The Heir
"Emily..!!"
Sebuah teriakan terus saja terdengar. Dari dalam rumah, halaman depan dan belakang. Bahkan seluruh desa bisa mendengar teriakan itu.
"Emily Boirden!!"
Teriakan terus terdengar, tapi sang pemilik nama tidak di ketahui keberadaannya.
"Kemana anak nakal itu?!" wanita itu sudah berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya.
"Apa dia kabur lagi?" tanya seorang pria yang baru saja datang dari halaman belakang.
"Apa yang harus aku lakukan dengannya?!"
"Tenanglah sayang. Dia hanya anak-anak."
"Berhentilah menganggapnya anak-anak! Dia berusia hampir dua puluh tahun! Tapi sikapnya masih seperti anak kecil saja." Wanita itu duduk di kursi, melipat kedua tangannya didada dan mendengus kesal.
"Sabarlah. Emily anak yang... Bebas. Dia akan sulit di kekang."
"Aku tidak mengekangnya! Aku hanya ingin mengajarinya sihir. Sebentar lagi dia harus masuk ke akademi. Bagaimana bisa dia belajar disana jika dia sama sekali tidak bisa sihir?!" menatap putus asa pada suaminya.
"Dia bisa. Secara teori."
"Itu tidak cukup Theo. Sihir harus di praktekkan. Kita hampir kehabisan waktu. Sebentar lagi dia berulang tahun." duduk membelakangi suaminya.
"Aku akan bicarakan dengannya, bagaimana?"
"Ughh... Baiklah. Dia selalu mendengarmu. Aku harap kali ini dia juga mendengarkanmu."
Theo mengelus punggung istrinya, untuk meredakan amarahnya.
*********
Emily berlari ditengah hutan. Dia berlari tanpa henti. Sesekali dia melompat-lompat mengikuti kelinci yang dia temui. Dia menggulung bajunya yang panjang sampai lutut, agar bisa berlari bebas. Rambut Hitam pajangnya yang di ikat ekor kuda bergoyang saat dia berlari. Dia tertawa riang. Dia merasa bebas jika sudah berlari di hutan. Rasanya semua kebebasan ada padanya. Dia berhasil lari sebelum ibunya mengomel!
Emily memiliki tubuh yang tinggi semampai. Berkulit putih dengan mata bulat yang indah. Bola mata Hazelnya mempercantik wajahnya. Ya, Emily bisa di katakan gadis yang cantik. Tapi dia tidak suka terlihat cantik, dia tidak suka berpenampilan anggun. Dia lebih suka mengenakan celana seperti laki-laki dari pada long dress, yang kebanyakan di kenakan perempuan. Jika dia terpaksa mengenakan long dress, persis seperti saat ini, dia akan menggulungnya hingga lutut lalu mengikatnya. Dia merasa sesak dan tidak bebas. Tentu saja ibunya akan mulai dengan omelannya jika Emily mengenakan celana. Emily juga lebih sering terlihat kumuh. Dia tidak pernah berdandan atau sekedar terlihat rapi. Dia selalu penuh debu dan membiarkan rambutnya berantakan.
Emily lemah lembut? Tentu saja tidak. Dia lebih suka belari, memanjat pohon atau berburu. Ya, Emily suka berburu. Apalagi berburu rusa. Emily tidak pandai sihir dan bertarung, tapi dia pandai berburu menggunakan tombak yang di buat khusus oleh ayahnya karena ayahnya yang selalu membawanya saat berburu. Tapi Emily berhati baik. Dia senang bermain dengan anak-anak dan selalu membantu orang lain. Meskipun dia tidak suka sihir tapi Emily termasuk anak yang pintar sedari kecil.
Emily sampai di taman bunga di tengah hutan. Bunga kecil berwarna ungu terlihat cantik di musimnya. Emily merebahkan dirinya di tengah taman bunga itu. Dia menjadikan tangannya sebagai bantal dan menatap ke langit biru. Beberapa burung terbang melewatinya.
"Sudah kuduga kamu akan berada disini."
"Hai Shawn." Emily menyapa tanpa menoleh pada Shawn. Hanya Shawn yang selalu tahu keberadaannya.
"Sedang apa kamu disini? Apa kamu tidak mendengar ibumu meneriakkan namamu?"
"Ibu? Tidak."
"Kau ini, selalu seperti itu. Satu desa mendengar teriakan itu. Apa kamu tidak kasihan pada ibumu?"
"Dia menyuruhku untuk mempelajari hal yang tidak aku suka."
Shawn menghela nafas lalu ikut merebahkan dirinya di sebelah Emily.
"Kita penyihir Em. Sudah seharusnya kita bisa melakukan sihir."
"Aku juga bisa." Emily mengangkat tangan kirinya dan menggoyangkannya. Angin menggoyangkan pelan beberapa daun di pohon. "Lihatkan?"
"Itu sihir dasar yang bahkan bayipun bisa melakukannya!"
"Kau terlalu berlebihan Shawn. Tidak mungkin bayi bisa melakukannya."
"Adikku bisa. Adikku yang berusia lima bulan bisa melakukannya."
"Itu kan... Itu kan karena adikmu saja yang jenius sedari lahir. Ah sudahlah! Kamu terus saja mengomel seperti ibu."
"Selalu dengan alasan. Apa kamu lupa kita akan masuk akademi?"
"Ugghh.. Akademi. Kenapa kita harus kesana? Aku tidak ingin menjadi kesatria, healer, Ataker, bahkan prajurit biasa. Aku hanya ingin seperti ini. Selamanya, Ahh! Bagaimana jika kita melarikan diri saja. Kita keliling Ecaunthya. Wahh pasti seru!"
Shawn duduk lalu menyentil dahi Emily.
"Aww!"
"Kamu pikir mereka tidak akan tahu jika kita melarikan diri? Terlebih melarikan diri dengan tetap di Ecaunthya?"
"Kalau begitu... Keluar Ecaunthya?"
"Sihirku tidak cukup kuat dan kamu hanya bisa sihir dasar, lalu menurutmu apa yang akan terjadi? Kita akan mati Em. Berhenti berpikiran aneh-aneh."
"Aku hanya tidak ingin pergi ke sana."
"Kenapa? Karena kamu takut di perbudak mereka?"
"Di perbudak? Maksudmu?"
Shawn kembali berbaring.
"Aku ingin ke akademi itu. Itu impianku, kau tahu itu. Tapi kau juga tahu, kita dari kaum Nemuen. Bahkan jika sihir kita bagus sekalipun, kita tetap akan menjadi budak mereka. Kita kaum terendah."
"Karena itu..." Emily duduk dan menatap Shawn. "... Karena itu ayo pergi! Kita berpetualang saja. Atau bersembunyi?"
"Em, mereka penyihir, mereka pasti akan mengetahui keberadaan kita jika hanya bersembunyi di Ecaunthya. Lagipula menghindar bukan solusi. Justru akan memperpanjang masalah. Masuk akademi itu hal yang wajib. Ada peraturannya."
"Huh! Peraturan menyebalkan. Seharusnya kita bisa memilih jalan yang kita inginkan. Lagipula, untuk apa kita belajar sihir? Toh mereka akan menjadi petani, peternak. Itu menggunakan sihir dasar saja cukup."
"Tapi dengan masuk akademi kita akan memiliki pekerjaan lebih baik. Hidup kita akan lebih baik. Apa kamu tidak mau hal itu?"
"Hmm.. Tidak. Hidup seperti ini cukup untukku..." Emily kembali merebahkan tubuhnya.
"Kalau kamu terus bersikap kekanak-kanakan, tidak akan ada yang mau berteman denganmu bahkan menikahimu."
"Tidak perlu." memiringkan tubuhnya dan menyangga kepalanya dengan tangannya. "Aku sudah punya kamu. Aku akan menjadi temanmu dan istrimu, bagaimana?"
Shawn berdecak. "Kau selalu seperti itu. Menjadikanku sebagai alasanmu. Aku tidak mau! Aku mau mencari gadis-gadis cantik di akademi." Shawn menerawang jauh, berimajinasi gadis-gadis cantik di akademi.
"Huh! Aku doakan kau mendapat monster!"
Emily berdiri lalu berlari menjauh.
"Ap- kau! Sini kau!! Jangan melarikan diri! Monster?!" Shawn berlari sekuat tenaga mengejar Emily. Emily berlari sangat cepat, membuat Shawn kewalahan. Shawn lalu berhenti dan mengayunkan kedua tangannya, membuat angin cukup besar menuju ke arah Emily yang sedang berlari. Tubuh Emily terdorong cukup keras dan terjerembab di tanah.
"Aww! Sakit!"
Shawn terkejut lalu segera mendatangi Emily. Dia merasa tidak mengeluarkan sihir besar.
"Em, kau baik-baik saja?! Apa terluka?!" Shawn mengamati satu persatu tubuh Emily. Tapi dia tidak menemukan luka apapun.
"Aku terluka, hiks."
"Benarkah? Di mana?" Shawn masih mencari-cari luka Emily.
"Disini." Emily menunjuk satu benjolan sangat kecil. Emily mendapatkannya saat dia bermain di hutan beberapa hari lalu. Shawn melihat itu lalu bermuka masam.
"Apa? Aku benar." Emily mengangkat kedua bahunya lalu berdiri dan pergi meninggalkan Shawn. Shawn dengan cepat berlari menuju Emily lalu mengalungkan tangan kirinya di leher Emily. Shawn meletakkan kepala Emily dibawah ketiaknya.
"Aakkkhhh!! Shawn! Lepaskan!"
"Ini akibatnya jika berani menipuku!"
"Aaakkhh!! Baiklah, baiklah aku minta maaf, oke? Lepaskan aku. Ayolah..."
"Tidak. Akan aku bawa kamu ke desa seperti ini." Shawn mulai berjalan dengan Emily yang masih dibawah ketiaknya.
"Apa?! Aku bukan anak kecil!"
"Siapa bilang cara seperti ini hanya untuk anak kecil? Ini karena kau menipuku!"
"Baiklah, baiklah.. Kamu bisa melakukan ini seharian. Tapi jangan ke desa. Aku baru saja sampai disini dan aku tidak ingin mendengarkan omelan ibuku!"
"Aku tidak perduli!"
"Shawn!"
Dan benar saja kata Shawn. Dia benar-benar membawa Emily kembali ke desa. Shawn melepaskan Emily saat sudah di desa. Emily memasang wajah cemberutnya.
"Sana pulang! Apa perlu aku antar sampai rumah?"
"Please... Biarkan aku kembali. Aku sedang tidak ingin mendengar ibuku mengomel hari ini." Emily menyatukan kedua tangannya, memohon untuk diselamatkan.
"Tidak. Jika kamu tidak mau mendengar ibumu mengomel, seharusnya kamu menurutinya."
"Huh! Kamu persis seperti ibuku. Atau jangan-jangan.. Kau ibuku?" Emily mendelik pada Shawn. Shawn menghela nafas lalu memutar balik tubuh Emily.
"Sana pergi!"
Emily mendengus kesal lalu melangkahkan kakinya menuju rumahnya.
"Kenapa lagi dengannya?" tanya Dan, teman Shawn.
"Seperti biasa." Shawn masih menatap Emily sampai dia hilang dari pandangannya.
"Dia tidak pernah berubah. Apa kamu menemukannya di hutan lagi?"
"Hmm.. Begitulah."
Shawn berjalan menuju tempat mereka berlatih.
"Aku rasa kau akan mengurusnya sampai tua." Dan tertawa.
"Kenapa jadi aku?"
"Aku yakin orang tuamu dan orang tuanya akan menjodohkan kalian."
"Yang benar saja!"
"Apa kau yakin tidak memiliki perasaan apapun padanya?"
Shawn terdiam sejenak. "Kurasa."
"Kurasa? Bahkan kamu tidak yakin pada perasaanmu sendiri!"
"Baiklah, baiklah.. Aku tidak memiliki perasaan apapun padanya. Puas?"
"Kau yakin?"
Shawn terdiam sejenak lalu memukul lengan Dan.
"Aww! Apa-apaan itu?!"
"Berhentilah bertanya hal konyol. Ayo kita bertarung!"
Dan mendengus kesal lalu mengambil pedang yang tersimpan di pinggangnya dan menyerang Shawn.
***********
Emily tiba di depan pintu rumahnya. Dengan sepelan mungkin dia mencoba membuka pintu rumahnya. Saat sudah terbuka sedikit. Dia menahan nafasnya dan mengintip ke dalam. Tidak ada siapapun. Dia bernafas lega. Sepertinya dia sedang di hadapi situasi hidup dan mati. Emily masuk perlahan dan menutup pintu dengan perlahan juga. Emily berjalan jinjit menuju kamarnya sampai akhirnya..
"Emily."
Langkah Emily terhenti. Dia membeku di tempatnya. Emily menutup matanya lalu berbalik dan menundukkan kepalanya.
"Pergilah ke belakang rumah. Ayahmu mencarimu." sahut ibu Emily lalu segera pergi ke dapur. Tanpa nada dan ekspresi marah yang selalu ibunya lakukan. Emily melongo tidak percaya. Ibunya tidak membombardirnya dengan omelan? Itu hal yang paling tidak bisa di percaya.
Emily segera pergi ke belakang rumah sebelum ibunya berubah pikiran dan memarahinya. Emily menemukan ayahnya sedang memoles kursi yang baru saja dia buat.
"Ayah memanggilku?" tanya Emily saat sudah berada di depan ayahnya.
"Kau sudah pulang? Duduklah."
Emily menurut dan duduk di batang kayu besar di dekatnya.
"Dari mana saja?"
"Hutan. Apa ibu mengomel lagi?"
"Kamu tahu bagaimana ibumu."
"Ya, dan karena itu aku lebih menyayangi ayah. Ayah yang terbaik!" Emily mengacungkan kedua jempol tangannya. Ayahnya tertawa.
"Berhentilah membuat ibumu marah."
"Tapi ibu yang selalu melarangku ini dan itu, mengharuskan aku ini itu. Tidak bebas."
"Itu untuk kebaikanmu."
"Kebaikanku? Ayah bercanda. Itu namanya perbudakan!"
Ayahnya tertawa. "Dia ibumu, Em."
"Sayangnya begitu." guman Emily tapi ayahnya bisa mendengarnya.
"Ibumu menyayangimu. Jika tidak, dia akan menelantarkanmu."
"Mungkin itu lebih baik. Jadi aku bisa bebas!"
"Dasar kamu. Apa kamu sungguh tidak mau meningkatkan sihirmu?"
"Sihir terlalu rumit."
"Di bagian mananya sihir itu rumit?"
"Semuanya. Pokoknya rumit. Aku tidak suka."
"Lalu bagaimana dengan akademi? Sihir diperlukan di dalam akademi."
"Apa... Emily harus masuk ke sana? Aku benar-benar tidak ingin ke sana." Emily tertunduk. Ayah menghentikan pekerjaannya dan menatap Emily.
"Emily, akademi bagus untukmu. Kamu bisa belajar hal-hal baru yang belum pernah kamu pelajari. Sihirmu akan meningkat. Dan jika itu terjadi, kamu mungkin bisa mendapat pekerjaan yang bagus yang mungkin kamu sukai juga."
"Itu tidak mungkin, ayah. Aku bahkan tidak ingin menjadi kesatria, ataker, healer atau apapun. Aku lebih baik menjadi petani saja."
"Bahkan menjadi petani itu butuh sihir. Kau lihat sendiri teman ayah Mcraun. Dia mengolah lahannya dengan sihir. Itu dia pelajari dari akademi. Ayah yakin kamu akan mendapatkan hal yang kamu suka asalkan kamu membuka pikiran dan hatimu itu. Sesuatu hal yang tidak kamu suka bukan berarti itu hal yang buruk. Mungkin kamu tidak suka karena kamu belum mengenal hal itu. Kenalilah, pelajarilah. Jika kamu suka, kuasailah. Ayah yakin kamu akan baik-baik saja disana dan bersenang-senang."
Emily terdiam. Mungkin yang dikatakan ayahnya benar tapi Emily tahu kenyataan tidak semudah itu. Ayah Emily berdiri lalu duduk di sebelahnya.
"Ayah tahu kamu tidak menyukainya. Sebenarnya ayah tidak suka memaksamu. Tapi ini sudah menjadi kewajiban kita pada Ecaunthya. Suka atau tidak kita harus melakukannya. Anggaplah... tanggung jawab sebagai orang dewasa."
Emily mengerutkan keningnya dan menatap tidak percaya.
"Seriously? Ayah sungguh-sungguh mengatakan hal itu padaku?"
Ayah Emily tertawa. "Pokoknya.. Lakukan saja kewajibanmu dulu. Setelah itu, jika kamu mau menjadi petani atau berpetualang keliling Ecaunthya juga tidak masalah. Ayah akan mendukungmu. Bahkan ayah akan membujuk ibumu."
Kata-kata ayahnya membulatkan mata Emily.
"Benarkah? Ayah berjanji?"
"Tentu saja."
"Baiklah, kita sepakat?" Emily mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan ayahnya. Ayahnya tertawa.
"Sepakat!"
Mereka lalu tertawa kembali. Ibunya yang memperhatikan mereka dari dalam rumahnya hanya menghela nafas untuk kesekian kalinya. Entah kenapa Emily sangat sulit untuk di atur. Tidak seperti anak laki-lakinya. Dari kecil sangat menyukai sihir dan pandai bertempur. Sekarang sudah menjadi kesatria dan berada dekat dengan pemimpin agung.
*********
Emily lari kecil dari rumahnya menuju rumah shawn yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Dia meminta ijin dengan ibunya untuk melihat shawn pergi. Ibunya tahu, Shawn adalah temannya sedari kecil. Shawn akan pergi ke akademi Ecraun hari ini. Karena hari ini adalah hari ulang tahun Shawn yang ke dua puluh yang secara otomatis dia akan pergi. Emily berhenti saat dia berada di dekat rumah Shawn. Disana sudah ada beberapa orang termasuk Shawn dan orang tuanya. Terlihat Shawn sedang memeluk ibunya.
"Shawn!" panggil Emily lalu berlari kembali dan berdiri di dekat Shawn. Shawn menoleh dan melepaskan pelukannya.
"Hai Em."
"Kau sudah akan pergi?"
"Iya."
Shawn menunjuk ke arah tiga orang berdiri. Satu wanita di tengah mengenakan long dress berwarna merah marun dengan rambut yang di sanggul rapi ke atas dan di tambah topi yang ukurannya lebih kecil dari kepalanya. Di sisi kanan dan kiri wanita itu, ada dua orang berpakaian serba hitam dan membawa tombak di tangannya. Mereka di sebut the Caller. Mereka yang menjemput semua pemuda-pemudi yang berumur tepat dua puluh tahun untuk membawa mereka ke akademi Ecraun.
"Sampai jumpa di sana Em. Kau harus sudah bisa sihir saat kita jumpa lagi. Ingat itu. Jika tidak, aku akan meletakkan kepalamu di bawah ketiakku lagi." kata Shawn membuat Emily cemberut. Shawn memeluk Emily sejenak lalu tersenyum.
"Kita bertemu dua hari lagi. Semangat Em!"
Shawn menepuk kepala Emily pelan lalu berjalan menuju the Caller.
"Hati-hati disana nak. Kirimlah surat untukku." sahut ibu Shawn sambil mengusap air matanya.
"Tentu bu."
Shawn berdiri di sebelah wanita berbaju merah. Wanita itu mengambil kantong berukuran kecil dan membukanya. Dia mengambil serbuk dari kantong itu lalu melemparkannya ke tanah. Serbuk itu berubah menjadi gumpalan asap yang lalu menutupi mereka. Saat gumpalan asap itu hilang, begitu juga Shawn dan the Caller.
Ayah dan ibu Shawn sudah masuk ke dalam rumah. Teman-teman Shawn yang lain juga sudah pergi. Hanya Emily yang masih diam disana. Meski dia tahu dia akan bertemu Shawn dua hari lagi tapi entah kenapa dia merasa begitu kehilangan. Emily menghela nafas panjang lalu berbalik dan pulang ke rumah.
Di rumah, Emily hanya diam duduk menatap semua barang-barang hancur berserakan di halaman belakang. Barang-barang pecah, hancur, bahkan bangunan yang akan di jadikan rumah buat binatang peliharaan mereka, Kragles, hancur berkeping-keping. Seperti ada badai yang mampir di halaman belakang rumahnya.
"Apa kamu akan diam saja disana atau kamu mau mulai membersihkan kekacauanmu ini?" ibu Emily sudah berada disana dengan tangan terlipat di depan dadanya. Emily hanya menghela nafas lalu mulai berdiri dan membersihkan.
"Bagaimana bisa kamu latihan sihir tapi justru menghancurkan segalanya?! Apa tidak-- huft... Tenang Martha tenang, tenanglah." ibu Emily mengelus dadanya. Dia berusaha untuk tidak marah.
"Oh astaga Martha, ada apa ini?" satu orang terkejut saat dia melewati halaman belakang. Dia adalah nyonya Baranor, tetangga sebelah rumah mereka. "Apa ada Racros liar yang mengacak halamanmu?"
"Ya benar Bela, Racros yang sangat besar!" kata ibu Emily sambil menatap Emily. Nyonya Baranor ikut menatap Emily dan akhirnya dia menganggukkan kepalanya mengerti. Nyonya Baranor tersenyum geli.
"Berlatihlah dengan keras Em!" sahut nyonya Baranor sambil berlalu.
"Bersihkan semua itu dan kembalilah berlatih."
"Untuk apa semua ini di bersihkan jika akan berlatih sihir? Buang-buang tenaga saja." gumam Emily.
"Jika tidak ingin buang tenaga, lakukan dengan sihir." sahut ibunya yang berada di dapur. Emily mendengus kesal lalu berdiri. Emily kembali membersihkan halaman. Dia menggunakan angin kecil untuk mengumpulkan semua menjadi satu. Nanti ayahnya yang akan memperbaiki semuanya karena Emily belum bisa melakukan sihir perbaikan. Karena itulah ibunya semakin kesal.
"Huh! Ibu benar-benar membenciku. Pasti itu. Lihat saja, dia selalu memarahiku, memaksaku melakukan sihir, menghukumku. Dia terus saja membandingkanku dengan Nathan. Ck! Aku bukan Nathan! Kenapa aku harus bisa semua yang Nathan bisa?"
"Itu semua untukmu Em." sahut ibunya yang sudah berdiri di belakangnya. Emily terkejut lalu menundukkan kepalanya. Ibunya menyerahkan segelas air minum yang dia bawa pada Emily. Emily duduk di tempat seadanya lalu meminumnya. "Ibu tahu kita harus masuk akademi. Itu sebuah keharusan. Tapi kamu tidak akan bertahan di sana tanpa sihir yang memadai, yang cukup. Ibu tidak mau anak ibu terluka di sana." ibunya duduk di sebelahnya. "Ibu juga sepertimu dulu."
"Tidak suka sihir?"
"Tentu saja tidak. Ibu menyukai sihir. Hanya saja ibu tidak mau pergi ke akademi itu. Ibu juga tidak suka. Ibu lebih nyaman belajar di rumah. Tapi meski dengan terpaksa, ibu pergi. Justru pengalaman disana membuat ibu tidak menyesal pergi. Ibu bertemu teman-teman ibu, bertemu ayahmu."
"Tapi ibu tidak akan di perbudak di sana. Ibu dari kaum Hein. Sementara aku? Aku dari Nuemen bu dan aku hanya bisa menumbuhkan ekorku saja. Itu memalukan."
"Karena itu ibu ingin kamu belajar, dengan giat. Usaha tidak akan membohongi hasil. Meski kamu tetap Nemuen, tapi kamu tetap tidak akan dianggap rendah. Berikan gelasnya."
Emily memberikan gelas kosong pada ibunya.
"Sekarang bersihkan lagi. Ibu mau ini bersih tanpa sisa."
Ibunya segera pergi meninggalkan Emily yang hanya bisa menghela nafasnya. Menyebalkan sekali!
***********
Ibu Emily berjalan bolak balik di ruang makan. Dia begitu resah. Sementara ayahnya duduk di meja makan.
"Kemana sebenarnya anak itu?!"
Krekk!!
Pintu rumah terbuka dan Emily keluar dari balik pintu.
"Astaga Em, dari mana saja?! Apa kamu lupa sebentar lagi the Caller menjemput dan kamu bahkan belum siap!"
"Emily dari hutan bu. Aku hanya ingin kesana untuk terakhir kali sebelum ke akademi."
Ibunya menghela nafas. "Baiklah, sekarang kamu mandi dan bersiap."
Emily mengangguk lalu berjalan ke kamarnya.
"Gosok seluruh tubuhmu!!" pekik ibunya dari lantai bawah.
Emily menuruti ibunya. Dia segera mandi dan mengenakan pakaian yang sudah disiapkan ibunya. Sebuah gaun long dress dengan warna biru muda. Emily menatap cermin di depannya. Dia begitu tidak ingin pergi. Terbesit keinginan untuk melarikan diri. Tapi persiapan Emily sama sekali tidak akan membantunya untuk melarikan diri. Emily menghela nafas untuk kesekian kalinya. Emily turun ke bawah dan ibunya langsung menata rambutnya sambil membawa buntelan kecil berisikan barang-barang kesukaannya.
"Apa aku benar-benar harus mengenakan pakaian ini bu? Ini tidak nyaman."
"Tahan saja dulu. Itu untuk upacara penyambutan saja. Nanti akan di berikan seragam khusus di sana." sahut ibunya. "Kamu tidak perlu membawa barang apapun. Hanya keperluan pribadimu saja. Baju dan segalanya sudah di siapkan di sana."
"Baiklah."
"Tenang saja Em. Gadis-gadis disana mengenakan celana saat berlatih."
"Benarkah?!"
"Benar. Ibumu juga seperti itu."
"Ahhh baguslah..." Emily lega. Setidaknya ada satu hal yang dia sukai dari akademi itu sekarang. Celana itu benar-benar menyelamatkannya. Keanggunan benar-benar bukan tipenya.
"Selesai. Biar ibu lihat."
Emily berdiri dan menghadap ibu dan ayahnya.
"Astaga... Kamu cantik sekali Em." puji ayahnya. Emily tersenyum malu.
"Kamu boleh senang di puji seperti itu, tapi jangan keluarkan ekormu." kata ibunya.
"Ekor?"
"Ibu tahu jika kamu sedang tersipu malu, ekormu akan keluar. Lihatlah gaunmu itu. Ada yang menyembul di balik gaunmu."
Emily terkejut dan memegang gaun di bagian belakang lalu dia tersenyum malu.
"Segera kendalikan hal itu jika kamu tidak ingin malu di sana."
"Baiklah."
"Emily Boirden!"
Sebuah panggilan terdengar dari luar rumah.
"Mereka datang. Ayo."
Ibu Emily menarik tangan Emily untuk keluar rumah di ikuti oleh ayahnya. Disana sudah ada wanita yang waktu itu menjemput Shawn.
"Emily Boirden, kami menjemputmu untuk masuk ke dalam akademi. Apa kamu sudah siap?"
Emily mengangguk.
"Emily dengarkan ibu. Kirim surat untuk ibu. Ceritakan semuanya, apapun. Jika ada masalah, langsung ceritakan pada ibu, mengerti?"
"Emily bukan anak kecil lagi bu."
"Ibu tahu Em, berjanjilah pada ibu."
"Aku berjanji."
Ibunya membelainya lalu memeluknya.
"Kau akan baik-baik saja Em. Semangat sayang." ayahnya juga ikut memeluknya. "Kami tunggu suratmu."
"Sampai jumpa lagi."
Emily berjalan menjauhi mereka dan mendatangi the Caller.
"Apa kau sudah siap?" tanya wanita bergaun merah itu.
"Sudah."
"Kalau begitu, berdirilah di sebelahku."
Emily menurut dan berdiri di sebelah wanita itu. Emily bisa melihat ayah dan ibunya melambaikan tangan mereka. Bahkan ibunya sudah menangis sekarang. Dia tidak menyangka ibunya akan menangis melepasnya. Wanita itu membuka kantung kecil berisi serbuk lalu membuang serbuk itu di tanah. Semua tampak gelap sejenak. Emily bingung dan sedikit panik.
"Apa yang terjadi?"
"Jangan panik." sahut wanita bergaun merah. "Berdiri saja diam disana, jangan bergerak. Ini hanya sebentar."
Emily menurut. Dan benar saja. Tak lama dia sudah sampai di depan kastil yang sangat megah. Baru kali ini dia melihat kastil semegah itu. Ibunya pernah mengajaknya melihat kastil raja kaum Nemuen dan kastil itu tidak semegah dan seluas kastil yang ada di hadapannya itu. Dia bisa melihat anak-anak seumurannya dan sama sepertinya, baru saja datang.
"Emily, Selamat datang di akademi Ecraun."
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
T. L. Handayani
mau dong di ajarin sihir😇
2022-11-27
2
ig : skavivi_selfish
Wow luar biasa, partnya panjang banget kak. Bisa di bagi dua biar lebih nyaman bacanya. 🤭
Semangat
2022-11-24
1