2. Mendadak Jadi Pendaki

Obrolan singkat antara aku dan boni ternyata mengantarkanku kesini, ke kota yang belum pernah aku kunjungi. (Lombok), sedikit asing di telingaku tak seperti Bali yang beberapa kali pernah aku kunjungi. Aku dan Boni benar-benar ke Rinjani, rasanya seperti mimpi tapi memang benar terjadi. Kami bertujuh dari Jakarta.

Beberapa dari mereka adalah teman satu pekerjaan dengan Boni. Boni adalah orang tua yang menolak tua. Padahal dia sudah lulus D3 tapi kuliah lagi dari awal dengan jurusan yang berbeda, malam bekerja dan siang kuliah, seperti robot yang tak butuh tidur dan istirahat,

“Bon lo kenapa sih kuliah lagi? Kan lo udah sempat lulus D3" tanyaku pada Boni,

“Biar gak di bego-begoin orang lah!” jawab Boni,

“Berarti selama ini lo di bego-begoin orang dong? Hahahaha, kataku sambil tertawa puas.

“Kagak juga sih, cuma di begoin ayang doang" jawab Boni,

“Yaelah bucin banget, inget umur kali, hahaha" kujawab sambil tertawa,

“Umur boleh tua tapi semangat masih lebih kuat dari orang yang lebih muda" jawab Boni,

Tibalah waktu aku dan Boni berangkat, Bandara Sokarno Hatta adalah awal pertemuanku dengan Om Joe, Om Edi, Om Rembo, Om Dika dan Mak Ida.

Mereka adalah teman-teman baruku yang akan sama-sama mendaki Rinjani, mereka om-om dan tante yang kurang kerjaan, bisa jadi masa muda kurang dinikmati atau memang pendaki sejati yang tak kenal usia dan tak kenal lelah untuk mencari keindahan.

Kami semua berbincang-bincang sambil mendalami karakter masing-masing, tanpa mereka sadari aku adalah pendengar dan peneliti yang baik, karena aku sudah terbiasa dengan itu, dan dengan mudahnya aku bisa masuk ke obrolan-obrolan orang yang usianya diatasku, Tibalah panggilan penerbangan pesawat yang akan kami naiki. Aku tidak pernah suka dua kata yaitu "take off dan landing".

Penerbangan yang tidak terlalu lama karena hanya satu jam, dan tibalah kami di bandara international Lombok, kemudian kami dijemput sebuah mobil yang sudah dipesan oleh seorang kawan dari salah satu teman. yang memang tinggal di sana, kemudian dibawanya kami ke satu rumah untuk beristirahat dan mempersiapkan peralatan yang besok pagi akan kami bawa.

Kami dibawa ke rumah temanny om Dika, yang memang asli orang Lombok, kami pun memperkelalkan diri kami pada orang yang punya rumah, hanya ada Ibu, Ayah dan Adiknya teman om Dika, adik temannya om Dika bernama Tyas, dia seorang cewek manis, yang bermata indah. Tyas meminta untuk ikut mendaki padahal dia belum pernah mendaki Rinjani meski jarak rumahnya dan Rinjani sedekat kedua alis. Karena kami ganjil pada saat itu, kami pun mengiyakan untuk Tyas ikut bersama kami melakukan pendakian, tentunya dengan izin dari kedua orang tuanya.

Pagi pun tiba, kami ber delapan sudah bersiap untuk berangkat, kami diantarkan oleh mobil semalam untuk menuju desa Sembalun, setelah tiba di desa Sembalun kami segera melakukan pendaftaran pendakian, usai semua syarat dianggap layak, kami pun bisa memulai pendakian. Kami memilih jalur Sembalun sebagai awal pendakian, bukan tanpa alasan kardna padang savana yang sungguh indah, ilalang tiada duanya, dan jalur yang terlihat indah sejauh mata memandang.

Aku menikmati langkah demi langkah perjalanan sambil kurasakan beratnya carier yang kubawa, seakan semangat dan antusias yang tak pernah padam.

Kulihat jalanan yang semakin menanjak menandakan seberapa jauh perjalanan yang sudah kami lalui, kami harus sampai di pos tiga untuk membuka tenda dan menginap satu malam, setelah lelah berjalan sampai juga di pos tiga, kurasa sakit pundak dan pinggangku tapi kutahan saja, karena ternyata akupun punya bakat acting terpendam, setelah tenda berdiri dengan kokoh, kami pun memasak dan aku jadi juru masaknya, cita-cita ku dari kecil memang menjadi seorang chef tapi belum kesampaian, katanya masakan ku enak tapi kurasa biasa saja.

Selesai makan kami pun berbincang-bincang, sambil menikmati batang-demi batang rokok, yang dinikmati sambil meneguk segelas kopi dengan sedikit gula.

“Bar gw lihat-lihat Tyas ngeliatin lo mulu deh" ucap om Joe,

“Syuuut jangan ngadi-ngadi deh om" kataku,

“Gak percayaan banget sih, coba lo tanya sama yang lain deh” kata om Joe,

“Bener tuh emang Tyas ngeliatin lo mulu, udah gausah banyak mikir, langsung sikat aja” sambung om Rembo sambil tersenyum jahat,

“Lah om, lo kira gigi kuning di sikat, udah ah mending fokus dulu nih mendaki, urusan cewek mah nanti-nanti aja" jawabku,

“Sok fokus lo, udah deketin lah daripada jomblo,” kata Boni,

“Cocote” (kata-katamu), jawabku pada Boni sambil tersenyum,

“Nanti gw yang bilangin ke Tyas kan gw  sama Tyas satu tenda,” ucap ma Ida tersenyum jahat,

“Terserah kalian aja deh yang penting kalian seneng gw tertekan, udah ah gw mau tidur, capek nih jalan terus seharian” kataku sambil bergegas masuk tenda.

Aku pun mengakhiri obrolan itu dengan tidur, karena sebenarnya aku malas dicomblang- comblangin. Aku tidak mau larut dalam hubungan yang intim dengan seseorang, aku hanya ingin mencari banyak teman, aku memang perhatian tapi tolong jangan baper, karena aku memperlakukan semua orang dengan sama.

Aku merasa udara semakin dingin dan sejuk, ternyata sudah menjelang pagi.

Aku segera bangun, karena aku selalu suka udara pagi yang segar dan menyegarkan kucuci muka ku dan ku gosok gigiku, lalu setelahnya ku buat kopi, lagi-lagi tanpa gula, kopi toraja luar biasa! Meski belum pernah aku menginjak tanah toraja tapi aroma kopimu selalu menjadi teman bagi pagiku dan sahabat bagi tembakau yang juga kuhisap bersamaan, teman-temanku mulai terbangun satu persatu, yang pertama kulihat adalah om Dika,

“Ngopi ko sendirian aja, gak ngajak-ngajak” ujar om Dika,

“Tenang om gw bikinin deh kopi buat lo, spesial nih soalnya lo yang bangun duluan, kalau yang lain mau juga bikin sendiri hehehe" jawabku sambil tersenyum,

“Yang pas ya manis sama pahitnya, jangan sampe kemanisan yang penting,” kata om Dika, sambil bergegas mencuci muka dan gosok gigi.

Satu persatu temanku terbangun, kemudian setelah semua bangun, ternyata tidak semua suka kopi, beberapa dari mereka hanya minum teh. Sunrisenya indah. Tapi aku harus buat sarapan karena sebentar lagi kita akan meneruskan perjalanan.

Langkah pertama di hari kedua pendakian pun dimulai, jalan yang semakin kecil, semakin menanjak menyusuri bukit penderitaan. Tak terasa sudah setengah hari berjalan, kita jarang ngobrol saat berjalan tapi begitu banyak bicara ketika istirahat, setelah semua sepakat untuk berhenti makan siang, dan menemukan tempat yang landai untuk kami memasak, maka kubuat masakan-masakan sederhana, untuk kami santap sebagai pengisi perut-perut yang sudah berteriak.

Seusai makan siang turun hujan lebat, tapi tidak menyurutkan semangat kami untuk meneruskan perjalanan, karena target kami harus sampai di Pelawangan sembalun hari ini, semakin berat langkah, semakin hati-hati karena jalanan terasa licin, aku bergumam, kenapa tak kunjung sampai padahal sudah sangat lelah, kedinginan dan kesemutan. Karena hujan nya deras rain coat, seakan tak berpengaruh apa-apa.

Dipenghujung hari barulah kami sampai di Pelawangan Sembalun yang sudah tampak ramai dan penuh dengan tenda-tenda yang berjejeran. Kami pun segera mendirikan tenda dan mengganti baju.

Setelahnya aku memasak air panas karena aku ingin bertemu dengan temanku, dia adalah kopi, salah satu teman yang selalu aku rindu akan wanginya, dia tidak enak dinikmati di setiap saat, tapi dia selalu terasa nikmat diwaktu yang tepat, apalagi jika dinikmati dengan rokok di cuaca dingin seperti ini, sungguh sangat nikmat, aku beri bocoran kalau banyak orang asing disini, mereka datang dari berbagai negara, kami tidak bertemu di perjalanan karena biasanya mereka memilih jalur Senaru, jalur yang berbeda dengan yang kami lalui.

Banyak hal yang tak terduga, begitu indah segara anak di lihat dari atas sini. Rasanya lelah terbanyar tuntas, aku dan teman-temanku asik mengambil foto, tak terlewatkan ku foto orang-orang asing itu secara diam-diam, untuk koleksi di folderku kelak,  setelah merasa puas berfoto, dan makan malam. Kami memilih beristirahat lebih cepat, karena dini hari nanti kami harus sudah siap untuk menuju puncak Rinjani.

Pukul tiga dinihari alarm mulai berbunyi, tanda pendakian akan segera dimulai, terasa sangat dingin jadi aku putuskan memakakai dua jaket, om Joe yang akan memimpin jalan sampai ke puncak, perjalanan pun dimulai, headlamp mulai menyala, setelah berdoa kita memulai langkah demi langkah menuju ke puncak.

Tak lupa kita buat foto-foto narsis di sepanjang perjalanan. yang paling narsis Om Edi dan Boni si tua bangka, tapi yang selalu dapat angel foto bagus itu Mak Ida, Kami saling menguatkan di perjalanan karena lelah dan ingin nyerah itu selalu ada. Walaupun perjalanan terasa lambat tapi semua berjalan lancar dan kami pun tiba di tujuan. Puncak rinjani. Keindahannya? tidak ada kata yang bisa ngejelasin. Ini jadi pengalaman pertama dan luar biasa untuku bisa mendaki Rinjani.

“Kalau kata orang sini doa di puncak anjani bisa cepet di kabul doanya" ujar Tyas,

“Masa sih? Gw mau doa ah, mudah-mudahan cepet di restui calon mertua atau calon mertua gw cepet mati” kata Boni,

“Gila lo Bon, lo doa apa nyumpahin sih?” kataku,

“Doa kok gitu amat sih Bon, tar kualatat loh" ucap ma Ida,

“Semoga gw cepet ketemu sama jodoh gw” ucap om Edi,

“Gausah di Aamiinin ya teman-teman, biar dia jomblo seumur hidup" ucap Boni meledek,

“Kata orang bijak, mulutmu harimau mu loh Bon" kataku,

“Amit-amit deh jangan sampe gw yang jomblo seumur hidup" ucap Boni,

“Kalau doa tuh yang baik-baik aja kenapa” ucap om Joe,

“Coba om pimpin doa yang baik-baik biar Aku ikutin" ujarku,

“Doa sendiri-sendiri aja dan di dalam hati, keinginan nya juga beda-beda dan biar jadi rahasia masing-masing" ucap om Joe,

“Gw doa apa ya?” tanya om Dika sambil pasang muka bingung,

“Semoga warung amanah jadi mini market" ucap om Rembo,

“Aamin" ucap om Dika,

Percaya atau tidak percaya tapi kami tetap berdoa dalam hati masing-masing dan menjadi rahasia antara kami dan sang pencipta, orang dulu berkata katanya gak ada perjuangan yang sia-sia, tinggal bagaimana kita menikmati prosesnya, menghargai hal-hal kecil dalam sebuah perjuangan, karena di akhir ada hasil yang menunggu, entah memuaskan atau tidak tetap jalani saja, karena ga semua hal bisa berjalan seperti yang kita inginkan. Kita hanya diatur dan tak berhak mengatur.

Hari sudah mulai terik, setelah puas berfoto kami bergegas untuk segera kembali ke tenda di Pelawangan sembalun, jalan yang menurun kami lalui dengan sangat cepat, setibanya kami langsung memasak dan segera makan, karena kami harus bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke Danau segara anak, kami segera mempacking semua barang bawaan ke dalam carier, kami pun mulai berjalan menuruni bukit dengan jalan setapak penuh bebatuan, karena gerimis jalanan pun jadi sedikit licin. Perlu hati-hati agar tidak jatuh dan terperosok.

“Hati-hati ya jalanannya licin, jaga keseimbangan jangan sampe jatuh" om Dika mengingatkan,

“Siap om!” kami menjawab secara bersama-sama dan penuh semangat.

Karena Om Dika jalan di paling depan dan merupakan ketua kelompok pendakian, kami semua selalu mendengarkan intruksinya, ditengah perjalanan hari sudah semakin mendekati gelap, kami berhenti sejenak untuk menyiapkan lampu penerangan. Sambil menikmati teh dan juga makanan-makanan kecil.

“Dingin juga ya udaranya" ucap Om Edi,

“Makanya nikah lo biar ga kedinginan dan ada yang bisa ngangetin" ucap Boni,

“Lo kira cewek itu tungku api Bon, bisa ngangetin? Gw kan kedinginan kok ngejurusnya ke nikah, kaya lo udah nikah aja Bon" jawab Om Edi,

“Ya gw kan cuma ngingetin, dimana-mana kan yang lebih tua duluan” jawab Boni,

“Gw kan juga belum tua-tua banget Bon" ucap Om Edi,

“Tetep aja umur lo diatas gw, hahaha” jawab Boni sambil tertawa,

“Noh Tyas lagi jomblo katanya om" ujar Mak Ida,

“Lah kalau om Edi sama Tyas ya namanya dia pedofil dong ma hahahaha" kataku sambil tertawa meledek,

“Ketawa lo puas banget, kayak ada dendam pribadi ke gw” ucap om Edi,

“Demdam apaan sih om, kok baper banget jadi orang tua, katanya masih jiwa muda, ayolah jalan lagi! Keburu kaku nanti kalau kebanyakan diam dan istirahat” ucapku sambil segera berdiri,

Perjalanan kami lanjutkan kembali, langkah demi langkah kami usahakan lebih cepet, walau kenyataan nya masih sangat lambat, apalagi jalan nya ma Ida, yang selalu intruksi untuk istirahat dulu, tapi kami maklumi saja karena kami satu kelompok jadi harus saling tunggu-menunggu dan saling jaga satu sama lain.

Setelah tubuh sudah merasa sangat lelah dan entah berapa jam kami berjalan terus-menerus, akhirnya sampai juga di tujuan Danau segara anak, ma Ida langsung ambil posisi untuk rebahan tanpa peduli apa yang ia tiduri, sebenarnya hari sudah larut ketika kami sampai, kami pun segera membuka tenda untuk bermalam dan menikmati dinginnya tidur depan danau, banyak suara-suara, mahluk malam yang berkeliaran di sekitar tenda kami, aku hanya terdiam sembari menyimak suara-suara itu, sulit rasanya memenjamkan mata, padahal seluruh tubuh ini sudah sangat lelah. Aku masih berusaha untuk tidur, tubuhku menginginkan beristirahat tapi mata dan pikiranku tak berjalan seirama.

Tuhan, aku berlindung kepadamu dari apapun yang ada, baik yang terlihat kasat mata dan yang tak terlihat. Semoga engkau selalu menjaga aku dan teman-temanku.

Aku tak ingat lagi apa yang terjadi, tiba-tiba sudah pagi. Sinar matahari sudah mulai menghangatkan tubuhku dari dingin nya angin, dan dari gelapnya malam. Kulihat teman-temanku masih terlelap, karena ini pendakian maraton yang hanya sedikit sekali istirahatnya, tapi begitu nikmat karena kujalani dengan senang hati, aku selalu rindu aroma kopi, rasanya yang pahit karena kubuat tanpa gula. aku tidak terlalu suka manis, tapi aku selalu suka cewek manis berkacamata.

Sembari menunggu teman-temanku terbangun, aku menyiapkan joran dan kail yang sengaja kubawa dari Jakarta, karena konon katanya Danau segara anak adalah surga bagi para pendaki, banyak sekali ikan di danau ini, tapi hari masih sangat pagi, mungkin ikan belum terlalu lapar jadi kutunggu saja sampai mereka lapar dan kudapati mereka memakan umpanku.

Satu-persatu temanku mulai terbangun, ucapan selamat pagi ku dengar dari mereka.  Setelah beberapa saat, kuajak mereka untuk menuruni bukit karena ada air terjun disana, airnya dingin tapi sangat segar untuk membasuh seluruh tubuh, dan membersihkan tubuh ini,

tubuh sudah mulai menggigil tanda kami puas bermain air, sesegera mungkin kami kembali ke tenda untuk menyiapkan sarapan. Disela-sela yang lain menyiapkan sarapan, aku meneruskan untuk memancing ikan karena matahari sudah mulai naik ke permukaan. Satu demi satu ikan mulai memakan umpanku dan tak terasa sudah banyak sekali ikan yang aku dapat, teman-temanku segera membersihkan ikan-ikan yang kudapat untuk di bakar dan di hidangkan untuk makan siang.

Aku masih asik memancing nyatanya hari sudah semakin sore dan kami pun harus segera membereskan perlengkapan, karena akan melanjutkan perjalanan ke pos tiga Senaru, setelah semua siap kami pun mulai berjalan tak lupa diawali dengan doa, dua jam berjalan ternyata kami kebingungan untuk mengambil arah karena jalan tertutup oleh longsoran bebatuan.

Setelah berdiskusi panjang kami memutuskan kembali ke Danau segara anak dan menginap satu malam lagi sambil mencari pendaki lain yang juga akan menuju pos tiga Senaru, hari sudah mulai gelap aku dan Om Dika mulai mencari kelompok pendaki lain yang besok pagi akan melanjutkan perjalanan, kami pun bertemu dengan sekelompok pendaki yang sekaligus peniliti dari sebuah institusi yang besok pagi akan meneruskan perjalanan, setelah berbincang banyak kami memutuskan untuk bersama-sama meneruskan perjalanan pukul delapan pagi.

Aku dan Om Dika kembali ke tenda, dan memberi informasi kepada teman-temanku bahwa besok pukul delapan pagi kita mulai melanjutkan perjalanan, setelah makan malam kami mulai mengambil posisi untuk beristirahat, seketika tidur yang masih terasa sebentar harus dibangunkan oleh pagi yang menjelang, Aku rindu aroma kopi, kubuat saja sendiri karena yang lain belum ada yang berdiri. Maksudku belum ada yang bangun, puas menikmati kopi dan tembakau, aku mulai membangunkan teman-temanku untuk bersiap-siap.

Kutemui terlebih dahulu kelompok peneliti yang akan bersama-sama melanjutkan perjalanan, aku berkenalan dengan salah satu dari mereka nama nya mba Irene,

"Ayo mba sudah siap untuk lanjut?” tanyaku,

"Sebentar lagi siap, mana teman-temanmu" jawabnya ,

"Sebentar Aku panggil dulu mereka ya mba” jawabku sambil berjalanan kearah teman-teman kelompoku yang sudah menunggu.

Setelah semua siap kami mulai melanjutkan perjalanan, kami jadi ber empat belas karena kelompok mba Irene ada enam orang, setengah perjalanan terasa begitu lancar walau kami berjalan diatas tebing bebatuan, namun tak lama diperjalanan salah satu temanku Om Rembo tiba-tiba tidak bisa berjalan, kakinya kaku tidak bisa gerakan, kami kebingungan dan mencoba mencari bantuan, ketemulah dengan warga lokal yang sedang mengantar tamunya, karena dia seorang porter. Pak Karim panggilan nya.

“Pak ini kira-kira teman saya kenapa ya? Tiba-tiba dia gak bisa jalan” tanyaku,

“Oh ini gak apa-apa mas, nanti di bawah juga sembuh” jawab Pak Karim dengan santainya,

“Gitu ya Pak" jawabku merasa bingung,

Aku jadi berpikir ini beneran apa nggak sih sakitnya? apa hanya canda.

Kemudian kami mulai menandunya sampai di pos tiga Senaru,

“Kenapa teman nya? Jatuh?” tanya salah seorang yang aku tak kenal,

“Ngga pak ini tiba-tiba gak bisa jalan,” jawabku,

Kemudian dia memijat temanku dan kaki temanku sudah mulai bisa digerakan walau agak sedikit kaku,

“Dengan Bapak siapa Pak?” tanya om Rembo kepada orang yang sedang memijat kakinya,

“Panggil saja Kardiman, nanti dibawah juga sembuh ini mas” jawabnya sambil tersenyum,

Kami hanya berhenti untuk mengisi perut dan harus melanjutkan perjalanan ke pintu Senaru, banyak yang melarang kami melanjutkan perjalanan karena di khawatirkan kami kemalaman di perjalanan, karena jalur Senaru tidak boleh di lewati malam hari, tapi kami tetap memaksa melanjutkan perjalanan karena harus mengejar waktu, kulihat jam masih sore tapi terasa sangat gelap, karena kami benar-bebar melewati hutan, dan benar saja kami melewati jalur sampai malam hari, banyak kejadian yang luar biasa yang tidak bisa diukur oleh logika manusia, kami tidak berhenti berdoa di sepanjang perjalanan itu.

Setelah terasa sangat lelah dan perjalanan terasa begitu lama, kami pun sampai di pintu Senaru, senangnya ada satu warung untuk kami bisa membeli makan dan mengisi perut,

kami tidak banyak bertanya karena dalam hati dipenuhi rasa takut. Ternyata perjalanan dari pintu senaru menuju perkampungan masih sangat jauh, namun kami terus berusaha berjalan untuk cepat sampai di perkampungan.

Setelah berjam-jam akhirnya sampai juga di perkampungan, lega rasanya dan tiba-tiba om Rembo sudah tidak merasakan sakit lagi di kakinya,

“Sakit bohongan masa tiba-tiba sembuh" ujar kami semua kompak sambil meledek.

Benar juga apa yang dikatakan salah satu porter diatas tadi, kami semua merebahkan badan sambil menunggu mobil jemputan untuk kembali ke mataram, mobil pun tiba, kami segera pulang dan berencana berlibur di Gili trawangan untuk beberapa hari kedepan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!