Menggendong tasnya di punggung, cukup berat karena membawa banyak buku sekaligus beberapa dokumen untuk presentasi hari ini. Entah mengapa sekarang adalah waktunya untuk terus belajar tanpa henti.
Hana menuruni anak tangga dan ia melihat anggota keluarga yang lainnya tengah sarapan bersama. Hana hendak berjalan ke sana. Namun, terhenti ketika ia menyadari suatu hal di mana ia tidak pernah di anggap di sana.
Langkah gadis itu menjadi pelan dan langsung keluar dari rumah tanpa berpamitan sama sekali. Tidak melakukan apa pun, ia tetap tidak akan pernah di lihat sebagai anggota keluarga. Di anggap apa Hana di sana? Beban, itu yang pernah ayahnya katakan kepadanya.
Beban yang seharusnya memberikan sebuah bayaran yang sepadan dengan segala yang diberikan kepada Hana. Gadis itu selalu berpikir lebih, yang seharusnya anak seusianya yang bermain bersama teman-teman justru habis dengan masa remaja yang hanya berada di dalam rumah dan menatap buku sepanjang hari.
Dimas yang berada di meja makan hanya diam, menyadari jika ada yang kurang. Melihat ke segala arah, tidak menemukan tanda-tanda akan kehadiran adik perempuannya.
"Cari apa kak?" Tanya bundanya secara tiba-tiba kepadanya. Membuat Dimas seketika menatap ke arah bundanya yang tengah tersenyum ke arahnya.
"Hana belum turun?" Senyumannya itu yang berawal sangat antusias menjadi memudar berganti dengan wajahnya gusar dan malas. Tentu saja Dimas bertanya-tanya akan itu.
"Tidak tahu, tidak perlu urusi anak itu. Lagi pula Anna juga ada di sini, kenapa kamu tidak tanyain Anna sana?"
"Anna juga di sini, ngapain di tanyain. Aku mau berangkat dulu."
"Dimas, yang sopan. Ini meja makan." Ucap ayahnya penuh nada menuntut, dia hanya tidak suka dengan kelakuan Dimas yang lebih memperhatikan Hana dari pada Anna yang jelas Anna juga adik perempuan Dimas juga.
"Hanya meja makan, bukan meja sidang. Aku berangkat."
"DIMAS!" Dimas tanpa mengatakan apa pun, mengambil bekal makan yang dia siapkan sendiri dan kemudian pergi begitu saja.
Sedangkan pria paruh baya itu yang menatap penuh amarah ke arah Dimas, anak laki-lakinya yang begitu keras kepala itu. Tidak bisa di tebak bagaimana isi kepala Dimas, anak itu sulit di tebak.
"Sudah ayah, jangan seperti itu nanti darah tinggi."
"Anak itu memang benar-benar." Sedangkan Anna menatap kepergian Dimas yang mengabaikan dirinya begitu saja membuatnya kesal. Bukan kesal kepada Dimas, lebih tepatnya kesal kepada Hana.
"Selalu saja Hana, Hana, dan Hana. Kakak tidak pernah perduli kepadaku. Hana sialan, lihat saja akan aku buat kau menderita seumur hidup."
Di sisi lain, Dimas berlari keluar rumah dan memanggil nama adik perempuannya beberapa kali sampai ia menemukannya. Hana menoleh ke arah Dimas, ia bertanya-tanya kepada Dimas berlari seperti itu dan memanggil namanya.
"Ada apa kak?" Dimas tersenyum dan menarik tas Hana. Memasukkan bekal itu ke dalam tas berwarna hitam itu, tidak lupa air minum juga dia masukkan.
Hana yang melihat itu hanya tersenyum, kakaknya memang begitu perhatian kepadanya. Menganggap jika Dimas adalah ayah sekaligus ibu baginya, kedua kasih sayang yang tidak pernah Hana rasakan selama ini. Hanya kebencian yang Hana terima.
Dimas menata rambut adiknya itu agar terlihat rapih, adiknya memang cantik. Tidak salah lagi kalau Hana adalah adiknya yang sebenarnya, cantik dan manis. Bahkan semua teman-temannya mengakui akan kecantikan Hana yang begitu khas. Bentuk mata yang begitu indah, sama seperti matanya.
"Berangkatnya bareng sama kakak saja, kalau naik angkutan kakak takut kamu kenapa-napa." Hana awalnya mengangguk mengiyakan tawaran Dimas. Tapi ada seseorang yang berlari ke arah mereka berdua.
"Tidak! Kakak harus bersama aku, kak Dimas antar aku sekolah ya?" Dimas seketika menatap, ia menjadi muak dengan sandiwara ini. Jika saja kriminal diperbolehkan maka Dimas akan membunuh Anna saja.
"Kau punya mobil sendiri, digunakan. Hana tidak punya kendaraan untuk berangkat sekolah, mandiri sesekali. Jangan manja, tar gede melarat."
"Kakak! Ayo sama Anna saja. Anna maunya sama kak Dimas." Anna menarik-narik baju Dimas, membuat lelaki itu reflek menepis tangan Anna dengan kasar. Ia risih jika diperlakukan seperti itu.
"Dimas! Jangan kasar sama Anna. Berangkat bareng Anna saja apa susahnya sih? Biarkan Hana naik angkutan umum saja, manja sekali. " Hana hanya menunduk dan kemudian berjalan keluar area rumah jalan kaki.
Dimas hendak mengejar adiknya itu tapi di tahan oleh Anna yang terus merengek seperti bayi. Dimas muak, di tambah tatapan membunuh itu seolah menuntutnya melakukan sesuatu dan harus di turuti. Berakhir Dimas berangkat bersama Anna dengan penuh perasaan terpaksa.
Ia terus memikirkan Hana yang naik angkutan umum. Dimas sengaja mengikuti Hana, lewat angkutan umum yang biasanya Hana naiki. Dimas hanya memastikan jika Hana baik-baik saja sampai sekolah.
Merasa memang ada yang aneh, Anna mulai menggerutu. Dia tidak suka jika hanya Hana yang dipikirkan oleh Dimas. Anna juga mau menjadi prioritas Dimas, dia juga adiknya Dimas juga bukan hanya Hana.
"Kakak cepat! Nanti Anna telat!"
"Bacot! Masih bagus tidak aku tendang dari motor." Anna pun terdiam, ia tidak terima. Kenapa harus Hana? Harusnya dirinya yang merasakan kasih sayang dari Dimas. Secara Anna itu adalah anak kesayangan keluarga dari pada Hana yang selalu dikucilkan.
Tidak membuang waktu lama, akhirnya sampai di sekolah. Anna turun dari mobil Dimas, dan Dimas pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi selain wajah malasnya yang selalu ditunjukan sepanjang perjalanan.
Anna masuk ke area sekolah dan di sambut teman-temannya. Gadis itu tersenyum berakhir bergabung dengan mereka seperti biasanya. Sampai netra hitamnya menemukan Hana yang baru saja sampai di sekolah.
Penampilan Hana memang tidak ada yang salah, tapi wajah itu membuat Anna merasa marah. Sampai sebuah ide buruk muncul di kepalanya dan kemudian memberi tau semua temannya untuk melakukan sesuatu.
Hana sampai di kelas dan masuk, tanpa ia sadari jika di atas lantai ada sabun cair yang tentu saja akan membuatnya tergelincir dan berakhir jatuh di atas lantai. Di susul sampah yang mengguyur di sekujur tubuhnya. Hana hanya diam, mematung di tempat.
"HAHAHAHA! LIHAT DIA! SEPERTI SAMPAH MASYARAKAT YANG TERBUANG!" Suara Anna yang begitu keras berhasil menerobos pendengaran Hana.
Gadis itu hanya diam, dan berbicara di dalam hati. Kenapa seperti ini? Hana mendongak, menatap ke segala arah di mana semua orang menatapnya dengan tatapan yang berbeda, ada yang menatapnya kasihan dan juga benci. Memang apa salah Hana? Hana bahkan tidak pernah melakukan apa pun.
Dan satu orang menatap ke arah Hana dengan tatapan tajam yang membuat Hana seketika menunduk takut. Ia tidak bisa menatap mata lelaki itu, Hana tidak sanggup.
"Hey! Sampah seharusnya tidak di sini."
"Benar!"
"Kau itu lebih pantas memulung di tong sampah!"
"Mengenaskan sekali hidupnya itu."
Hana hanya diam saja, gadis itu mulai berdiri dan keluar dari kelas dengan perasaan campur aduk. Semua orang menertawakannya dan bahkan mengejeknya dengan kata-kata yang seharusnya tidak Hana dengar.
Sedangkan di posisi lain. Anna tersenyum senang, melipat kedua tangannya tepat di depan dadanya dan menatap saudaranya sendiri dengan tatapan penuh dendam.
"Rasakan itu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Yanti Yulianti
Ya Allah....ada ya sodara macam Anna..
2022-11-05
2