinggi baginya adalah harga dirinya. Sementara ibu Aera selalu berpendapat status seseorang itu jauh lebih tinggi. Karena status seseorang akan menenetukan masa depan orang itu. Ayah dan ibu Aera tentu sangat tidak menyukai orang-orang berstatus jauh lebih rendah dari mereka. Bagi mereka orang-orang itu adalah budak rendahan. Mereka akan menindasnya. Seperti itulah Aera mendapatkan sifatnya. Bahkan Charles dan Clarissa juga begitu. Hanya Madeline yang berbeda. Dia lebih tenang, lembut dan baik hati pada siapapun. Baginya masuk akademi adalah kewajiban semua warga Ecaunthya. Meski dia tidak bisa menghapus perbudakan, setidaknya para budak harus tetap mengikuti pelatihan. Karena itulah Aera selalu berpikir Madeline di adopsi karena memiliki sifat yang jauh berbeda dari keluarganya.
...***...
Syra berjalan cepat untuk menghentikan Emily yang berjalan agak jauh darinya. Syra memegang tangan Emily.
"Em, apa kamu benar-benar yakin?" tanyanya. Syra tampak khawatir. Semalam, Emily memberitahukan padanya tentang keputusannya untuk menjadi budak Aera. Meskipun Syra pernah berpendapat sama tapi dia tetap khawatir.
"Yakin. Aku baik-baik saja. Percayalah padaku." jawab Emily. Dia tampak tenang.
"Baiklah." Syra melepaskan tangan Emily. "Maaf... Aku hanya... Tidak mempercayai Aera."
"Aku tahu. Aku juga. Aku akan berhati-hati. Kamu akan tetap mengajariku sihir kan?"
"Tentu saja."
"Baiklah."
"Apa sore ini?"
Emily menggeleng. "Tidak, jangan. Aku harus membiasakan diriku dulu menjadi budak Aera dan mengatur waktu. Aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah, membantu ibuku. Jadi aku akan baik-baik saja. Tapi bisa aja Aera melakukan hal lain. Karena itu, aku harus membiasakan terlebih dahulu."
"Baiklah, beritahukan saja jika kamu siap."
"Oke. Maafkan aku, aku sudah menyita waktumu karena mengajariku."
"Sudah aku katakan, tidak apa-apa. Aku senang melakukannya."
Emily dan Syra berpisah. Mereka berbeda kelas hari ini. Emily menunggu Aera selesai sarapan. Benar saja, setelah dia melihat Alden beranjak dari ruang makan, Aera juga ikut keluar. Emily merentangkan kedua tangannya tanpa berbicara apapun. Aera menyeringai dan dengan cepat meletakkan barangnya di tangan Emily. Emily mengikuti Aera ke kelas yang di tujunya. Semua orang menatap mereka. Emily tahu mereka membicarakannya. Mereka tahu pasti jika Emily dengan sekuat tenaga menolak menjadi budak dan betapa kerasnya perjuangannya menolak. Tapi lihatlah dia sekarang. Seperti memakan kata-katanya sendiri, dia telah menjadi budak!
Sudah berhari-hari Emily menjadi budak Aera. Setiap pagi-pagi sekali dia harus sudah siap dan pergi ke kamar Aera. Dia akan merapikan baju Aera yang telah dipilihnya, memoles sepatunya, merapikan rambutnya, membantu Aera mengenakan pakaian dan perhiasannya. Dia juga harus menunggu Aera sarapan dengan berdiri disisi Aera saat Aera makan. Persis yang di lakukan Rosie dulu. Saat Aera mengijinkan saja di baru makan. Bahkan dia sering tidak sempat untuk makan. Tapi Emily tidak masalah soal itu. Dia menganggap dia hanya menurunkan berat badannya.
Saat istirahat siang, Emily akan pergi ke sungai dekat akademi. Dia akan mencuci baju-baju Aera disana. Sebenarnya ada ruang cuci untuk para siswa. Tapi Emily lebih memilih di sungai karena sepi. Dia bisa sekalian menenangkan hati dan pikirannya, menikmati alam. Pakaian Aera sangat banyak. Dia selalu berganti pakaian setiap hari. Bahkan pakaian pelatihannya ada enam pasang! Tapi benar kata Rosie, Aera memberikannya waktu masuk kelas pelatihan. Meski dia sering terlambat, tapi dia tidak pernah bolos seharipun. Bahkan ketika absen malam, Emily selalu hadir. Meski kadang dia sulit untuk berlatih karena Aera sering menyuruhnya melakukan sesuatu secara tiba-tiba. Seperti hari ini. Aera menyuruhnya memberikan bingkisan dan surat untuk Alden setelah pelatihan. Seharusnya dia pergi ke hutan untuk berlatih. Tapi gara-gara bingkisan itu dia harus meluangkan waktunya bebasnya.
Emily berjalan cepat, tidak, sangat cepat di lorong dekat asrama putra. Dia telah mengetahui bahwa Alden berada di taman depan asrama putra. Agar tidak memutar jauh, Emily nekat melewati asrama putra. Tentu banyak laki-laki yang menatapnya bingung. Biasanya hanya Aera yang akan melakukan hal segila itu, tapi hari ini Aera memiliki pesaingnya.
Emily sampai di taman. Beberapa bangku dan meja taman telah di isi beberapa orang. Bahkan para wanita sengaja duduk disana untuk mencari perhatian siswa laki-laki. Emily dengan cepat menuju meja yang biasa di tempati Alden dan teman-temannya. Biasanya dia juga akan menitipkan pesanan Aera pada teman Alden, Edmund. Karena Edmund menyukai Syra. Tapi kali ini dia tidak bisa menemukan Edmund di manapun.
Emily berdiri tepat disisi Alden Lalu menyerahkan bingkisan pada Alden tanpa berkata sedikitpun. Alden dan Mark menatap Emily bingung. Emily bahkan tidak menatap wajah Alden. Alden masih tidak mengambil bingkisan yang di sodorkan Emily. Dia hanya menatap Emily dengan kerutan di dahinya.
"Kamu tidak mengambilnya Al?" tanya Mark yang juga heran Alden hanya diam di tempatnya.
"Dari siapa?" tanya Alden akhirnya. Tapi dia masih belum mengambil bingkisan itu.
"Aera." jawab Emily singkat dan tanpa menatap Alden. Ya, Emily tidak menyukai Alden. Terlebih setelah dia mengatakan bahwa Emily adalah pelacur tempo hari. Bagi Emily, Alden hanya a jerk.
Alden menghela nafas lalu mengambil bingkisan itu. Saat Alden akan berbicara lagi, Emily pergi dengan cepat. Alden semakin bingung.
"Sepertinya dia membencimu." gumam Mark.
"Sepertinya."
"Dari Aera lagi?"
"Begitulah." Alden mendorong jauh bingkisannya tanpa membukanya.
"Biasanya dia selalu menitipkannya pada Edmund. Karena Edmund ada pelatihan khusus, jadi dia sendiri yang kemari. Tapi aku baru pertama melihat wanita bersikap seperti itu padamu." Mark terkekeh geli. "Biasanya mereka akan gugup, malu bahkan berteriak."
"Ya dan aku merasa seperti hantu saat mereka berteriak seperti itu." sahut Alden. Mark tertawa.
"Lalu dimana Daf? Dia menghilang lagi?" Mark menatap sekelilingnya.
"Biar saja dia bersenang-senang mengejar wanita. Dia selalu seperti itu kan?"
"Kau benar."
Alden terdiam menatap bingkisan dari Aera. Tapi bukan Aera yang ada di pikirannya, melainkan Emily. Dia tidak hanya bertemu Emily hari ini, melainkan beberapa hari sebelumnya. Saat berpapasan dengannya, Emily selalu tak pernah melihatnya. Emily selalu bersikap acuh. Jika dia melihatnya sedang berbicara atau tertawa dengan temannya, ekspresi Emily akan berubah dingin saat melihatnya. Alden bingung apa kesalahan yang dia buat sehingga Emily bersikap seperti itu padanya. Baru pertama kali baginya dia mendapati wanita bersikap seperti itu padanya dan itu sangat mengganggunya.
...***...
Emily berlari menuju hutan, tempat dia biasanya berlatih bersama Syra, bahkan dia telah menggulung roknya lagi agar dia bisa bebas berlari. Dia tidak ingin Syra menunggu terlalu lama. Sesampainya dia disana ternyata tidak ada orang. Syra tidak ada. Emily menghela nafas. Mungkin Syra sudah lama menunggu jadi dia pergi, pikirnya. Emily memutuskan berjalan-jalan di hutan. Dia belum pernah menjelajah hutan ini sebelumnya. Padahal dia begitu menyukai hutan. Dia hanya tidak ingin terlalu merindukan rumahnya dan hutan dekat rumahnya tentu. Tapi hari ini dia memutuskan untuk menjelajah sampai waktunya absen malam.
Emily menemukan sebuah gubuk tua yang reot. Gubuk itu masih bisa berdiri meskipun beberapa bagian gubuk hilang. Atap dan dinding beberapa terlepas. Emily ingin masuk tapi di takut jika gubuk itu akan rubuh saat dia ada di dalamnya. Emily hanya melewatinya. Tapi belum selesai dia melewati bagian gubuk itu, dia mendengar suara. Suara-suara mengerang aneh. Bulu kuduk Emily berdiri.
"Su-suara apa itu?"
Emily mencoba mendengarkan lagi. Suara erangan itu semakin kuat. Awalnya dia mengira ada hantu tapi saat suara erangan itu lebih kuat lagi, Emily yakin itu suara manusia.
"Apa... Apa dia kesakitan? Tapi kenapa suara erangan itu aneh sekali. Antara sakit dan--"
Kali ini terdengar suara teriakan kecil. Emily akhirnya memutuskan untuk mendekati gubuk. Dia melihat ada jendela di gubuk itu. Emily perlahan berjalan menuju jendela gubuk. Secara samar dia mendengar nafas seseorang memburu lalu tertawa kecil. Emily semakin yakin itu suara manusia. Emily mengintip dari jendela. Sedetik kemudian, mata Emily terbelalak lalu dia berteriak. Orang yang di dalam gubuk ikut berteriak saat melihat Emily. Emily berjalan menjauhi jendela gubuk. Nafasnya cepat. Dia mencoba menormalkan nafasnya. Emily tidak percaya apa yang dilihatnya.
"Seorang pria telanjang bulat?! Astaga apa orang itu gila?!" Emily menepuk pipinya, mencoba menyadarkan dirinya. "Mataku telah melihat hal aneh, ya tuhan."
"Hal aneh katamu? Mungkin kau yang aneh." sahut satu orang pria yang mendatanginya. Emily menatap orang itu. Bajunya terlihat berantakan. Dan wajahnya... Itu orang yang telanjang bulat tadi!
"A pervert!!" pekik Emily. Pria itu terkejut.
"Per-- apa? Kau sebut aku apa?!"
"Cabul! Kau orang cabul!" kata Emily setengah berteriak. Pria itu menatap tidak percaya.
"Aku bukan orang cabul!"
"Lalu kalau bukan orang cabul, untuk apa kamu bertelanjang bulat di dalam gubuk reot itu?!"
"Karena aku sedang--ughh lupakan. Lupakan saja." sahut pria itu. Dia menyerah menjelaskan situasinya.
"Berarti kamu memang orang cabul!"
"Jangan bicara sembarangan!"
"Aku tidak bicara sembarangan." Emily menatap pria itu dengan takut dan jijik. Pria itu memperhatikan Emily dari atas ke bawah. Emily yang menyadari itu lalu meletakkan kedua tangannya bersilang di dadanya lalu memiringkan tubuhnya. "Apa yang kau lihat?!"
"Aku tahu kamu. Budak Aera, benarkan?"
"Ya, ya kau benar. Siapa yang tidak mengenal aku, si pecundang Nemuen." Emily jadi kesal mendengar kata-kata pria itu. Kenapa mereka cepat sekali jika tentang budak?
"Dan kita pernah bertemu beberapa kali."
"Aku tidak ingat aku pernah bertemu dengan orang cabul."
"Aku bukan-- baiklah, terserah kau saja. Apa kau tidak ingat aku?"
Emily menatap pria itu. Ya, sepertinya wajahnya tidak asing. Emily yakin pernah bertemu dengan pria itu.
"Jika kamu latihan di akademi tentu saja kita pernah bertemu." kata Emily akhirnya. Pria itu memutar bola matanya dan menghela nafas.
"Aku teman Alden." katanya. Emily terkejut. Dia ingat sekarang.
"Daf." gumam Emily.
"Kau benar. Daf."
"Whooaahhh... Aku tak menyangka Alden memiliki teman cabul."
"Sudah aku katakan aku bukan... Cabul. Aku hanya sedang melakukan... ***." kata Daf menahan emosinya.
Emily terkesiap. Dia menutup mulutnya dengan tangannya dan terbelalak menatap Daf.
"Jangan menatapku seperti itu. Usia kita sudah dewasa dan kami melakukan atas kemauan kami sendiri. Suka sama suka." Daf melipat kedua tangannya didada. Dia berdecak melihat reaksi Emily.
"Tapi kenapa kalian melakukannya disana? Apa tidak takut rubuh?" tanya Emily polos.
"Gubuk itu baik-baik saja."
"Dan kau berbohong saat kamu berkata kalian melakukan atas suka sama suka!" Emily menunjuk Daf.
"Apa maksudmu?" Daf mengerutkan keningnya.
"Aku mendengarnya!"
"Apa yang kamu dengar?"
"Pasanganmu itu berteriak bahkan mengerang!! Dia seperti kesakitan! Kau pasti berbohong."
Daf bengong di tempatnya dan menatap tidak percaya pada Emily. Sedetik berikutnya dia tertawa keras. Emily tentu bingung. Dia berkata benar dan membongkar kebohongan Daf, tapi Daf justru mentertawainya.
"Memangnya ada yang lucu?! Kenapa kau tertawa?!" Emily mulai kesal. "Aku yakin aku berkata benar."
"Baiklah, baik.." Daf menyeka air matanya. Dia tertawa keras sekali tadi. Perutnya saja masih sakit. "Bagaimana jika kamu bertanya sendiri pada orangnya?"
Tak lama datang seorang laki-laki berpakaian rapi mendekati mereka. Terlihat sekali laki-laki itu dari kaum bangsawan.
"Bertanya apa?" tanya laki-laki itu.
"Dia mengira kau kesakitan saat melakukannya tadi." Daf tertawa lagi. Masih ada sisa-sisa tawanya. Pria itu hanya diam menatap Daf. Daf tersadar pria itu menatapnya lalu menghentikan tawanya. Pria itu menatap kesal pada Daf. Daf merutuki dirinya karena kecerobohannya.
"Tunggu... Jadi kalian berdua..." Emily terkejut lagi. Dia terduduk dan menutup mulutnya dengan tangannya lagi. "Itu jauh lebih aneh daripada cabul!!" Emily memekik.
"A-aku... Bisa aku... Aku jelaskan..." Daf panik. Dia bisa saja tadi mengatakan sang wanita telah pergi. Tapi justru dia membongkar sendiri kecendrungan seksualnya.
"Jelaskan padanya! Aku tidak menyangka kau begitu bodoh. Sebaiknya kita tidak bertemu dulu." kata pria itu lalu berjalan menjauh.
"Tu-tunggu... Tom! Aku.. Arrgghh sial!!" Daf mengacak rambutnya. Dia menatap Emily. "Ini gara-gara kau!"
Emily berdiri. "Kenapa aku?! Kamu yang melakukan hal aneh!"
"Aku? Melalukan hal aneh?! Kau gila?! Kau bahkan mengatakan orang bercinta itu sakit!!"
"Aku hanya mengatakan apa yang aku dengar!"
"Kau... Benar-benar gila. Menjauh dariku!" sahut Daf dan beranjak pergi.
"Apa Alden mengetahuinya?" pertanyaan Emily menghentikan langkah Daf. Daf hanya diam saja di tempatnya, membuat Emily tahu Alden tidak mengetahui apapun. "Ternyata dia tidak tahu."
"Bukan urusanmu!"
"Kau yakin?"
Daf berbalik lalu mendatangi Emily.
"Apa maumu sebenarnya?! Aku tidak pernah mengganggumu jadi jangan menggangguku."
"Bukan aku yang mengakui sebenarnya, tapi kau!"
"Lalu? Kamu hanya tinggal tutup mulut!" Daf berbalik lagi dan pergi.
"Aku tahu aku hanya budak tapi bukan berarti aku harus mengikuti kemauanmu!" sahut Emily setengah berteriak. Daf menghentikan langkahnya. Dia berdecak kesal. "Aera adalah tuanku, bukan kau!"
Daf berjalan cepat menuju Emily. "Lalu kau mau apa? Uang? Harta?" dia menatap Emily tajam, mengintimidasinya. Mata kucingnya membesar. Emily sedikit takut tapi dia memberanikan diri.
"Aku tidak perlu semua itu." kata Emily. Daf semakin mengerutkan keningnya. "Ajari aku sihir."
"Kau gila?!"
"Aku tahu kamu salah satu murid terbaik akademi ini. Aku sudah mencoba berlatih bersama Syra tapi sihirku tidak juga membaik."
"Itu bukan urusanku!"
"Baiklah kalau begitu. Aku akan memberitahukan Aera tentang apa yang kulihat tadi."
"Mereka akan mengejekku dan menghakimiku!"
"Itu juga bukan urusanku." kali ini Emily yang mencoba mengintimidasi Daf. Daf menatap Emily penuh arti. Dia lalu menunduk dan menghela nafas.
"Berlatih denganku bukan berarti kau akan bisa lebih baik dalam sihir."
"Aku tahu. Setidaknya aku mencoba kan? Jika kau berjanji untuk melatihku, latihan bersamaku, aku juga berjanji akan menyimpan semua rahasiamu. Mungkin aku budak, tapi aku selalu menepati janjiku." Emily mencoba meyakinkan Daf. Daf mengacak rambutnya. Dia menghela nafas kasar.
"Kau yakin akan diam? Latihanku mungkin lebih berat."
"Aku yakin."
"Baiklah. Temui aku di sini besok setelah latihan dan kumohon, tepat waktu." Daf beranjak pergi. Emily tersenyum senang.
"Terima kasih!!" pekiknya. Daf membalikkan tubuhnya.
"Dan sebaiknya kau diam."
Emily mengangguk. Daf berbalik dan berjalan kembali. Emily melompat kegirangan. Sebenarnya dia tidak suka ikut campur urusan orang lain dan kemungkinan besar dia tidak akan berbicara pada siapapun tentang Daf bahkan pada Syra. Tapi ini kesempatan langka. Dia bisa membuat perjanjian dengan Daf. Daf salah satu jenius di akademi. Dia lulus dengan peringkat sempurna di semua bidang. Siapa yang ingin melewati kesempatan itu?
****
tadariez
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments