Di satu tempat, jauh di sebelah selatan, semua terlihat putih. Salju tebal menutupi warna warni di sekitarnya, putih…hanya putih juga dingin.
Angin dingin agak kencang berhamburan bersama remah salju. Luas tempat itu seolah tak bertepi…
Beberapa orang tampak tergeletak di tebalnya salju, satu persatu dari mereka telah sadar dari pingsannya. Ketika semua kembali tersadar dengan perasaan aneh dan seperti kebingungan, mereka melihat pemandangan sekeliling.
“ Apa kita berada di surga?” tanya salah satu dari mereka yang masih duduk di timbunan salju.
“ Ini salju bodoh..” satu orang lainnya menjawab sambil berdiri dan mengibaskan salju yang menempel di celananya.
“ Jendral…jendral, apa kau tidak apa-apa? ” Bugerd, salah satu anak buah Jendral Luzen menghampiri Jendralnya yang masih memegang kepalanya dan duduk di salju.
“ Akh..ya..tidak apa-apa..,dimana ini? ” sambil dibantu bangkit dari duduknya, Bugerd menggeleng.
“ Entahlah Jendral, tapi sepertinya kita telah dibuang di pegunungan salju”.
“ Di buang?” Jendral masih tak paham
“ Kau tak apa Luzen?..” Gardden sahabatnya juga ada disitu, memastikan jendral Luzen baik-baik saja.
“ Baik, kau sendiri?” Jendral menoleh ke Gardden yang mengancungkan jempolnya.
“ Hoy..lihat ini!!” pria dengan janggut tebal menemukan sebuah gembolan kain.
Mereka yang berjumlah lima belas orang, satu persatu berkerumun di sekeliling gembolan kain tersebut, kemudian mereka membukanya.
“ Ada surat di dalam sini..” pria berjanggut tadi mengambil sebuah kertas coklat yang berisi tulisan tangan. Ia langsung membacakan isinya.
‘ Kepada, yang selalu kami hormati, Jendral Luzen dan sahabat-sahabatnya.
Aku Odero, orang kepercayaan Yang Mulia Rowen. Sebelumnya aku memohon maaf pada kalian. Aku di perintahkan Yang Mulia untuk meracuni kalian dengan racun mematikan. Lalu aku diperintahkan juga untuk membuang jasad kalian ke tempat yang paling jauh dari kerajaan. Tapi aku masih mengingat jasa-jasamu Jendral Luzen dan para prajuritmu semenjak Raja Josean memerintah, jadi aku mengambil keputusan beresiko, aku memberi kalian racun yang tidak mematikan, hanya tertidur beberapa jam saja. Lalu setelah Yang Mulia memeriksa jasad kalian, dia mengira kalian telah wafat, dan menyuruhku untuk segera membuangnya. Akhirnya aku putuskan untuk membuang kalian ke tempat ini secepatnya dengan kuda karavan.
Di sini juga sudah kupersiapkan beberapa makanan, Air, selimut tebal, jubah mantel dan senjata kalian. Mohon untuk tidak kembali ke kerajaan Noregon. Kami sangat kehilangan Jendral besar sepertimu, dan pasukan elit yang ada bersamamu saat ini, entah apa jadinya kerajaan Noregon kedepannya.
Mudah-mudahan apa yang kulakukan ini bisa menebus kesalahanku‘.
- Semoga beruntung Jendral -
Odero.
Mereka saling memandang, tak percaya. Tapi yang bisa mereka lakukan saat ini adalah mencari jalan dan tempat berteduh. Akhirnya mereka mengambil semua peralatan yang ada di kain gembolan, dan memulai perjalanan panjang menyusuri salju yang dinginnya mengerikan.
Mereka berjalan dan berjalan. Beberapa dari mereka ada yang berjanggut dan janggut mereka mulai putih terpapar salju. Mereka berjalan beriringan, dengan kampak besar di sisinya dan pedang di sisi yang lain, juga ada yang berambut panjang dan kusut dengan busur dan anak panah di bagian punggung mereka.
Dari kejauhan mereka terlihat seperti sekelompok pasukan perang, pemburu atau lebih tepatnya orang yang sering mengalami pertempuran, terlihat dari wajah-wajah yang keras, dan beberapa bekas luka tergurat di bagian wajah mereka, juga badan yang kokoh walaupun di kondisi dingin yang sangat menakutkan seperti saat ini.
Tiga hari mereka lalui, menyusuri perjalanan berat yang melelahkan, perbekalan yang diberikan Odero telah menipis bahkan habis. Salju turun semakin ganas.
Dude, salah satu dari mereka sempat terjeblos di es, sehingga kakinya sakit dan dia tertatih berjalan dengan pincang.
Dua hari setelahnya Dude tidak kuat lagi menahan sakit di kakinya, ia menyeretnya ketika berjalan, terkadang di papah oleh kawannya bergantian.
Akhirnya mereka menemukan pepohonan, mereka membuat rakit untuk menarik Dude yang sudah tidak mampu berjalan.
Esoknya salah satu dari mereka jatuh terjembab ke salju, mereka sudah tidak makan dan minum. Pria itu mengalami kedinginan diluar batasnya (Hipotermia), akhirnya ia juga di seret menggunakan rakit kayu buatan.
Genap sepekan berlalu, mereka tidak menemukan apapun di tempat itu..hanya saju dan salju…
Baju hangat, sepatu tebal dan mantel bulu mereka tampak tidak kuat menahan dingin dan terpaan angin yang mengacau.
Janggut-janggut mereka menjadi putih terbalut terpaan salju. Pedang-pedang gagah di pinggang mereka seolah merintih menginginkan balutan yang lebih tebal. Suasana sudah mulai petang, langit mulai meredup.
“ Sepertinya akan ada badai, kita harus cepat menemukan tempat berteduh “ salah satu dari mereka berteriak, namun suaranya di halau laju angin yang menghempas.
Mereka terus jalan tanpa tujuan…hanya mencari tempat berlindung dari badai.
Dari kejauhan, seseorang yang berada paling depan memincingkan matanya, samar-samar ia melihat ada sebuah cahaya dan asap.
“ Disana..disana!!!” seolah menemukan sebuah harta karun, mata sayunya tiba-tiba melebar bersemangat, dia menemukan sebuah harapan, pria itu menoleh ke orang-oranng yang berada dibelakangnya sambil menunjuk arah cahaya berasal.
Mereka semua di penuhi buncahan harapan, seolah letih mereka terbuang seketika itu. Dalam rambatan langkah yang berat, mereka paksakan untuk berlari.
Semakin jelas cahaya itu..rumah..yah, itu sebuah rumah yang sepertinya hangat. Asap mengepul dari cerobong diatas rumah itu..
Walau masih beberapa kilo lagi, mereka semua tertawa, akhirnya menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat..mereka tak henti berlari, walau satu dari mereka terjatuh dan bangkit dalam keadaan putih terpapar salju.
Dan, ketika semakin dekat…apa ini…harum sebuah masakan…
Salah satu dari mereka meneteskan air mata syukur, yang ketika jatuh bening air mata itu melebur bersama es di bawahnya. Sarung tangan tebalnya mengusap butiran air matanya . Harum masakan seperti itu tidak mereka cium hampir kurang dari sepekan. Mereka menahan laparnya di barengi perjalanan yang melelahkan.
Lima belas orang berkumpul di depan pintu rumah yang sederhana, hangatnya sudah terasa walau pintunya belum terbuka.
Jendral Luzen yang mengenakan jubah hitam, di lapisi mantel bulu yang tebal, mengisyaratkan dengan kepalan tangannya , agar yang lain untuk tetap di tempatnya.
Jendral yang rambutnya terpapar remah salju, mengetuk pintu kayu rumah tersebut. Beberapa kali ketukan tidak muncul jawaban dari dalam.
“ Permisi..apa ada orang?..” Suara beratnya beberapa kali memanggil si tuan rumah, tapi tetap tidak ada jawaban.
Akhirnya jendral membuka pintu yang tidak terkunci, karena mereka tidak ingin berlama-lama lagi berada diluar. Mereka masuk dengan perlahan.
Jemari mereka sudah siap di gagang pedang yang dingin. Dengan hati-hati mereka mengamati sekitaran rumah.
Harum aroma masakan hampir-hampir membuat beberapa dari mereka hilang kendali, tanpa komando langsung merangsek maju ingin mengambil makanan yang masih berasap di atas meja, terihat hangat dan nikmat.
Jendral segera melarang mereka. Dia mencabut pedangnya dan menghalangi anak buahnya untuk bergerak lebih jauh.
“ Jangan!! tunggu perintahku!!”
Suara berat jendral mengagetkan beberapa pria yang sudah melangkah tak sabar ingin menikmati hidangan diatas meja. Dan mereka mengurungkan niat mengambil makanan yang tersedia.
Mereka masih diam mengamati seisi rumah sambil berposisi waspada, padahal rasa lapar sudah tidak lagi bisa mereka tahan.
Rumah itu terasa hangat, entah karena adanya perapian atau karena penuhnya para pria yang masuk berjejalan, memenuhi ruangan itu, yang mereka tidak ingin lagi berada diluar bersama cuaca yang menakutkan.
Di sisi kanan, sebuah rak besar menampung banyak obat-obatan, di rak sebelahnya yang lebih kecil berjejer buku-buku tebal, sepertinya ada juga buku kuno. Di dindingnya menggantung sebuah busur panah, mantel bulu beruang, sebilah pedang dan semacam tas dari anyaman. Dipan sederhana terlihat hangat di pojok sisi kiri, lengkap dengan bantal yang terasa empuk dan selimut tebal yang membentang. Perapian di Rumah itu masih menyala dengan api cukup besar, membuat kehangatan menyebar keseluruh ruangan. Di sisi paling belakang terdapat sebuah pintu, yang mungkin mengarah ke luar sisi belakang. Rumah yang sederhana itu tidak terlalu besar, tapi terasa nyaman dan hangat.
Kreeeek…
Suara pintu terbuka dari arah belakang…Udara dingin dengan cepat merayap memasuki ruangan.
Semua para pria disana spontan mengeluarkan pedang dari sarungnya, dan menghunuskannya kedepan. Dari belakang ada beberapa yang sudah siap membidik dengan panahnya.
...**********...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Si Cepat
Next
2022-11-03
1