Hana berlari ke toilet, dan masuk ke dalam toilet. Ia menahan diri agar tidak menangis, tidak bisa di duga kejadian ini akan terjadi lagi untuk sekian kalinya dan yang lebih membuatnya terluka adalah di mana semua itu adalah perlakuan dari saudaranya sendiri.
Salah apa Hana kepadanya? Hana bahkan selalu mengalah kepada Anna, apa yang dia mau Hana selalu menuruti tanpa terkecuali sama sekali. Tapi Hana sudah terlalu lama menahan perasaan sakit batinnya sendirian. Andaikan saja Dimas ada di sini, mungkin lelaki itu akan memeluknya sekarang.
Tetapi, tidak bisa. Hana juga selalu menutup mulutnya akan kejadian ini. Gadis itu tidak pernah mengadu akan apa yang Anna lakukan kepada dirinya. Ia menerima semuanya dengan lapang dada tanpa ada rasa mengeluh.
"Bagaimana sekarang? Aku bahkan malu hanya sekedar keluar toilet. Tapi aku tidak bisa meninggalkan pelajaran hari ini, ayah akan memarahiku lagi." Sedangkan di luar toilet ada seseorang yang menunggu. Bukan Anna atau pun siswa yang membullynya. Bukan mereka.
Melainkan seseorang yang bersandar di dinding, keadaan sekitar toilet memang sepi dan jarang orang yang lewat di sana. Dirinya hanya memastikan sesuatu, ia tau kejadian tadi pagi yang membuatnya tidak habis pikir.
Saudara macam apa yang selalu membuatnya saudara kandungnya sendiri hancur di depan semua orang? Tentu saja itu adalah Anna. Gadis itu tidak akan menyerah untuk menghancurkan hidup saudaranya sendiri, padahal apa yang dia mau selalu didapatkan.
Berbanding balik dengan Hana yang harus berusaha ketika ingin sesuatu. Walaupun hidup di keluarga yang sama, tidak mesti semua akan sama saja. Tidak, tidak ada kata sama di antara keduanya yang buktinya nasib yang diterima berbeda jauh.
Lelaki itu mendengar semua apa yang Hana katakan di toilet. Bahkan suara tangisan yang terkesan di tahan-tahan agar tidak ada orang yang mendengar kenyataan mampu dia dengar sekarang.
Di tangannya memegang tas yang berisikan segaram ganti. Lelaki itu masuk ke dalam toilet dan meletakan tas itu di atas meja dekat dengan wastafel toilet. Dan kemudian ia menunggu di luar. Memastikan jika Hana menerima tas itu.
Dan tidak beberapa saat Hana keluar dari toilet dan melihat tas itu. Ia tidak tau apa itu tapi terdapat kertas kecil yang bertuliskan sebuah kalimat.
^Pakai seragam itu, jika tidak mau dipermalukan di dalam kelas.
Hana tidak tau siapa yang menulis atau bahkan yang memberikannya tas itu. Gadis itu mengambil isi tas yang ternyata benar, seragam berada di sana beserta body lotion di sana. Hana menoleh ke segala arah dan tidak menemukan siapa pun, ia bahkan tidak mendengar ada orang lain masuk.
Gadis itu menunduk, ia tidak tau harus berkata apa lagi sekarang. Siapa yang memberikan ini semua kepadanya? Dia pasti tau akan kejadian tadi pagi yang Hana alami, sangat miris.
"Terima kasih seragamnya."
Lelaki itu tersenyum tipis dan kemudian pergi dari sana begitu saja tanpa mengatakan apa pun atau bahkan memperlihatkan dirinya kepada Hana. Tidak perlu, cukup tau saja jika ia yang memberikan semua itu kepada Hana.
•••
Sedangkan di sisi lain, Dimas yang berkumpul bersama teman-temannya di sebuah tempat tongkrongan biasanya dirinya berkumpul di sana setiap beberapa minggu sekali.
Mungkin karena kesibukan yang membuatnya jarang berada di sana. Tapi semua temannya mengerti akan posisi yang Dimas alami, anak pertama yang harus dituntut untuk menjadi nomor satu oleh keluarganya dan lagi, melindungi adiknya dari kejahatan keluarganya sendiri.
"Lama gak ketemu ya." Rangga menepuk bahu Dimas, temannya itu memang sudah lama tidak kelihatan karena tugas kuliah yang bagaikan belenggu hidup.
"Kau tahu dosen sialan itu memberikan banyak beban hidup."
"Aku tau, dia memang sudah tua tapi tidak ingat umur. Menyuruh banyak orang berpikir sedangkan dia bersantai di ruangan ber-AC." Ucap Rehan tanpa beban sama sekali. Ia benci harus sekolah karena banyak menggunakan pikiran, sedangkan dirinya yang benci berpikir.
Mereka adalah sebuah geng, yang berbentuk dari beberapa anggota. Tidak sebanyak yang dibayangkan memang, tapi mereka semua begitu kompak dan saling mendukung satu sama lain. Tidak heran jika pertemanan mereka bisa bertahan sejauh ini.
"Gimana keadaan Hana? Lama aku tidak melihat adikmu yang manis itu. Dia pasti bertambah cantik bukan?" Dimas tersenyum. Ia selalu bahagia jika kenyataan Hana begitu banyak yang sayang.
Meskipun adiknya itu selalu merasa sendirian. Tapi Dimas yakin akan ada kebahagiaan yang menunggu di kehidupan yang akan datang, tinggal berusaha dan menunggu kapan waktu itu akan datang.
"Iya, adikku memang cantik." Dimas menatap ke arah wallpaper ponselnya yang terdapat foto Hana ketika adiknya itu masuk masuk taman kanak-kanak. Sangat menggemaskan, hanya Dimas mempunyai semua foto Hana.
Mereka mana perduli dengan foto itu? Keluarga berantakan dan hanya bersandiwara itu berat. Yang mereka perdulikan hanyalah Anna, anak mereka yang tanpa mereka sadari lebih buruk dari Hana.
Bagaimana Dimas bisa tau? Bagaimana bisa? Di posisi lain Dimas paling jauh. Jangan kira jika Dimas diam maka dia tidak perduli, itu salah besar. Dimas perduli hanya saja tidak ia perlihatkan dan ia pikir Anna akan hidup dengan baik karena dia mendapatkan segalanya.
Namun, ia salah besar akan itu. Anna justru tumbuh menjadi anak yang begitu nakal dan pembangkang, suka menindas orang lain sesuka hati membuat Dimas semakin kecewa.
"Itu bukannya Johan ya?" Dimas menoleh ke arah kemana semua temannya melihat. Johan, anggota paling muda di sana dan dia seumuran dengan Hana.
"Wow, tumben sekali kau kemari? Ada apa?" Johan duduk di salah satu kursi dan menatap malas ke arah semua orang. Moodnya sedang kacau sejak pagi, ia malas harus menjelaskan atau bahkan berbicara panjang.
"Memangnya kenapa?"
"Wajahmu seperti terbebani akan duniawi." Johan hanya diam. Entah apa yang dia pikirkan sekarang, Dimas melirik ke arah Johan dan ternyata remaja itu sudah sadar sejak tadi.
Ia mengambil ponselnya dan membuka galerinya, entah apa yang akan dia tunjukan nanti, tapi sepertinya membuat mood Johan menjadi tambah turun. Suara rusuh dari ponsel Johan mengundang perhatian yang lain.
Dimas menatap dengan tatapan tajam, ia bahkan sudah menduga akan apa yang terjadi. Semuanya begitu terkejut, bahkan ada yang kasihan kepada gadis itu.
"Kapan?"
"Tadi pagi, yang aku lihat Anna menyuruh teman gengnya." Johan menatap datar ke arah Dimas, ia hanya kesal dengan apa yang dia lihat saja. Hanya itu saja dan tidak ada yang lain.
"Anna? Anak itu kenapa makin ke sini makin ke sana?" Johan bahkan menunjukan isi update akun twitter sekolahan yang menunjukkan foto Hana yang di bully, badannya penuh dengan sampah. Dan yang membuat Dimas semakin benci adalah, senyuman Anna.
"Dimas? Kau tidak akan-"
"Ini sudah keterlaluan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments