Hana baru saja pulang dari rumah, dan ia sudah disambut dengan tatapan tajam oleh ayahnya yang duduk di sofa ruang tamu. Menatapnya dengan tatapan membunuh, seolah pria itu akan benar-benar akan membunuh Hana sekarang juga.
"Dari mana saja kamu?" Hana tidak berani menatap balik, gadis itu hanya menunduk penuh perasaan takut.
"Hana ada kerja kelom-"
"Berani bohong kamu rupanya, sudah berani kamu hm?" Pria itu berdiri membawa kayu rotan di tangannya membuat Hana semakin ketakutan. Gadis itu mencoba berlari melarikan diri. Namun, seolah badannya mendadak membeku di tempat.
Sedangkan Anna menatap penuh antusias, ia bahkan tidak ada sama sekali inisiatif menolong saudaranya sendiri. Coba siapa yang mengadu tentang pekerjaan Hana di cafe, tentu saja Anna pelaku utamanya.
Suara pukulan keras dari rotan dan permukaan kulit terdengar keras. Dimas yang berada di dalam kamar langsung berlari keluar kamar, tapi sayang sekali. Mamanya menguncinya dari luar membuatnya tidak bisa keluar dari kamar untuk menyelamatkan Hana.
"KAMU INI SUDAH JADI ANAK TIDAK BERGUNA DAN SEKARANG KAMU MEMPERMALUKAN KELUARGA DENGAN BEKERJA DI CAFE KECIL SEPERTI ITU?! DAN KAMU JUGA MENYIRAM ANNA DENGAN KOPI PANAS?! SUDAH BERANI KAMU HANA!" Hana meringkuk di atas lantai dengan menerima pukulan keras yang ada.
Gadis itu hanya diam, menangis terdiam melindungi badannya sendiri yang sudah terasa sakit. Semua menyakitkan, Hana tidak bisa menerima semua ini terus-terusan. Hana juga punya kesabaran tapi ia sadar tidak punya siapa pun, dan jangankan seseorang, rumah pun Hana tidak punya.
Hana sedikit melirik ke arah Anna yang menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan. Anna yang menyiramnya bukan Hana, lantas siapa yang salah? Mau dijelaskan juga tidak akan ada yang percaya. Permukaan kulit yang masih perih karena air panas membuat badannya rasanya mati rasa.
"Ampun ayah, ampun hiks hiks." Tidak bisa bertindak lebih. Dimas mendobrak pintu kamarnya berulang kali berusaha meloloskan diri, suara pecutan itu membuatnya nyeri setengah mati.
"AYAH CUKUP! LEPASIN HANA AYAH!"
"DIAM KAU DIMAS! KAU JUGA SELALU MEMBELANYA! INI AKIBAT KARENA KAU SELALU MEMBELANYA TERUS!"
Pukulan demi pukulan yang Hana terima seakan tidak bisa dihentikan. Hana hanya diam, menangis merasakan kesakitan. Bukan sebuah rasa sakit di tubuhnya melainkan sakit di dalam hatinya semakin membesar.
"Ampun ayah hiks hiks." Pria itu akhirnya berhenti dengan nafas tidak beraturan, ia melemparkan rotan tepat di kepala Hana dan kemudian pergi begitu saja.
Tidak ada yang bisa menolong Hana, seperti biasa gadis itu akan menerima semua tidak keadilan itu sendirian. Dimas menangis dan terus mendobrak pintu kamarnya sampai pada akhirnya terbuka.
Lelaki itu langsung berlari menuruni tangga dan menarik Hana masuk kepelukannya. Sedangkan Anna masih terdiam memasang wajah memelas di depan Dimas agar dikasihani, tapi sepertinya tidak akan bisa karena dia sudah tau semuanya.
"Simpan wajah menyedihkan mu itu, aku muak dengan wajah sampah mu itu." Dimas menatap ke arah Anna dengan tatapan tajam dan mengangkat Hana kemudian membawa adiknya itu pergi dari sana.
Sedangkan Anna menggerutu kesal, ia tidak suka jika Dimas mengabaikan dirinya. Tidak ada yang boleh mengabaikan dirinya, tidak boleh. Anna pergi dari sana dengan perasaan kesalnya karena sikap Dimas kepadanya.
Dan Dimas yang menggendong Hana dengan perlahan. Ingin rasanya Dimas berteriak kencang dan membunuh semua orang yang berani menyakiti adik kesayangannya ini. Wajah penuh luka itu membuat Dimas semakin kerasa bersalah.
"Maaf, kakak telat lagi." Hana tidak membuka matanya dan hanya diam saja. Air matanya terus menetes membuat Dimas tidak bisa menahan tangisan pilunya.
•••
Johan menatap layar ponselnya, ia tidak bisa berkata-kata. Ada sebuah perasaan ingin membawa gadis itu pergi sejauh mungkin, membuat tragedi agar semua orang menyesal seumur hidup. Mungkin gadis itu tidak akan rega melihat seseorang merasa sedih, tapi apakah Johan perduli akan itu? Tentu saja tidak akan pernah.
"Aku berusaha untuk melindungimu, Hana. Aku akan terus berusaha."
•••
Johan memasuki gerbang sekolah dan ia sudah mendapatkan pemandangan tidak enak dipandang. Lelaki itu lantas semakin mempercepat laju motornya dan nyaris saja menabrak salah satu siswi yang sibuk mengerjai siswi lainnya.
"Apaan sih?! Eh, Johan?" Johan tetap di sana tanpa menjawab apa pun. Ia menambah suara motornya semakin kencang.
"Pergi atau ku tabrak kalian satu persatu." Ucapnya dengan suara berat dan singkat, para siswi itu lantas pergi dengan perasaan terpaksa dan menatap ke arah Hana dengan tatapan penuh kebencian. Sedangkan Hana masih menunduk, gadis itu mengambil buku-bukunya yang terjatuh di tanah.
Johan tidak berminat membantu. Dia langsung pergi begitu saja meninggalkan Hana berada di sana. Hana tau akan kepergian Johan, ia menoleh kemana Johan pergi dan tersenyum tipis.
Melanjutkan perjalanannya menuju kelas. Wajahnya masih lumayan penuh dengan luka, badannya rasanya seperti akan hancur setelah kejadian semalam. Namun, berkat Dimas yang mengobatinya semua luka tidak sesakit di awalan.
Johan meletakkan helmnya dan kemudian berjalan memasuki area gedung sekolahan. Tidak ada yang menganggu Hana, bagus lah. Beberapa pertanyaan yang terus melayang di kepala Johan seharian ini. Begitu banyak kejadian beberapa hari lalu yang membuatnya terkadang sulit mempertimbangkan sebuah tindakan.
Masih bagus jika Johan masih menggunakan pemikiran yang tenang, berpikir dengan kepala dingin tanpa ada unsur terburu-buru. Itu sebuah ketenangan yang harus dipertahankan.
Menatap ke depan, melihat punggung mungil itu yang berjalan semakin menjauh darinya membuatnya banyak pikiran. Gadis itu harus selalu di awasi agar tidak ada kejadian buruk kembali menimpa, terkadang Johan mengawasi pun masih ada saja yang terjadi.
'Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Tidak mungkin jika aku terlalu terang-terangan.'
Johan menggelengkan kepalanya dan masuk ke dalam lift untuk pergi ke lantai tiga, tepat di mana kelasnya berada.
Di sisi lain banyak yang membicarakan Hana perihal kejadian tadi. Perihal di mana Johan mendadak datang seolah akan menabrak siapa saja yang menganggu Hana. Entah itu penjelasan yang tepat atau tidak, pendapat orang berbeda-beda bukan.
Hana duduk di bangkunya. Baru saja duduk mejanya sudah di gebrak oleh seseorang. Dina, dia adalah pelakunya. Dan kali ini Hana tidak tau salahnya apa kenapa semua orang begitu membenci dirinya selama ini, tidak ada alasan atau memang ada alasan tertentu. Tapi Hana tidak pernah merasa melakukan kesalahan.
Hana bahkan jarang sekali berkomunikasi dengan siswa atau siswi di sekolah itu. Ia bahkan takut harus berbicara dengan orang lain selain Dimas, kakak kandungnya.
"Kau pasti menggoda Johan kan?" Hana tidak tau apa maksudnya, tapi gadis itu menggelengkan kepalanya. Tidak membenarkan apa yang Dina katakan.
"Halah bohong. Buktinya tadi Johan menolongnya, padahal dia sendiri yang salah. Sangat tidak masuk akal." Ucap teman Dina yang tapi pagi memang tengah merundung Hana, tapi terhalang karena Johan menghampiri.
"Aku tidak tahu-"
"HALAH! KAMU TUH YA MURAHAN BANGET! UDAH CUPU! KAMPUNGAN! SEKARANG MAU JADI ****** KAMU! ENYAH SAJA KAU!" Dina menjambak rambut Hana membuat gadis itu meringis kesakitan. Luka di kepalanya belum sembuh, bahkan masih terkesan basah.
"Ampun, jangan kayak gini."
"Penggoda seperti mu memang harus diberikan pelajaran yang setimpal." Anna yang baru datang bersama teman-temannya berhenti melangkah karena melihat Hana yang ternyata tengah di bully oleh kakak kelas.
Anna melipat kedua tangannya dan menatap ke arah kerusuhan itu. Dia tersenyum puas, begitu banyak yang membenci Hana yang tentu saja membuat mood hari ini menjadi naik.
"Kali ini apa yang dia lakukan?" Tanya Anna kepada salah satu teman satu kelasnya.
"Katanya sih dia goda Johan, anak IPA 1 kelas 11 itu." Anna tersenyum, memang dia tidak begitu yakin. Tapi dengan rumor itu mungkin akan jauh lebih banyak orang yang membenci Hana.
"Miris, sudah miskin di tambah menjadi ******."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments