Bab. 03 - Takut Kegelapan

"Gimana kenalannya? Sukses?" Fahruz berjalan beriringan dengan Sonya saat pulang sekolah tiba.

Sambil memakan es krim yang dibelikan Fahruz untuknya karena tanggal tua, Sonya menjawab, "Agak tegang sedikit. Aku lelah karena terus bertengkar dengannya. Tapi, aku pikir dia jauh berbeda dari yang dikatakan orang-orang."

"Apa? Maksud kamu dia itu terlalu galak daripada jarang berbicara?"

Sonya terlihat ragu saat akan menjawabnya. Dia mengalihkan perhatiannya sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan jari telunjuknya.

"Nggak baik nggak buruk. Dia sama seperti yang lain. Aku pikir dia langsung mengatakan sumpah serapahnya padaku dan membuatku terdiam seribu bahasa. Tapi, ternyata nggak begitu juga. Aku lega setelah berbicara dengannya."

Melihat wajah Sonya tersenyum hangat seolah baru saja mendapatkan kebahagiaan, membuat Fahruz terpesona seolah Sonya dengan sengaja telah menancapkan panah di hatinya.

"Apa-apaan wajahmu itu? Aku sangat alergi! Bikin semua orang keracunan! Jangan-jangan kamu punya perasaan ke dia?" tanya Fahruz yang mempertahankan ekspresinya.

Sonya menatap Fahruz dengan bingung. "Memangnya kenapa? Aku bebas menyukai siapapun. Kenapa kamu bertanya? Aku heran sama sifatmu itu. Beragam warna bak pelangi, berliku-liku kayak sirkuit balapan yang banyak polisi tidurnya!"

"A- aku kan cuma tanya! Cuma tanya ke kamu! Kamunya aja yang terlalu percaya diri! Lagian, kamu juga belum tahu jelas sifat Aratha itu seperti apa." Fahruz sedikit keras.

Wajah Sonya melunak, tersenyum tulus sampai-sampai membuat Fahruz melebur karenanya. Fahruz tidak bisa menahan wajah memerahnya. Untungnya saat itu, Sonya tak sedang menatapnya.

"Iya, aku tahu Aratha orang baik. Lagian, Fahruz sudah ada di sini. Aku jadi merasa aman dan dicintai. Terima kasih untuk semuanya." Sonya berkata sambil menatap Fahruz dengan penuh arti.

...~o0o~...

Di saat semua orang sudah pulang sejak dua jam yang lalu, Aratha baru saja keluar dari ruangan klub drama ketika matahari sudah tenggelam. Aratha terlihat sangat kesal mengingat Sonya yang sudah membuatnya terjebak dalam situasi seperti ini. Apalagi cewek yang bernama Kinan itu terus memaksanya menghafalkan seluruh teks dialog yang sangat panjang. Kekesalannya ini semakin bertambah ketika dia mendengar kalau yang membuat naskahnya adalah Sonya.

Rasanya pengen nonjok.

"Cewek itu! Sudah membuatku mentraktir dirinya dan sekarang dia malah menjebloskanku dalam situasi yang merepotkan seperti ini! Lihat saja apa yang akan kulakukan padanya nanti! Dia pasti menyesal!" gerutu Aratha sembari berjalan meninggalkan koridor penuh dengan perasaan kesal dan jengkel.

Apa ini? Kenapa terlihat gelap?

Tatapan Aratha terlihat terkejut setelah menatap ke depan koridor yang tak memiliki lampu menyala. Dia menatap ke arah jendela dan menyadari kalau sebentar lagi, matahari akan kehilangan sinarnya dan kembali pada pagi berikutnya.

Aratha langsung berkeringat dingin, menjauhi bayangan kegelapan yang muncul di depannya. Dia terlihat ketakutan, terlebih lagi tak ada seorangpun yang berada di dekatnya. Cemas. Takut. Gelisah. Tidak aman. Pemandangan ini, membuatnya teringat pada masa lalu kelamnya. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan kematian Ibunya saat malam tiba.

...~o0o~...

"Oh, tidak. Ini bencana." ucap Sonya sembari membuka-buka isi tasnya dan membuatnya berantakan.

"Kenapa lagi? Ada masalah?" tanya Fahruz memperhatikan.

"Ponselku tertinggal di ruang klub. Aku harus mengambilnya untuk menghubungi Ayah." jawab Sonya sembari menutup tasnya kembali.

"Kamu pulang saja. Aku yang akan mengambilnya."

"Nggak usah. Aku akan mengambilnya sendiri. Lagian, aku sudah banyak merepotkanmu." ucap Sonya yang langsung berlari pergi kembali ke sekolah dengan terburu-buru.

"Aduh, di sana kan gelap. Dia yakin bisa sendirian?" gumam Fahruz sembari menatap punggung Sonya yang semakin menjauh sebelum akhirnya Fahruz berjalan berbalik.

Sonya begitu tergesa-gesa saat pergi kembali ke sekolah. Dia harus tahu kapan Ayahnya akan kembali. Terkadang, Ayahnya itu tidak pulang selama lima hari karena sibuk bekerja dan makanan yang sudah disiapkan Sonya untuknya harus terbuang.

Pemandangan sore menjemput malam terlihat cukup menyeramkan di sekolah sekaligus menjadi pemandangan sendu di jalanan. Namun, langit masih memancarkan cahaya merah indahnya untuk meredam kegelapan yang ada dimana-mana.

Tak ada seorangpun yang berdiri di koridor kelas saat Sonya berlari di sana. Hanya beberapa lampu saja yang menyala untuk menerangi koridor. Setelah menaiki anak tangga, Sonya akhirnya sampai ke sebuah ruangan.

Di antara semua ruangan yang ada di sini, hanya ruangan klub drama yang selalu terlihat menyeramkan. Ruangan itu dipenuhi dengan properti dan kain putih panjang yang belum dijahit. Selain itu, juga ada sebuah piano yang katanya selalu berdentang sendiri saat malam.

"Akhirnya ketemu." Sonya terlihat senang ketika dia berhasil menemukan ponselnya yang berada di laci salah satu meja.

Baru saja Sonya melangkah keluar ruangan, dia mendengar suara nafas yang terdengar sesak seperti sedang panik. Sonya sama sekali tak berpikir tentang keberadaan hantu atau makhluk astral manapun. Dia langsung berjalan mengikuti arah suara dan suara itu mengarahkannya pada ruang musik yang berjarak tiga kelas dari ruang klub drama.

"Ada seseorang yang belum pulang? Apakah ini semacam bullying?! Waduh! Bisa gawat nantinya! Sekolah ini bakalan masuk tv dan dicap buruk sama pemerintah!" batin Sonya. Pikiran buruknya ini selalu kumat setiap kali dia menemukan hal yang janggal.

Sonya berjalan memasuki ruangan gelap itu dan memperhatikannya selama beberapa saat. Hanya ada beberapa benda yang bisa dilihat olehnya. Jendela ruangan juga masih terbuka sehingga memungkinkan angin berhembus masuk. Lagi-lagi suara nafasnya masih terdengar sangat jelas di telinganya. Semakin dia mengikutinya, semakin gelap juga ruangan yang dilewatinya.

Sonya berhenti di depan sebuah lemari coklat karena sepertinya suara ini berasal dari dalam sini. Dengan hati-hati dan sedikit ragu, Sonya membuka lemarinya perlahan. Benar saja dengan apa yang dirasakannya saat ini. Dia melihat Aratha, sedang meringkuk di atas kedua lututnya. Aratha terlihat sangat ketakutan dan gemetaran. Keringatnya bahkan tidak berhenti mengalir dari atas kepalanya.

"Aratha?"

Dengan cepat, Aratha langsung mengangkat kepalanya, menatap Sonya dengan penuh ketakutan. Sosoknya jauh berbeda dengan Aratha di siang hari yang dingin dan tegas. Sekarang ini, dia lebih terlihat seperti anak kecil yang takut akan kehilangan arah.

Sonya berjongkok di depan Aratha. Dia tidak begitu tahu apa yang harus dilakukannya saat menghadapi seseorang yang mengalami ketakutan berlebih.

"Jangan takut. Aku ada di sini. Kamu nggak akan sendirian lagi." Sonya tersenyum sembari memegang tangan Aratha yang dingin dan gemetar dengan lembut.

Saat Aratha terlihat jauh lebih tenang, Sonya mencoba menggandeng tangannya keluar dari ruangan gelap. Rasanya akan sulit baginya untuk menyelesaikan masalah ini karena, di luar sana pemandangan gelap juga terjadi.

"Kalau saja aku bisa mengendarai motor atau memiliki mobil, mestinya aku bisa mengantarkan Aratha sampai rumah dengan cepat. Rasanya seperti memegang tangan mayat saja." pikir Sonya, menatap langit-langit ruangan.

Ketika keduanya telah sampai di luar sekolah dan Aratha masih terlihat ketakutan. Sonya semakin khawatir. Dia tidak tahu bagaimana lagi sementara langit semakin gelap. Dia takut Aratha tidak bisa diajak bicara dalam ketakutannya dan memilih untuk lari tanpa arah meninggalkannya.

"Aratha, dimana rumah kamu? Aku akan mengantarkanmu pulang." tanya Sonya.

Aratha tetap diam menunduk sembari memejamkan matanya. Mulanya Sonya tidak tahu kalau Aratha sangat takut dengan kegelapan. Jika saja dia tahu lebih awal, mungkin dia akan meminta Kinan untuk tidak berlatih sampai malam.

"Habislah sudah. Aku nggak mungkin ngajak dia pulang ke rumahku. Bisa gawat karena tetangga sebelahku tukang gosip." batin Sonya, berpikir keras sampai dia bisa merasakan asap keluar dari kepalanya.

Suara motor besar terdengar semakin dekat. Sonya merasa familiar dengan suara motor ini. Dia pun langsung menatap ke depan dan memperhatikan sosok cowok yang mengendarainya dengan memakai helm berwarna putih senada dengan motor dan jaketnya.

"Sonya! Kamu bilang cuma mengambil ponsel. Kenapa sampai selama ini?" ucap cowok itu. Dia berhenti di depan Sonya dan Aratha lalu membuka kaca helmnya.

"Fahruz! Kebetulan banget! Makasih udah datang." ucap Sonya begitu antusias dan sangat senang sampai terharu.

"Kamu ngapain lama-lama di sekolah? Sudah malam begini. Lagian, dia juga kenapa? Lagi kesurupan?" tanya Fahruz sembari menunjuk ke arah Aratha yang terlihat ketakutan.

"Tanyanya nanti saja! Kamu cepetan bawa dia pulang! Tanyakan dimana rumahnya! Aku nggak bisa bawa dia sambil jalan kaki." ucap Sonya, tegas.

"Eh? Apa-apaan ini? Kamunya gimana? Memangnya aku tega ninggalin kamu sendirian di sini?" tanya Fahruz.

Sonya langsung menjawab, "Gampang! Aku bisa pulang sendiri. Sekarang, kamu cepetan bawa dia pulang!" jawabnya sembari mendorong Aratha dan membantunya menaiki motor.

"Iya, aku anterin. Tapi, kamu tunggu di sini. Aku tetap akan mengantarmu pulang." ucap Fahruz pada Sonya sebelum akhirnya dia melajukan motornya dengan cepat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!