Para pangeran.

Emily masih terdiam di tempatnya. Dia masih memperhatikan teman akademinya datang dan masuk ke dalam kastil. 

"Apa kamu tidak mau masuk? Kenapa diam saja?" tegur wanita the Caller yang heran kenapa Emily masih terdiam di tempatnya.

"Ah iya. Maaf.."

"Masuklah kedalam dan cari nyonya Celine Kim. Dia adalah kepala asrama wanita."

"Nyonya Celine Kim. Baik, terima kasih."

Emily melangkahkan kakinya masuk ke dalam kastil. Di dalamnya, kastil itu sangat luas. Suasana hiruk pikuk siswa  yang datang dan pergi sangat terasa. Banyak sekali orang yang ada di sana. Emily tidak tahu harus kemana. Saat dia mencoba bertanya pada siswa lain, tapi mereka justru mengabaikan. Emily terpaksa mengandalkan instingnya saja. Emily mulai berjalan menerobos kerumunan. Dia memutuskan untuk berjalan lurus saja ke depan. Baru masuk saja Emily sudah merasa sesak. Dia terus bertabrakan dengan sesorang.

"Murid baru silahkan kemari."

Suara lantang itu mengalihkan pandangan Emily yang sedari tadi terus berjalan lurus. Emily dengan segera mendatangi suara itu. Dalam hati dia merasa lega karena dia tidak perlu membawa tas besar. Hanya tas kecil berisi beberapa buku dan barang kesayangannya. Kalau tidak, entah bagaimana nasibnya. 

Dengan susah payah akhirnya Emily sampai di depan wanita tadi. Wanita paruh baya itu mengenakan long dress berwarna hijau jamrud. Rambut wanita itu di tata rapi kebelakang. Wanita itu masih berteriak-teriak, meneriaki siswa yang lain. Sesekali dia menghela nafas kasar. Emily mendatangi wanita itu dan berdiri tepat di depannya. 

"Tidak, tidak. Jangan ke sana. Marcus, kau bukan wanita. Itu jalan memuju asrama wani-- astaga anak itu!" wanita itu menghela nafas panjang dan melihat Emily. "Siapa kamu dan sedang apa kamu disini?"

"Ah! Saya... Saya--"

"Siswa baru. Astaga Edelina! Sudah kuduga dia melakukan kesalahan. Aku minta maaf. Seharusnya seniormu, Edelina yang menyambutmu. Tapi dia berkata sudah tidak ada lagi siswa baru. Kemarilah dear, ikuti aku."

Wanita itu mulai berjalan dan Emily mengikutinya di belakang. Langkah wanita itu cukup cepat. Emily sedikit kesulitan untuk mengimbangi langkahnya. Mereka berjalan di koridor menuju asrama wanita. Dinding di koridor di cat berwarna krem, dengan lampu hias sepanjang jalan koridor. Di dinding nya juga terdapat lukisan-lukisa. 

"Ah iya! Namaku Celine Kim. Aku kepala asrama wanita. Jika ada sesuatu silahkan cari aku di kantor guru." kata ibu Kim tanpa menghentikan atau memperlambat langkahnya. Emily sesekali tersandung roknya sendiri.

"Baik nyonya."

"Jangan panggil aku nyonya. Panggil saja aku ibu Kim."

"Baik."

"Dan siapa namamu?"

"Emily Boirden, nyo-- maksudku ibu Kim."

"Emily. Baiklah. Dan kamu--" ibu Kim menghentikan langkahnya dan menatap Emily. "Nuemen. Kamu dari kaun Nuemen." ibu Kim kembali berjalan. Mereka memasuki sebuah lorong. Di lorong itu lumayan sepi. Hanya beberapa siswa saja yang terlihat.

"Bagaimana ibu tahu kalau--"

"Kamu dari bangsa Nuemen? Oh Emily, aku sudah mengajar di sekolah ini sejak ratusan tahun. Tentu aku sudah hapal. Seragam dan keperluan sekolahmu, sudah ada di kamarmu. Pelatihan dimulai pada jam delapan tiga puluh pagi. Sarapan jam tujuh pagi. Akan ada dua kali istirahat siang. Pelatihan selesai pada jam empat sore. Kalian memiliki waktu bebas dari jam empat sampai jam enam kurang lima belas menit. Jam enam, semua siswa harus sudah ada di asrama. Akan ada petugas absen yang berkeliling. Setelah itu kalian makan malam dan tidur. Jam malam di berlakukan untuk seluruh siswa." Mereka berhenti di sebuah pintu. Ibu Kim menatap Emily.

"Dilarang berkelahi. Berkelahi hanya pada saat jam pelajaran latihan fisik, well dengn aturan tentu. Hutan, bisa kalian masuki tapi ada batasan hutan dan itu di jaga ketat. Kalian tidak boleh memasukinya, kamu mengerti?" Emily menunduk. "Mengirim surat di perbolehkan, pulang? Tidak boleh. Sampai lulus. Menerima hadiah dari luar akademi diperbolehkan. Asal hadiah atau kiriman tersebut harus di verifikasi terlebih dulu oleh pihak akademi. Kami tidak ingin ada masalah. Dan sekarang, masuklah. Adaptasi dengan teman sekamarmu dan beristirahatlah. Pelatihan di mulai besok pagi."

"Baik bu."

Ibu Kim berjalan meninggalkan Emily. Emily masih menatap ibu Kim sampai hilang dari pandangannya. Emily menghela nafasnya, mencoba menenangkan hatinya lalu memutar kenop pintunya. Suara krek terdengar dari pintu kayu itu. Emily masuk ke dalam kamar. Dia menatap ada lima buah tempat tidur. Tapi kamar itu kosong, tidak ada siapapun. Emily masuk ke kamar. Dia mencari tempat tidur yang kosong. 

"Kau pasti baru!"

Sebuah suara mengagetkan Emily. Dia hampir saja berteriak. Tapi untungnya dia bisa menahannya. Satu gadis tampak ceria berdiri di depan. Gadis dengan gaun biru langitnya dengan rambut pirang tertata rapi di kepalanya. 

"Terkejut ya? Maaf. Hai namaku Syra, Syra Adeira. Aku dari kaum Hein." gadis bernama Syra itu mengulurkan tangannya.

"A-aku Emily. Aku dari--"

"Kaum Nemuen. Aku tahu." Syra melepaskan tangannya lalu menuju ke kasurnya. Masing-masing kasur terbuat dari kayu. Semua memiliki model yang sama. Tidak di beda-bedakan antar kaum. Di atas tempat tidur, tersedia lemari pakaian dan di sebelah tempat tidur ada meja kecil yang di atasnya ada lampu kecil. "Tempatmu di sana." Syra menunjuk tempat tidur di sebelahnya.

"Dari mana kamu tahu aku dari Nuemen?" tanya Emily seraya berjalan menuju tempatnya.

"Tentu aku tahu. Kaum Hein dan kaum Nemuen memiliki ciri fisik yang sama, kecuali mata. Tapi saat kaum Nuemen sudah menguasai sihirnya, biasanya mereka akan bisa berubah sepenuhnya menjadi binatang. Tapi kamu belum berubah. Fisikmu dan fisikku sama. Hanya mata kita saja berbeda, lihat?"

Emily mendekatkan dirinya dan menatap mata Syra lalu mengangguk setuju.

"Well ada juga yang ciri fisiknya mirip dengan kita." Syria mencondongkan tubuhnya kedepan dan meletakkan tangan kanannya di mulutnya, seakan menutup mulutnya lalu berbisik. "Kaum Darken."

"Kenapa kamu berbisik?" tanya Emily.

"Yaah... Aku dengar mereka tidak suka jika kaum mereka di bicarakan. Anyway, fisik mereka sama seperti kita tapi... Mereka berbeda. Nanti kamu akan tahu."

Emily mengangguk. Emily menatap tempat tidurnya. Berbeda dengan tempat tidurnya di rumah. Emily selalu mengeluh dengan tempat tidurnya yang selalu berbunyi ketika Emily duduk maupun tidur di atasnya. Bahkan bergerak sedikitpun berbunyi. Tapi sekarang dia sudah begitu rindu pada kamarnya di Nuemen. Bahkan tempat tidur reotnya! 

"Rindu rumah ya? Aku bisa mengerti. Aku juga seperti itu."

"Sudah berapa lama kamu disini?"

"Hari ini tepat tiga bulan."

"Apa semua tempat tidur itu ada yang menempati?" Emily menunjuk tiga tempat tidur kosong.

"Tentu. Setiap kamar berisi lima orang dari kaum yang berbeda. Disebelahmu kaum Slein. Sebelahku kaum Gryuen dan paling ujung kaum Darken."

"Lalu kemana mereka semua?"

Syra mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak tahu. Mungkin di taman? Hari ini tidak ada pelatihan jadi mereka bebas kemanapun."

"Lalu kenapa kamu disini?"

"Well... Aku agak sulit... Berteman dengan semua orang." Syra menundukkan kepalanya.

"Menurutku kamu baik-baik saja."

"Benarkah?" Syra menatap antusias pada Emily sejenak lalu kembali menundukkan kepalanya. "Tapi orang-orang berkata aku terlalu banyak... Bicara dan aneh."

"Well yahh itu benar. Kurasa. Tapi sejauh ini banyak bicaramu cukup berguna untukku."

"Whoaah... Baru kali ini aku mendengar hal itu."

Mereka berdua tertawa.

"Seperti apa disini?"

"Hmmm..." Mencoba mencari kata yang tepat. "Pelatihan gila-gilaan?"

"Gila-gilaan?" Emily terkejut.

"Mungkin aku berlebihan. Tapi seperti itu. Kamu akan merasakannya sendiri. Aku ingin jadi Healer. Sudah dari garis turunan kurasa. Ayah ibu bahkan kakek nenek dan atasnya lagi, mereka semua Healer. Bagaimana denganmu?"

"Aku... Tidak tahu."

"Tenang saja. Pelan-pelan. Nanti kamu akan tahu sendiri."

"Bisa aku minta satu hal darimu?"

"Tentu, apa itu? Jika bisa akan aku lakukan tentu. Tapi kalau tidak... Maafkan aku."

"Saat mereka memilih budak, pilihlah aku untuk jadi budakmu." sahut Emily tiba-tiba. Syra sedikit terkejut dengan kata-kata Emily. Dia mengerutkan keningnya.

"Kenapa kamu berkata seperti itu?"

"Aku tahu rumor disini. Sudah tersebar dimana-mana. Kaum Nuemen tidak memiliki harapan disini. Aku ingin menjadi temanmu. Tapi seandainya... Seandainya ada seusatu hal dan aku terpaksa harus menjadi budak seseorang.. Pilih aku. Setidaknya kamu temanku. Aku akan baik-baik saja."

Kata-kata teman yang di lontarkan Emily membuat Syra terkejut dan senang secara bersamaan.

"Aku... Temanmu?"

"Tentu saja."

"Whoah... Baru pertama kali aku mendengarnya. Baiklah, sepakat." Syra mengulurkan tangannya. Emily tersenyum dan menyambut tangan Syra.

"Sepakat."

Emily tidak ingin menjadi budak siapapun tapi dia tahu fakta bahwa dia kaum Nuemen sudah membuatnya otomatis menjadi budak. Terlebih jika dia tidak bisa sihir. Dia yakin dia akan menjadi bulian masal. Emily lebih memilih Syra. Dia terlihat baik. Penampilannya anggun, Emily bisa tahu dia terlahir dari kaum bangsawan. Terlebih dia dari kaum Hein. Tapi setidaknya mereka berteman. Syra pasti tidak akan kejam padanya kan?

******

"Kamu tidak akan pergi kan?"

Sudah sekian kalinya Salvator bertanya. Tapi Lycrus tetap juga tidak menjawab. Hanya terus berjalan menyusuri hutan. Lycrus mengenakan pakaian latihannya dan membawa pedang kesayangannya. Salvator mengikutinya di belakang kemanapun Lycrus pergi. Lycrus adalah putra mahkota di kerajaan Darken, suatu kaum yang terkenal kejam. Sementara Salvator adalah sahabatnya sedari kecil dan juga asisten pribadinya. Dimana ada Lycrus, selalu ada Salvator. Salvator memiliki rambut hawk berwarna hitam yang selalu tersisir rapi. Dia selalu mengenakan pakaian berwarna hitam. Karena itu saat mengikuti akademi, dia selalu mamaki dan sumpah serapah pada seragamnya yang bukan berwarna hitam. Lycrus benar-benar ingin menusuknya dengan pedang kesayangnya saat Salvator terus begitu. Lycrus berpikir Salvator terlalu ribut.

"Ly.. Kamu tidak akan pergi kan?"

Lycrus menghentikan langkahnya lalu mendengus kesal. Dia menatap Salvator yang juga sudah menghentikan langkahnya. 

"Apa kamu akan terus menanyakan itu?"

"Aku harus meminta kepastianmu, bahwa kamu tidak akan pergi."

"Astaga, kau cerewet sekali! Aku hanya ingin keluar, itu saja."

"Tapi itu berbahaya!"

"Apa kamu meremehkanku sekarang? Aku bahkan lebih kuat dari ayahku yang saat ini adalah raja." Lycrus mendelik tajam.

"Bu-bukan seperti itu. Meski kamu lebih kuat dari ayahmu tapi kamu masih tetap bisa terbunuh."

"Tidak akan semudah itu untuk membunuhku." Lycrus kembali berjalan.

"Tapi kamu putra mahkota!" kali ini Salvator memekik. Lycrus menghentikan langkahnya lagi. Dia berbalik  mengubah bola matanya yang berwarna hitam menjadi merah terang. Tubuhnya juga berubah menjadi asap. Wajahnya berubah menjadi menakutkan dengan dua tanduk kecil di kepalanya. "Kamu tahu aku tidak takut padamu meskipun kau berubah menjadi badut!"

"Ck! Kamu tidak menyenangkan!" Lycrus merubah dirinya menjadi normal kembali.

"Aku serius Lycrus!"

"Aku juga."

"Pokoknya aku tidak akan membiarkanmu pergi. Meski aku harus bertarung denganmu bertaruhkan nyawaku!" Salvator menatap tajam Lycrus lalu berjalan melewatinya.

"Whoaahh... Lihatlah orang itu." Lycrus menatap Salvator tidak percaya. "Hei, tunggu aku! Kurang ajar sekali meninggalkan putra mahkota sendirian!"

Lycrus berjalan mengikuti Salvator. Mereka berencana akan keluar hutan dan kembali ke asrama putra. Setelah beberapa menit berjalan dia tiba-tiba berhenti. Dia terdiam sejenak, matanya terbalak, lalu melangkah mundur perlahan. Salvator yang mengetahui itu dengan cepat mendorong tubuh Lycrus dari belakang.

"Tidak, tidak... Aku tidak ingin pergi."

"Kau harus!"

Lycrus membalikkan tubuhnya lalu memberontak. Sayangnya cengkraman Salvator terlalu kuat.

"Aku akan berjanji apapun padamu asalkan aku tidak ke sana." Lycrus memohon. "Kamu ingin aku tidak pergi keluar dunia Ecaunthya kan? Aku tidak akan pergi. Tapi jangan membuat aku melewati mereka. Aku mohon."

"Kau harus. Mau sampai kapan kamu menghindari mereka."

"Aku lebih suka menghadapi para monster diluar Ecaunthya dari pada menghadapi mereka. Mereka lebih mengerikan. Biarkan aku pergi! Atau.. Atau berputar saja?"

"Jika kita berputar, kita tetap akan bertemu dengan sejenis mereka, bahkan lebih banyak. Karena asrama mereka di sebelah sana. Kau ingat?"

"Akhhh sial! Kalau begitu kita kembali malam saja."

"Ada jam malam, kau ingat? Kamu tidak ingin sampai dilaporkan ke ayahmu kan? Jika begitu, kakakmu pasti akan mendengar kabar itu."

"Karena itu sudah aku katakan untuk membiarkan aku keluar Ecaunthya! Kenapa kamu keras kepala sekali?!" Lycrus berjalan menjauh.

"Berhentilah mencoba mencelakai dirimu sendiri." kata-kata Salvator membuat langkahnya terhenti. "Aku tahu tujuan sebenarnya kamu pergi. Tapi semua itu tidak bisa di ubah. Kamu tetap putra mahkota sementara kakakmu tidak. Kamu mati sekalipun tidak akan mengubah bahwa dia lahir dari selir. Berbeda denganmu. Kamu mati, adikmu yang akan di tunjuk. Adikmu mati, dewan kerajaan akan menunjuk yang lain. Mereka tidak akan membuat kakakmu naik tahta."

"Kau sungguh sangat menyebalkan."

"Oh aku tahu itu. Kamu harus ingat, sebentar lagi pertunanganmu dengan nona Ama akan di gelar. Semua orang di akademi tahu itu. Jadi mereka, para gadis-gadis itu, tidak akan berani menyentuhmu."

Lycrus berbalik dan menatap Salvator. "Tentu saja mereka tidak berani menyentuhku! Meski aku tidak akan bertunangan sekalipun, mereka tidak pernah berani menyentuhku. Aku bukan pangeran Hein itu! Menyentuhku sedikit saja, akan aku buat mereka menyesal seumur hidup mereka."

"Kalau begitu kenapa kamu tidak mau berjalan melewati mereka?"

"Mereka berisik. Menyakiti telingaku yang sensitif."

Salvator memutar bola matanya jengah.

"Ayo kita pergi, cepat." Salvator kembali mendorong tubuh Lycrus.

"Iya, iya aku jalan. Berarti aku tidak janji apapun padamu. Huh!"

"Dan aku akan tetap menghalangimu, yang mulia."

Baru saja keluar dari hutan, ketakutan Lycrus terjadi. Para gadis mulai berbisik dan bahkan terlihat mengagumi. Lycrus merubah raut wajahnya menjadi dingin dan tidak perduli dengan semua tatapan, bisikan maupun sorakan. Salvator mengikutinya dari belakangnya. Lycrus merupakan salah satu pria tertampan di akademi. Dengan tubuh tinggi semampainya, kulit putih pucat dan rambut ikal sebahu yang di biarkan berantakan. Tubuh kokoh, rahang tegas dan hidung mancungnya membuatnya tambah di puja gadis-gadis. Lycrus juga pria terdingin di akademi. Dia tidak pernah tersenyum atau sekedar berbicara pada siapapun. Semua orang takut padanya, segan padanya. Selain perawakan yang begitu dingin, dia juga putra mahkota kaum Darken. Tentu tidak ada yang berani mendekatinya. Para gadis hanya mengaguminya dalam diam. Meskipun tidak sepenuhnya diam.

"Lihatlah dia. Dia pasti merasa dirinya tampan." sahut salah satu gadis.

"Tapi Aera, dia memang tampan. Tidak, super tampan."

"Bagiku, Alden yang paling tampan." Aera tersenyum jika mengingat Alden.

"Alden juga tampan. Jika di suruh memilih, aku tidak akan pernah bisa."

"Aku bisa. Aku tidak mau memilih kaum Darken, mereka mengerikan." sahut gadis lain.

"Benar, aku dengar mereka tidak pernah menikah dengan kaum lain. Aku yakin jika ada yang menikah dengan kaum lain, mereka akan disiksa. Mengerikan!"

"Benarkah? Mengerikan sekali."

"Karena itu aku katakan, Alden yang terbaik!"

"Kamu benar Aera."

"Alden!!" Aera memanggil dan melambaikan tangannya pada satu laki-laki yang berjalan di dekatnya. Laki-laki itu berhenti dan menoleh sejenak lalu segera berjalan kembali. "Aku pergi dulu menemui Alden. Byeee.."

Aera berlari mengejar Alden.

"Aku kasihan padanya." kata teman Aera sepeninggal Aera.

"Aku juga. Alden bahkan tidak memperdulikannya."

"Itu benar. Tapi aku dengar mereka akan menikah."

"Kau pasti bercanda."

"Tidak, sungguh. Aku mendengar itu dari ibuku sebelum aku kemari."

"Tapi mereka sama-sama dari Hein. Mereka tidak akan memiliki keturunan."

"Kau benar. Kita lihat saja nanti. Ayo kita masuk."

******

"Emily..."

"Emily bangun..."

"Emily..."

"Emily!!!"

Emily tersentak kaget. Dia langsung duduk di tempat tidurnya. Syra menggelengkan kepalanya. 

"Astaga Emily, kamu itu tidur atau pingsan?"

"Ahh aku... Sulit tidur semalam jadi.." Emily menggosok matanya. Sinar matahari masuk dan mengenai matanya.

"Bersiaplah. Sebentar lagi sarapan lalu ke kelas."

Emily mengangguk lalu turun dari tempat tidur. Dia bersemangat hari ini. Setelah seharian penuh mengenakan long dress, hari ini dia akan mengenakan celana. Tapi dia kecewa seketika setelah memeriksa pakaian hari ini. Dia tetap mengenakan long dress dengan atasan berwarna putih dan bawahan berwarna coklat tua. Atasannya mengenakan rompi tanpa lengan dengan ikatan tali, membuatnya sulit untuk bernafas. Syra membantunya mengikat tali-tali itu. Setiap ikatan, Emily selalu mengeluarkan suara. Setelah sepuluh menit, Emily siap untuk pergi. Syra dan Emily berjalan menuju ruang makan.

"Sebaiknya kita cepat. Waktu makan harus tepat waktu. Kalau tidak, kita tidak akan dapat jatah makanan."

"Kejam sekali."

"Begitulah. Ahh itu ada tempat kosong. Ayo!" Syra menarik tangan Emily dan langsung duduk di tempat kosong.

Mereka mengambil makanan yang sudah tersedia di hadapan mereka. Emily tidak terlalu berselera makan. Semalam saja dia sulit untuk tidur. Mungkin karena suasa baru, itu yang dipikirnya. Emily sesekali melihat-lihat sekeliling, mencari keberadaan Shawn yang dari kemarin tidak kelihatan. Kata Shawn akan menemuinya saat dia disini, tapi Emily belum melihatnya. Padahal Shawn tahu, kemarin Emily masuk ke akademi. 

"Ada apa denganmu? Kenapa sedari tadi melihat kesana kemari?" tanya Syra dengan mulut penuh makanan.

"Aku mencari Shawn."

"Ahh sahabatmu dari desa? Dia pasti ada di sekitar sini. Tenang saja. Kalian pasti bertemu nanti. Makanlah. Kamu perlu tenaga."

"Kenapa pakaianmu dan pakaianku berbeda? Kamu mengenakan celana tapi aku masih mengenakan long dress!" Emily mendengus kesal.

"Kamu akan mengenakan itu untuk satu minggu kedepan. Karena siswa yang masuk akan di berikan materi selama satu minggu penuh. Setelah itu baru latihan fisik dan materi di bagi rata."

"Aku benar-benar seperti sekolah lagi disini."

"Itu benar. Tapi disini benar-benar fokus ke hal yang kamu kuasai. Kamu akan diberi waktu satu bulan untuk memilih bidang yang kamu kuasai. Apa kamu sudah memikirkannya? Apa tidak ada satupun yang kamu suka?"

Emily mengangkat kedua bahunya. "Sejujurnya aku tidak tertarik dengan semua ini."

"Karena itu kamu enggan belajar sihir?"

"Hmmm.. Benar."

"Emily." Syra tiba-tiba berbisik. "Sebaiknya jangan sampai orang-orang tahu kamu tidak bisa sihir."

"Aku tahu itu. Tapi saat latihan fisik pasti akan ketahuan juga."

"Kalau begitu kamu harus tetap terus latihan."

"Aku tahu."

Tiba-tiba suara riuh terdengar.

"Ada apa itu?" tanya Emily. Syra menoleh sejenak lalu kembali memakan sarapannya.

"Hanya Alden."

"Alden?"

"Dia pangeran dari kaumku."

"Ahh begitu..."

Emily melihat satu laki-laki baru masuk. Dia mengenakan seragam latihan berwarna abu-abu khusus untuk siswa laki-laki. Rambut pirang hawknya tertata rapi. Terlihat sekali jika dia memang anak bangsawan. Semua orang baik wanita maupun laki-laki, menatapnya. Beberapa gadis tersenyum, berbisik bahkan berteriak mengagumi. Alden hanya melewati mereka tanpa memperdulikan mereka. Alden duduk di satu meja. Emily melihat ada satu perempuan yang terus melingkarkan tangannya pada Alden saat berjalan dan bahkan sekarang duduk di sebelahnya. Gadis itu berambut pirang keemasan yang di tata rapi ke atas. Gaun long dress berwarna putihnya sangat pas di tubuhnya yang semampai. Gadis itu sangat cantik, bahkan Emily pun takjub menatapnya. 

"Gadis itu bernama Aera. Dimana ada Alden, disitu ada Aera. Dia seperti lem, sangat lengket. Ayo, kita pergi ke kelas. Kamu ada kelas apa pagi ini?" Syra bangkit dari duduknya.

"Ahh aku.. Sihir alam..."

"Ah iya benar. Aku ada latihan fisik. Jadwal akan selalu sama setiap minggu. Tapi akan di bagi antara materi dan pelatihan langsung. Kita ketemu lagi saat makan siang?"

"Tentu."

"Dan Emily, berusahalah!"

Emily tersenyum lalu berjalan menuju kelasnya yang entah dimana. Emily terus berjalan dengan bekal arahan Syra saat sarapan tadi. Emily berhenti dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ini sudah kesekian kalinya dia berhenti. Kastil ini terlalu banyak lorong. Emily menghela nafas. Sepertinya memang sudah waktunya dia bertanya. Tapi pada siapa? Emily melihat sekitarnya. Tidak ada satu orang pun di sana. Emily menunduk.

"Apa kamu akan terus berdiri disitu?" sahut satu orang di belakangnya. Emily mengangkat kepalanya dan berbalik. Sudah ada Alden disana. Emily tidak bergerak atau mengucapkan sepatah katapun. Orang di depan Emily berdecak. "Apa kamu akan diam terus? Kamu menghalangi jalanku."

"Ah.. Iya.. Ma--" Emily menghentikan kata-katanya. Dia menoleh ke sebelahnya, masih ada jalan disana. Tapi kenapa dia di suruh menyingkir karena menghalangi jalannya?

"Bukannya disana ada jalan? Kenapa menyuruhku menyingkir?"

"Terserah aku mau jalan di sebelah mana. Kenapa mengaturku? Aku ingin jalan di sebelah sini. Kalau kamu mau terus jalan, jalan saja jangan berhenti. Kalau kamu mau berhenti, menyingkirlah." Alden mendorong tubuh Emily ke samping hingga punggung Emily menabrak dinding lalu dengan cepat berjalan meninggalkan Emily.

"Aww! Dia itu gila atau apa? Sombong sekali!" Emily menatap Alden sampai hilang dari pandanganny. "Dan dimana sebenarnya kelas alam ini?! Ughhh!!"

********

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!