Setelah peristiwa malam itu, keluarga Wila menjadi pusat pembicaraan. Di warung, di kebun, bahkan di pancuran umum. Mereka berbicara tanpa mendengar fakta, semuanya hanya menjelek jelekkan keluarga Wila saja.
Hal ini membuat Wila makin jarang keluar rumah, ia hanya keluar rumah untuk urusan yang penting saja. Apalagi saat ini ia sedang menempìuh ujian akhir disekolahnya, dan sedang mempersiapkan masuk Perguruuan Tinggi.
"Bu, nanti kalau aku lolos ujian masuk Perguruan Tinggi Negkeri, mau kost aja ya, biar ngirit ongkos", kata Wila saat membantu ibunya didapur. "Ibu ga setuju kalau kost, gimana kalau ikut d rumah bibimu, Bi Yeni," kata Yati . "Kira-kira Bapak setuju gak ya?, tanya Wila ragu. " Biar ibu nanti yang bicara sama bapakmu?" .
Yati menenangkan Wila. Suara motor memasuki pekarangan, rupanya Caca sudah pulang. " Ayo Pak, langsung sarapan saja!", ajak Yati kepada suaminya. Setelah menaruh helm dan menggantungkan kunci motor di paku sebelahnya, Caca menghampiri meja makan . Mana Wila Bu?",tanyanya sambil duduk d atas tikar yang diatasnya sudah tersedia hidangan sederhana untuk mereka sarapan.
Sebelum menjawab, Wila keburu datang sambil membawa coet berisi sambal. "Ini Bu, sudah jadi," katanya sambil menaruh bawaannya di atas tikar. "Ya, udah, ayo kita makan!", ajak Yati. Mereka bertiga makan dengan hidangan sederhana sambil membicarakan rencana Wila untuk kost d rumah bibinya.
Caca mengijinkan, apalagi ia tahu pasti anaknya merasa malu atas kejadian malam lalu, dan ia merasa bersalah sudah menuduh anaknya melakukan hal nista. Tapi di luar sana kabar itu sudah menyebar dengan cepat.
Biarlah, biar waktu yang menjawab kebenarannya. Hari yang dinanti pun telah tiba. Setibanya d sekolah, Wila melihat kerumunan teman -temannya di depan papan pengumuman kelulusan dan pengumuman pemenang bea siswa kuliah di salah satu PTN. Ia diam saja dibelakang teman temannya, tak berani untuk ikut berdesak desakkan .
Beberapa temannya mulai mundur dengan berbagai ekspresi , ada yang gembira, ada yang sedih. Wila melangkah pelan menuju papan pengumuman yang sudah sedikit lengang. Dilihatnya dengan teliti, dengan hati berdebar ia cari alfabet namanya, dan dibaris menjelang akhir, dilihat namanya. Perlahan ia geser arah netranya ke arah horizontal, dan betapa senangnya ketika dilihat tulisan LULUS.
"Alhamdulillah, akhirnya." Ia bergumam dengan sumringah. Dan lebih senang lagi saat namanya bertengger di urutan sembilan selaku pemenang beasiswa kuliah. Hari itu ia pulang dengan membawa kabar gembira, karena hari masih siang, Wila memilih pulang dengan berjalan kaki, bukan apa -apa, mulai saat ini ia harus lebih irit menggunakan uang, biar d simpan saja pikirnya, buat bekal kuliah nanti.
Sepanjang jalan banyak orang berlalu lalang, mereka cuek saja. tidak seperti para tetangga yang mengenalnya, mereka melihat Wila dengan pandangan sinis, dan tidak jarang mereka berbisik satu sama lain. Sepertinya mereka lagi membicarakan Wila. 'Sabar Wila, kamu harus kuat, kamu tidak salah!' Wila membatin sambil tetap berjalan.
Di gang menuju rumahnya ia berpapasan dengan Neli yang sedang bergandengan dengan teman laki lakinya. "Calon manten, baru pulang?" celetuk Neli saat berada di depan Wila.
Wila hanya berlalu tanpa memperdulikan ucapan Neli.
"Hai, mending kaya kita nih, terang terangan, dapat restu lagi, bukan sembunyi sembunyi, bikin malu saja!" , cerocos Neli .Wila terus berlalu dan menghilang di ujung gang. Tak dapat dibohongi, hatinya sakit mendengar ocehan Neli tadi.
Tapi semua itu dapat terobati dengan lulus dan diterimanya ia kuliah. Ia pikir percuma memberi penjelasan juga. Biarlah , biar waktu yang akan menjawabnya. Di depan rumah bu Asih, ia bertemu dengan Andi. Sedikit salah tingkah Wila saat jaraknya semakin dekat.
"Neng Wila, mampir dulu ", teriak Bu Asih yang sedang menjaga warungnya. "Nggak Bu,terima kasih", jawabnya. Namun langkah kakinya terhenti saat Bu Asih mengejarnya. " Sebentar Neng Wila", katanya sambil menarik tangan Wila dan menuntunnya duduk di teras depan rumahnya.
"Sini Neng, Ibu cuma pengen tahu, kejadian malam itu, Andi itu ponakan Ibu, kalau terjadi apa apa, Ibu nanti yang akan menjelaskan sama orang tuanya Andi!"
"Gak terjadi apa apa Bu, itu hanya salah paham saja." Andi yang tiba tiba datang menjawab. "Kalau benar begitu kenapa ga dijelaskan saja sama orang orang, biar mereka tidak bicara seenaknya, dan terus menjelek jelekkan kalian", desak Bu Asih.
"Percuma Bu, biarkan saja mereka bicara! Toh kita gak melakukan apa apa?!", jelas Andi.
"Waktu itu Wila takut bapaknya marah, kalau melihat saya ada di rumahnya" , jelas Andi lagi. "Diminum Neng, kayanya cape?!, Ibu lihat Neng Wila jalan kaki, habis dari mana? ".
"Iya Bu, dari sekolah, hari ini pengumuman kelulusan, tadi pulangnya belum terlalu siang, jadi jalan kaki saja, itung itung olah raga Bu", jawab Wila.
"Alhamdulillah saya lulus,dan sudah diterima kuliah di Perguruan Tinggi di kota Bu." Wila menjelaskan. Andi mendengarkan , dalam hatinya berharap kalau Wila kuliah satu kampus dengannya.
Di kejauhan terlihat Bu Wira dan Bu Neti ,sepertinya mereka sedang memperhatikan dari kejauhan. Gak salah lagi, pasti mereka sedang membicarakan Wila.
Padahal ada yang lebih mengkhawatirkan, anaknya Neli begitu dekat dengan teman laki lakinya. Ia tidak takut anaknya terjerumus pergaulan bebas.
"Lihat tuh, sepertinya benar ada sesuatu antara si Wila dengan ponakannya Bu Asih itu, sekarang sudah berani ngobrol terang terangan di siang hari bolong", kata Bu Wira.
Kali ini Bu Neti hanya mendengarkan saja, sesekali ia melihat ke dalam rumah Bu Wira. Di balik kaca yang terbuka ia melihat Neli begitu lengket dengan teman laki lakinya. Tapi Bu Neti ga berani memberitahukannya pada Bu Wira.
***
"Nanti kalau kuliah di kota, kamu mau kost?, kan jauh kalau harus pulang ke sini?", tanya Andi. "Gak tahu, saya belum bilang sama Bapak", kata Wila. Nanti kalau mau kost , saya bisa bantu carikan, yang khusus putri dan keamanannya terjamin!", sambung Andi lagi. "Terima kasih sebelumnya," jawab Wila.
Setelah itu ia pamit karena sudah cukup lama ia berbincang di rumah Bu Asih. Di halaman sebuah rumah yang masih berdinding bilik, ia berdiri. Rumah itu banyak sekali menyimpan kenangan masa kecilnya.
Setahunya, sejak ia kecil rumah itu tidak pernah direnovasi sekali pun. Walaupun demikian rumah itu masih cukup kokoh.
Tidak ada teras rumah, yang ada hanya beberapa papan kayu yang dirangkai menjadi satu dan diletakkan di atas batu sebagai alasnya.
Hatinya terenyuh, ia tahu kedua orang tuanya lebih mementingkan biaya sekolahnya. Tak pernah terbersit untuk merenovasi rumah seperti para tetangganya.
Dan sebentar lagi ia pun akan meninggalkan rumah itu untuk sementara, selama ia kuliah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments