Setelah pulang dari toko buku, kegiatan selanjutnya yang kulakukan adalah memasak bahan-bahan terakhir yang ada di kulkas. Aku memang sengaja tidak sekalian membeli bahan makanan yang menipis karena berencana pindah dari apartemen ini. Kemarin, tepat sebelum mengganti nomor ponsel sekaligus ponselnya, aku sudah menghapus semua akun sosial media milikku.
Apartemen ini milik kakak saat ia harus tinggal selama beberapa waktu di Shinjuku untuk menempuh pendidikan. Tekatku sudah bulat, aku akan benar-benar menghilang dari keluargaku, tepat seperti yang mereka inginkan.
***
Dengan berbagai pertimbangan yang cukup sulit —karena tidak ada teman tempat bertanya—, aku memutuskan untuk mendatangi sebuah apartemen di pusat kota Tokyo, tepatnya tidak jauh dari Stasiun Tokyo dengan menggunakan taksi. Walaupun dari segi harga ongkos taksi jauh lebih mahal, tapi transportasi ini memberikan jaminan untuk sampai ke tujuan dengan tepat tanpa tersesat.
Para penduduk dan pendatang yang sudah agak lama tinggal di sini kebanyakan memang menggunakan kereta api sebagai transportasi utama keseharian. Sekali waktu, aku pernah iseng mencoba datang ke stasiun dengan niat pergi ke Shibuya dan harus kembali pulang —sebelum benar-benar pergi ke sana— dengan kepala yang berdenyut karena kebingungan akan banyaknya rute, peron serta perusahaan penyedia layanan kereta api.
Jika di Indonesia perkeretaapian dipegang oleh KAI beda lagi dengan di Jepang. Di sini, perkeretaapian dipegang oleh beberapa perusahaan transportasi sekaligus. Jika belum memiliki cukup keberanian, sebaiknya tidak nekat mencoba untuk menggunakan transportasi ini. Selain berpotensi besar tersesat ke tempat lain, keterbatasan petugas stasiun —terutama yang sudah berumur— dalam memahami bahasa lain selain bahasa Jepang mendatangkan kesulitan baru jika ada pendatang yang bertanya tentang seputar rute kereta dengan menggunakan bahasa Inggris.
***
Aku kembali dari mengunjungi apartemen yang akan menjadi tempat tinggalku dengan perasaan puas. Pengurus apartemen adalah orang yang cukup fasih berbahasa Inggris. Ia dengan sangat jelas menerangkan tentang fasilitas sampai biaya yang harus aku keluarkan untuk menempati sebuah unit di lantai tiga. Setelah membereskan semua urusan administrasi, aku kembali ke Shinjuku dengan menggunakan kereta api karena pengurus apartemen tersebut juga menjelaskan bagaimana cara untuk sampai ke Shinjuku dengan menggunakan kereta api cepat. Ini adalah perjalanan perdanaku dengan kereta api.
***
Entah karena kebiasaan atau sedang melamun, kakiku melangkah pelan memasuki toko buku tanpa kusadari sekeluarnya dari stasiun. Tidak apa-apa, hitung-hitung sebagai kunjungan terakhirku di sini. Dengan gontai aku menuju ke arah lantai tiga, di mana terdapat banyak buku yang bisa kubaca secara gratis.
"Mohon maaf, sepertinya anda tidak membaca tulisan di pintu masuk. Hari ini toko sedang tidak bisa dikunjungi karena digunakan untuk keperluan syuting," sapa seorang karyawan toko buku yang sudah sering bertemu denganku.
"Baiklah kalau begitu, maafkan saya yang tidak membaca pengumuman," balasku tersenyum mengerti.
'Ya gimana mau baca, ngerti juga ngga,' ucapku dalam hati.
"Tunggu!"
Suara seseorang memasuki indera pendengaranku beberapa saat setelah aku berbalik menuju tangga untuk turun. Aku kembali berbalik dan melihat pria tinggi dengan rambut pirang seleher berdiri menghadapku.
"Anda pasti pelajar ya? Kurasa tidak masalah jika anda berada di sini untuk beberapa saat. Kami sedang rehat sejenak. Carilah apa yang anda butuhkan asal tidak menimbulkan kegaduhan."
Tadinya aku akan menolak tapi entah kenapa rasa penasaran malah membuatku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
'Jarang-jarang bisa masuk ke lokasi syuting artis Jepang,' pikirku.
***
Sesekali aku mencuri pandang ke arah sekumpulan orang-orang yang sedang membahas sesuatu. Setelah menemukan buku dalam bahasa Inggris yang membuatku tertarik, aku menuju ke tempat membaca di sudut ruangan.
Konsentrasiku terpecah saat beberapa orang mulai menempati posisi tertentu dan bersiap merekam. Jangan bayangkan kamera besar dengan banyak kabel yang berserak. Kamera yang digunakan untuk merekam berasal dari jenis 𝙢𝙞𝙧𝙧𝙤𝙧𝙡𝙚𝙨𝙨 dan memiliki fitur diatas rata-rata. Aku bisa mengenalinya dari strap kamera yang bertuliskan 𝘾𝘼𝙉𝙊𝙉 𝙀𝙊𝙎 𝙍.
Suara instrumen akustik mengalun dan sejenak membuatku terpana. Keinginan membaca pupuslah sudah, aku lebih tertarik menikmati tontonan di hadapanku. Selama setengah jam, aku menikmati pertunjukan dengan iringan lagu berbahasa Inggris - Jepang yang tidak terlalu kumengerti karena dinyanyikan secara cepat.
Saat melihat rombongan syuting menyudahi kegiatan mereka dan mulai mengemas beberapa peralatan, aku pun bangkit berdiri untuk mengembalikan buku.
***
"Kon'nichiwa, mata aimashō ( hai, kita bertemu lagi )," sapa seseorang dari balik punggung membuatku membalikkan badan saat sedang menaruh buku di rak.
Mataku terbelalak menatap sosok itu. "Kon'nichiwa, genkidesuka? ( hai, apa kabar? )," tanyaku terbata. Sosok di depanku hanya tersenyum dan mengangguk.
"Maaf sudah mengganggu, kami sedang syuting untuk keperluan video klip," ia berkata lagi dengan menggunakan bahasa Inggris. Rupanya, ia menyadari jika kemampuan bahasa Jepangku kacau sekali.
"Sama sekali tidak mengganggu, saya justru merasa senang bisa melihat syuting di depan mata langsung," jawabku cepat.
"Kamu pelajar?" tanyanya
"Bukan, karena suatu hal saya terdampar di negara ini." Mata coklat yang menatap lekat itu membuatku tanpa sadar tersenyum.
"Baiklah kalau begitu, selamat berlibur di negara kami," sahutnya ramah. "Kamu berasal dari negara mana?"
"Indonesia," jawabku pendek. Keheningan tercipta selama beberapa saat. "Maaf, apakah terdengar tidak sopan jika saya menanyakan namamu?" Lagi-lagi dengan tanpa alasan, kata-kata itu meluncur cepat dari bibirku.
"Hahaha, kenapa kamu bisa bertanya seperti itu?"
"Yang saya dengar, penduduk Jepang menjunjung tinggi sopan santun. Maafkan saya jika terdengar tidak sopan," jelasku.
Ia menggeleng perlahan, "Memang benar jika orang Jepang menjunjung tinggi sopan santun, tapi tidak sekaku itu. Tentu saja kamu boleh memgetahui nama saya. Nama saya Taka." Tanpa diduga pemuda itu menyodorkan tangannya.
"Dan namaku Rinai," aku menyambut uluran tangannya dan mengenggam erat. Ada rasa hangat yang perlahan merambat.
"Rinnai?" tanyanya berkerut ketika genggaman tangan kami sudah terlepas.
Sudah kuduga, pemuda itu pasti mengira namaku sama seperti nama sebuah perusahaan di Jepang yang memproduksi kompor gas.
"Bukan. Rinai, dari rinai hujan," jelasku.
"Ah, hujan!" serunya mengerti. "Senang berkenalan denganmu Rinai-chan."
"Senang juga berkenalan denganmu, Taka-chan." Kami tersenyum dan keheningan yang kembali tercipta selama sesaat membuat otakku lumpuh. Di satu sisi, aku ingin terus berbicara dengannya, tapi di sisi lain aku bingung mencari topik pembicaraan.
"Taka!" Pria berambut pirang yang mengijinkanku masuk ke toko buku ini memanggil.
Seolah mengerti, Taka mengangguk pelan dan kembali menghadapku. "Saya harus pergi sekarang. Semoga kita bisa ketemu lagi ya?"
"Sampai jumpa lagi, Taka-chan," aku mengangguk tersenyum. Ada rasa aneh saat melihat sosoknya berjalan menjauh. Dengan menghembuskan nafas panjang, aku berjalan menuju tangga bermaksud untuk pulang ke apartemen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments