"Ar... Arya!" teriak Bima memanggil kakaknya hanya nama.
Bima memang terbiasa menyebut Arya hanya nama saja karena merasa mereka itu sama. Tidak ada yang harus diperlakukan sebagai anak pertama maupun kedua. Toh mereka berdua lahir hanya dengan perbedaan waktu beberapa menit saja.
Dengan tubuh basah penuh peluh Bima memasuki ruang keluarga sambil menenteng bola bundar berwarna orannye di tangan kirinya.
Karena hari ini adalah hari minggu, Bima melatih skill kemampuan basketnya di halaman belakang rumah.
Semenjak terakhir kalinya tanding basket di Jakarta beberapa bulan lalu dengan tim basket SMU Gemilang, baru hari ini Bima menyentuh bola bundar itu di rumah. Entah mengapa kesibukan sekolahnya menyita banyak waktunya untuk sekedar menyapa benda bundar oranye tersebut.
Baik Bima maupun Arya sama sama mengabaikan benda oranye yang menjadi rebutan di tengah lapangan basket tersebut.
Dan mungkin karena hal itu, benda bundar berwarna oranye itu seakan marah kepada pemiliknya. Baru saja setengah permainan, bola oranye itu mengempis dengan sendirinya.
Mau tak mau Bima menghentikan permainannya. Dia pun mencari cari alat yang berupa jarum kecil untuk memasukkan udara ke dalamnya.
Bima melangkahkan kaki menuju kotak besar yang menjadi tempatnya menyimpan peralatan basket. Bima mengeluarkan pompa peniup udara dari dalam sana. Kemudian tangan kekarnya mengaduk aduk dalam kotak yang terbuat dari kayu itu dengan tidak sabar. Karena jarum ****** yang menjadi penghubung masuknya udara dari pompa ke bola basket tidak juga ditemukan oleh Bima.
"Ngapain sih lo teriak teriak dalem rumah?" Arya melayangkan tatapan kesal pada Bima. Bagaimana tidak kesal jika teriakan Bima sangatlah kencang hingga membuat gendang telinga Arya seakan mau pecah. Dan lagi teriakan kencang tiba tiba itu mengganggu konsentrasi Arya bermain uno balok. Arya terkejut dan tangannya refleks menyenggol balok uno.
Di dalam rumah Arya dan Bima memang sering melakukan pertengkaran pertengkaran kecil yang membuat suasana rumah besar mereka menjadi rame. Keduanya sama sama sama suka mengganggu.
Berbeda jika di luar rumah, keduanya terlihat seperti kakak adik yang akur dan sok cool. Jika Arya lebih cerewet maka Bima menampakkan dirinya yang tak banyak bicara dan terkesan angkuh.
Jika Arya adalah sosok yang tidak peduli dan bisa dikatakan kurang memiliki empati. Bima sebaliknya. Meski Bima terlihat diam, cuek dan angkuh, namun memiliki empati yang cukup tinggi.
"Lo liat jarum pompa bola nggak?" tanya Bima pada sang kakak dengan cengengesan saat mendapati balik uno warna warni itu jatuh berantakan di depan Arya. Bima telah menurunkan intonasi suaranya.
"Di boxnya lah." Arya dengan membuat balok uno makin berantakan lalu meninggalkannya begitu saja.
"Widih ngambek." ejek Bima tak ambil pusing.
Bima meraih ponsel pintarnya yang tergeletak di atas meja tak jauh dengan uno balok Arya yang telah berantakan. Kemudian mendudukkan bobot tubuhnya di atas sofa ruang keluarga.
Segera membuka aplikasi google untuk mencari toko yang menyediakan peralatan basket. Bermaksud untuk membeli jarum pompa pengisi angin untuk bola basketnya.
Bima memang lebih suka menyalurkan emosi dan menghindari kejenuhan dengan memainkan bola bundar berwarna oranye tersebut. Berbeda dengan Arya yang lebih pemakaian untuk bergerak. Arya lebih suka duduk lana di depan televisi ataupun memainkan ponsel pintarnya jika memiliki waktu luang. Pun mereka berbeda, keduanya sama sama jago dalam memasukkan bola bundar berwarna oranye tersebut ke dalam ring basket.
"Mandi dulu sono Bim, keringet lo bikin sofanya bauk tau." hardik Arya saat melihat sang adik duduk menyenderkan tubuh basahnya di atas sofa ruang keluarga yang terbungkus kain empuk. Sudah dapat dipastikan keringat Bima bakal terserap dan meninggalkan jejak bau di sana.
"Ck... bentar doang." Bima berdecak kesal.
"Diri nggak lo?" Arya dengan gertakan.
"Alah bentar Ar..." Bima masih saja duduk dengan nyaman.
Dugh
Arya menendang kaki Bima hingga membuat Bima menghentikan jarinya yang sedang menscrool toko penyedia alat basket yang terdekat dengan wilayah tinggalnya.
"Elo apaan sih Ar." Bima dengan melotot kesal.
"Berdiri atau gue siram lo sama kopi panas gue!" Arya dengan mengangkat gelas berisi kopi dengan kepulan asap yang membumbung. Sudah dapat dipastikan jika kopi di dalam gelas itu masih panas.
"Emang kursi ini milik lo, elo yang beli?" Bima mendengus kesal.
"Bau keringat lo itu jadi polusi buat hidung gue bimbim." Arya menyebut nama Bima dengan panggilan yang sangat dibencinya.
"Demi Tuhan, resek banget sih lo."
Mau tak mau Bima beranjak dari duduknya, tak lupa membawa ponsel pintarnya yang sempat tergeletak di atas sofa. Kemudian berjalan meninggalkan sofa.
"Auwww... anj*ng lo Bim!" teriak Arya dengan meringis karena saat Bima melewatinya dengan sengaja menyenggol tangan Arya yang sedang memegang kopi panas. Membuat kopi miliknya sedikit muncrat mengenai tubuh Arya.
"Naryandra! Abimana! Shut up yuor mouth!" Teriakan sang mami menggema dari arah dapur.
Bima pun berlalu dengan langkah santai memberikan tawa bahak yang menggema. Seolah mengejek sang kakak. Tak sedikitpun Bima menolehkan pandangan ke belakang, di mana Arya terlihat menyumpah serapahi Bima dengan kesal.
🌷🌷🌷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments