Hari-hari berikutnya benar-benar hari terburuk bagi Emily. Setiap hari Aera menyuruhnya melakukan sesuatu. Jika Emily menolak, dia akan terkena hukuman dari Aera. Hukumannya setiap hari semakin mengerikan. Kadang mereka merendam tubuh Emily di kolam dekat akademi, lalu airnya di buat sangat dingin. Tubuh Emily benar-benar mulai membeku dan hampir pingsan. Saat itu juga mereka mengangkat Emily tanpa membuatnya hangat setelahnya. Emily hanya di biarkan begitu saja. Untung saja Syra melihatnya. Dia membantu Emily setelah Aera dan teman-temannya pergi. Emily juga di ikat di pohon lalu beberapa orang melemparinya dengan apapun. Tomat, sayuran bahkan kotoran kuda. Mereka juga menyembunyikan sepatu Emily, menjegalnya saat berjalan. Tapi Emily tetap tidak menuruti Aera. Dia meminta Syra untuk berbicara pada Aera. Bukannya Syra tidak mau, dia sudah berbicara dan mengatakan jika Emily adalah budaknya. Tapi tentu Aera tidak mempercayainya. Justru Aera mempersulit ayah Syra di pemerintahan. Membuat Syra tidak bisa melakukan apapun lagi. Emily tentu saja mengerti dan tetap bertahan apapun yang Aera lakukan.
Semakin lama semua perlakuan Aera semakin tidak bisa di tolenransi. Emily selalu pulang dengan lebam atau luka. Bahkan dia terus-menerus bolos dari akademi.
"Em, apa kamu tidak ingin menyerah saja?" kata Syra saat Emily baru saja masuk ke asrama. Saat itu hari sudah gelap. Dia melewatkan absen malamnya. Ini sudah yang kedua kalinya. Jika sekali lagi Emily tidak ada saat absen malam, dia akan di hukum. Emily sekali lagi kembali penuh luka. Tubuhnya lemas dan basah kuyup. Emily menatap surat di atas nakas di samping tempat tidurnya. Itu sebuah surat teguran dari akademi karena Emily terus tidak hadir di pelatihan. Emily menggeleng lemah. "Kamu bisa celaka nanti jika terus keras kepala."
"Temanmu itu benar. Setidaknya bertahan saja selama disini. Setelah lulus aku yakin kalian tidak akan bertemu lagi." kata salah satu teman kamarnya dari kaum Slein, Vee. Selama ini dari semua teman sekamarnya, hanya Syra yang selalu berbicara dengannya. Yang lain hanya diam tidak perduli. Kali ini mereka merasa prihatin dan kasihan padanya.
"Vee benar. Sebaiknya menyerah saja." kali ini dari kaum Gryuen, Desira.
"Itu masih belum apa-apa di banding dengan Ama. Dia gila, sangat gila. Kamu masih beruntung masih hidup. Di tangan Ama, entah kamu jadi apa." sahut teman sekamarnya yang berasal dari kaum Darken, Venita.
"Tapi ini tetap keterlaluan." kata Desira.
"Kalau begitu lawan saja."
"Apa kamu tahu Aera?" tanya Syra pada Venita. Dia hanya menaikkan kedua bahunya. "Dia juga gila! Semua orang menghormati keluarganya karena itu dia seperti memiliki kekebalan disini. Tidak ada yang berani dengannya disini. Jika orang berani padanya, terutama satu kaum dengannya, dia akan menyerang keluarganya. Dia gila."
"Jadi itu yang dia lakukan padamu? Karena ini kamu tidak membantunya?" Vee menunjuk Emily dengan dagunya. Syra menghela nafas lalu duduk di kasur Emily.
Emily segera mengambil gaun tidurnya lalu pergi untuk mandi tanpa berkata sepatah katapun. Dia masuk ke dalam bilik mandi dan menutup pintunya yang terbuat dari kayu. Emily bersandar di pintu itu. Dia menutup matanya lalu menangis.
********
Keesokan harinya, Emily bertekad untuk masuk ke kelas pelatihan. Dia sudah mempersiapkannya sedari pagi. Dia akan menghindari Aera. Ya, itu jalan satu-satunya menurutnya. Dia akan pergi pagi-pagi sekali lalu tanpa sarapan dia akan langsung ke kelas. Dia selalu bertemu Aera setelah sarapan. Jadi sebaiknya dia menghindarinya dan siap di kelas sepagi mungkin. Pagi-pagi buta Emily mandi dengan cepat, meskipun dia harus menahan dinginnya air pagi hari. Emily dengan cepat bersiap dan mengenakan pakaian latihannya.
"Em?"
Syra memanggilnya. Syra baru saja bangun. Sementara Emily sudah bersiap pergi. Syra menggosok matanya. Dia menatap Emily heran.
"Mau kemana kamu pagi-pagi begini?"
"Ke kelas. Aku tidak akan sarapan. Sampai jumpa di kelas." sahut Emily lalu segera pergi. Hari ini Emily sekelas dengan Syra, kelas pertahanan dan penyerangan. Hanya satu pelatihan saja mereka satu kelas. Syra ingin bertanya lagi tapi Emily sudah keluar kamar. Dia hanya bisa menghela nafasnya.
Emily berjalan cepat dan waspada. Dia melihat sekelilingnya, mencari sosok Aera. Sampai di ruang pelatihan dia bernafas lega. Tidak ada Aera di sana. Dia berhasil. Kelas pertahanan dan penyerangan di aula yang cukup besar yang letaknya di belakang kastil. Ada dua aula di kastil itu. Aula utama yang ada di bagian depan kastil, tepat saat memasuki kastil. Dan Aula kedua yang lebih besar di bagian belakang kastil. Emily duduk di ujung ruangan. Dia hanya sendirian di sana. Dia menatap langit-langit ruangan itu. Lampu gantung yang indah. Dinding ruangan itu terbuat dari kaca. Jadi para siswa bisa menatap ke luar ruangan begitu juga sebaliknya. Ruangan itu telah di mantrai agar tidak ada yang pecah atau hancur saat mereka latihan. Emily duduk di lantai yang dingin. Dia mengenakan seragam latihannya berwarna biru muda. Celana panjang kain dan baju yang mirip longdress yang panjangnya selutut. Dan tentu, korset kulit sesak yang menutupi dada, punggung dan pinggangnya.
Sudah cukup lama dia menunggu. Emily mulai mengantuk. Bagaimana tidak, dia sulit tidur karena tubuhnya terlalu sakit. Dia kurang tidur dan makan. Tentu saja dia sangat kelelahan. Emily menyandarkan kepalanya di dinding dan mulai menutup matanya.
"Mungkin aku bisa memejamkan mataku sejenak." gumamnya.
Emily memejamkan matanya. Lama kelamaan dia tertidur, sangat nyenyak. Dia bahkan tidak mendengar satu orang masuk ke aula. Orang itu mendatangi Emily. Orang itu adalah Alden. Ya, Emily satu kelas dengan Alden kali ini. Alden berdiri di depan Emily yang tertidur. Alden memperhatikan Emily, mungkin memastikan gadis di depannya ini tidak mati. Alden mendapati beberapa lebam dan luka di wajah Emily. Setelah memastikan Emily hanya tertidur, Alden menjauhinya. Dia berdiri di seberang Emily. Tak lama beberapa murid masuk ke aula. Syra mencari-cari keberadaan Emily. Dia menemukan Emily yang tertidur di ujung ruangan.
"Em, bangunlah." Syra menepuk lengan Emily. Emily terbangun. Dia menatap Syra yang berdiri di depannya lalu menatap kesekitarnya. Sudah banyak siswa berkumpul disana. Beberapa orang menatapnya sambil berbisik. Emily dengan cepat berdiri dari duduknya.
*********
Seharian penuh Emily tidak bertemu Aera. Dia selalu menghindar dengan cepat. Emily berjalan cepat menuju asramanya saat dia menyelesaikan latihannya. Tidak ada Aera, latihan begitu damai. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya lalu mendorongnya. Emily jatuh dengan kasar di lantai. Celananya robek dan kakinya berdarah. Emily mendongakkan kepalanya.
"Kamu pikir bisa melarikan diri dariku? Menghindar dariku seharian?" Aera berjongkok di hadapan Emily. "Ayolah Emily, jangan terlalu naif. Mungkin aku tidak bertemu denganmu secara langsung, tapi mata dan telingaku ada di mana-mana. Kamu tidak akan bisa bersembunyi dariku."
"Apa sebenarnya maumu Aera?!"
"Kau tahu apa mauku dan aku selalu mendapatkan yang aku mau. Bawa dia." Aera berdiri dan kedua temannya membawa paksa Emily.
"Tidak! Cukup! Aku tidak mau lagi!"
Aera tertawa. "Lalu kamu akan meminta bantuan pada siapa? Bahkan siswa lain memberi tahukan dimana keberadaanmu. Syra? Aku rasa tidak. Guru? Oh ayolah, really? Sebaiknya kamu diam dan ikut saja."
Kedua teman Aera, Erin dan Kate, menggandeng Emily dan menariknya pergi. Ya, Emily tahu. Tidak akan ada yang menolongnya. Mereka bahkan berpapasan dengan beberapa siswa. Mereka sama sekali tidak menolongnya. Hanya menatap sambil berbisik. Mereka menuju lumbung yang di dalamnya ada beberapa kuda. Kuda-kuda itu baru saja datang, sementara kandangnya belum jadi. Jadi sementara kuda-kuda itu berada di lumbung.
Kate dan Erin mendorong keras tubuh Emily setelah mereka di dalam lumbung. Emily terjatuh dengan keras. Dia meringis kesakitan. Aera mendatanginya lalu menjambak rambutnya. Aera menampar wajah Emily berulang kali sambil menjambak rambutnya. Setelah puas, Aera berdiri dan menatap Emily.
"Semakin kamu menolak, semakin keras yang kamu dapatkan. Ahh iya! Aku akan dengan senang hati melakukan semua itu padamu. Ini menyenangkan, kau tahu?" Aera tertawa begitu pula Erin dan Kate. Emily kembali meneteskan air matanya. Area mengintruksikan kedua temannya untuk pergi. Tak lama Erin dan Kate kembali lagi. Masing-masing membawa satu ember. Emily menyeret tubuhnya yang masih duduk di lantai untuk mundur perlahan. Dia tahu apa isi kedua ember itu. Terakhir kali dia di siram oleh kotoran, dia harus mandi berjam-jam.
"Kamu pikir bisa lari? Siram dia."
Erin yang pertama menyiramnya dengan kotoran. Lalu Kate menyiram dengan ember yang kedua. Kate berjalan keluar lumbung lagi.
"Ugghh... Baunya." keluh Erin.
"Itu adalah bau dia yang sebenarnya. Bau busuk!" Aera dan Erin tertawa. Kate kembali lagi dengan satu ember lagi. Kali ini isinya hanya air biasa. Kate memberikan ember itu pada Aera.
"Aku akan berbaik hati memberikanmu air untuk membilasnya." Aera mencelupkan ujung jari telunjuknya ke dalam ember. Air itu berubah menjadi sangat dingin dan hampir membeku. Aera menyiramkan air itu pada Emily. Emily berteriak. Dia terkejut betapa dinginnya air itu.
"Bagaimana? Aku baik kan? Ayo kita pergi!"
Aera dan kedua temannya pergi dari lumbung dan menutup pintunya lalu mengunci lumbung itu.
"Aera! Tidak! Aku mohon jangan mengunci pintunya. Aera!"
"Selamat tinggal pecundang Nemuen... Sampai jumpa besok pagi..."
Aera dan kedua temannya tertawa lalu pergi dari sana.
"Tidak! Aera! Aku mohon... Aera!!"
Emily menggedor pintu dan memanggil Emily berkali-kali. Sebentar lagi absen malam dan dia harus mengikutinya. Emily menangis. Dia menyerah, tidak menggedor pintu lagi. Dia hanya terduduk dan bersandar di pintu lumbung.
Emily duduk berjam-jam di sana. Hari sudah gelap. Tidak ada penerangan selain cahaya bulan yang masuk melalui celah lumbung. Setidaknya dia tidak sendirian, ada kuda-kuda menemaninya, itu yang terus Emily ucapkan dalam hati. Sudah berjam-jam tapi Emily masih menggigil. Dia berdiri dan berjalan ke tumpukan jerami. Emily menjadikan jerami kasur, bantal bahkan selimutnya. Sepertinya dia mulai demam. Tubuhnya terus menggigil
"Emily..." suara bisikan terdengar. Emily yang mendengarnya langsung duduk.
"Emily...." suara itu terdengar lagi. Emily menatap sekitar. Emily bukan orang yang penakut tapi dia disini sendirian, sementara siswa lainnya ada di kastil yang letaknya agak jauh. Apa mungkin..
"Emily!" kali ini suara itu terdengar jelas dan keras. Emily berjalan menuju arah suara, pintu lumbung.
"Siapa itu?" Emily memberanikan diri bertanya. "Syra?"
"Bukan. Aku Rosie." jawab orang di luar lumbung. Emily mengerutkan keningnya. Dia tidak memiliki teman yang bernama Rosie dan si Rosie ini mengetahui namanya. Di akademi dia terkenal dengan sebutan pecundang Nemuen. Mereka tidak mengetahui nama Emily.
"Rosie? Rosie siapa?"
"Aku... Budak Aera, sebelum kau." kata gadis bernama Rosie itu.
"Ahh.. Yang waktu itu di tumpah sup?"
"Benar. Gadis sup."
"Sedang apa kamu disini? Ba-bagaimana kamu tahu aku ada disini?"
"Temanmu Syra mencarimu kemana-mana sedari tadi sore. Dia sama sekali tidak bisa menemukanmu. Aku pikir jika kamu tidak bisa di temukan, berarti kau ada disini."
Emily mengerutkan keningnya. "Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Karena aku pernah merasakan terkunci di dalam."
"Ahh..."
"Sendirian. Hanya ditemani jerami dan cahaya bulan. Kamu pasti kesepian " lanjut Rosie.
"Well tidak juga. Setidaknya disini ada beberapa kuda menemaniku." Emily tertawa kecil.
"Kau beruntung sekali. Waktu aku disana tidak ada kuda sama sekali. Aku benar-benar ketakutan dan hampir gila."
"Pasti sulit."
"Begitulah. Emily, aku minta maaf aku tidak bisa membuka pintu lumbung ini. Gemboknya menggunakan gembok pemilik, artinya hanya pemiliknya saja yang bisa membukanya."
"Tidak masalah, aku mengerti."
Mereka terdiam sejenak dengan pikiran mereka masing-masing.
"Kembalilah ke asrama. Sebelum mereka tahu kamu menghilang. Aku tidak apa-apa." kata Emily.
"Baiklah. Tapi Emily, apa aku bisa memberimu saran?" tanya Rosie.
"Tentu."
"Sebaiknya kamu menjadi budaknya Aera saja, sesuai keinginannya. Maaf jika aku berkata seperti itu, tapi setidaknya menjadi budaknya tidak akan terlalu menyiksamu." kata Rosie.
"Bagaimana tidak terlalu menyiksa jika mereka menyiksa, menginjak-injak dan berbuat seenaknya?!" Emily sedikit kesal dengan saran Rosie.
"Tapi setidaknya kamu bisa masuk kelas akademi."
"Apa maksudmu?"
"Aera memang jahat dan suka bersikap buruk. Dia selalu ingin keinginannya terpenuhi. Aku selalu memoles sepatunya, mencuci bajunya, mengasah pedangnya, membawa barangnya dan banyak hal lagi. Tapi Aera selalu membiarkanku mengikuti kelas pelatihan. Aku tidak pernah bolos seharipun. Meskipun aku sering datang terlambat karena harus mengantar barang-barang Aera, tapi aku selalu masuk. Jika pekerjaan yang di berikan Aera selesai sebelum jam enam, dia akan membiarkan aku pergi. Aku bahkan bisa berlatih. Mungkin menjadi budaknya terlihat buruk, tapi aku baik-baik saja. Dari pada menentangnya dan berakhir menjadi seperti ini. Aku minta maaf atas saranku. Aku pergi." Rosie beranjak pergi dari sana.
"Rosie?" panggil Emily. Rosie menghentikan langkahnya dan berbalik. "Tolong sampaikan kepada Syra, teman sekamarku, bahwa aku baik-baik saja disini. Jangan mengkhawatirkanku. Terima kasih Rosie."
Rosie mengangguk yang tentu saja Emily tidak bisa mendengarnya. Rosie kembali berbalik dan berlari menuju asrama. Emily duduk di depan pintu. Dia memikirkan apa yang di katakan Rosie. Awalnya dia mendengar dia begitu kesal dengan Rosie tapi setelah mendengar penjelasannya, justru dia tergoda. Jika dia bisa mengikuti kelas bahkan bisa berlatih, kenapa tidak? Mungkin Emily tidak suka belajar sihir sewaktu di Nemuen, tapi dia pandai mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sedari kecil Emily sudah membantu ibunya. Mungkin saja itu bisa membantunya. Tapi Emily kadang masih ragu apa itu keputusan yang terbaik. Ya, dia masih memiliki sisa harga diri di dalam dirinya yang menolak. Tapi di sisi lain, Emily siap mematikan harga dirinya.
********
Terdengar bunyi ribut di luar. Emily terbangun dari tidurnya. Rencananya Emily enggan tidur tapi akhirnya dia ketiduran semalam. Tubuhnya terlalu lemas dan kepalanya sakit. Emily menggosok matanya. Dia mencoba mendengar suara ribut itu di luar. Apa mungkin Aera akan membuka pintu lumbung itu? Emily berdiri dengan sisa tenaga di tubuhnya. Dia masih lemas. Dia berjalan mendekat.
"Nona Boirden, apa kau di dalam?" tanya satu orang dari luar. Emily terkejut. Dia seperti mengenal suara itu, tapi yang jelas bukan suara Aera. "Nona Boirden?"
"Y-ya... Saya di dalam." sahut Emily dengan suara serak.
"Menjauhlah dari pintu." kata wanita itu lagi. Emily menurut. Dia berdiri agak jauh dari pintu.
Darr!!
Tiba-tiba terdengar suara ledakan dari pintu lumbung. Emily terkejut. Asap memenuhi lumbung. Di balik asap, dia melihat sosok yang dia kenal, ibu Celine Kim. Ibu Kim yang mendapati Emily segera mendatangi. Ibu Kim menutup hidungnya saat dia berdiri di depan Emily.
"Apa kamu baik-baik saja nona Boirden?" tanya ibu Kim. Dia menatap Emily dari atas sampai bawah.
"Sa-saya--"
"Itu terlihat sangat tidak baik." ibu Kim menunjuk pakaian Emily yang kotor. "Dan baumu... Ughh... perlu di sikat dengan kuat dan sangat lama."
Emily mengendus bau tubuhnya sendiri. Mungkin karena terbiasa dengan baunya, hidungnya menjadi kebas. Ibu menoleh dan menatap kedua orang dibelakangnya.
"Bawa Emily dan mandikan dia." kata ibu Kim.
"Tapi... Tapi saya bisa mandi sendiri bu."
"Oh ya tentu. Aku tahu hal itu. Tapi aku yakinkan kamu butuh bantuan untuk kotoran sebanyak itu. Very well, cepatlah pergi."
Emily berjalan di temani kedua orang tadi disisinya. Belum keluar lumbung, dia berhenti dan berbalik.
"Maaf ibu Kim. Tapi.... Bagaimana anda tahu saya berada disini?"
"Temanmu, nona Adeira, memberitahukanku. Dia mencarimu semalaman dan mengetahui kamu berada disini. Dia lalu memberitahukanku."
Emily mengangguk lalu berbalik dan pergi. Ibu Kim mengibaskan tangannya di depan hidungnya. Bau dari kotoran yang ada di tubuh Emily masih tercium. Dia lalu segera pergi.
************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments