Jurang Kematian

Saat ini waktu menunjukkan pukul 16.30.

Reiga sengaja memilih pulang lebih awal untuk merayakan ulang tahun ibunya--Alana, yang ke-45.

Dia baru saja turun dari mobil yang baru satu bulan lalu dibelinya dari hasil memenangkan tender di perusahan tempatnya bekerja.

Satu buah paperbag berisi sebuah kotak hadiah, terayun senang di kanan tangannya, melangkah menyongsong pintu masuk rumah yang tak lagi suram itu.

"Tak biasanya Ibu lupa mengunci pintu,” Reiga bergumam heran, usai melihat pintu tersibak segaris kurang lebih lima sentimeter.

Sebersit perasaan tak nyaman menuntunnya bergegas masuk ke dalam rumah.

Dan itu tak keliru.

"Ya Tuhan!" pekiknya terkejut, diikuti cambukan rasa panik luar biasa. Didapati semua keadaan tak seperti biasanya.

Seluruh isian rumah dalam keadaan hancur berantakan tak pada tempatnya.

"Bu!" teriak Reiga memanggil Alena, lalu berlari menuju kamar ibunya itu. "Bu!"

Ia terus berkeliling--ke dapur, kamar dan lainnya. Alena tak ditemukan di mana pun. “Tuhan, kemana Ibu?”

Dalam rusuh kepanikannya ....

"Kau mencari ibumu?"

Suara itu ...?

Reiga menjegal sontak langkahnya di penghujung lorong menuju halaman belakang. Dirotasikannya leher untuk menangkap siapa pemilik suara yang terasa familiar di telinganya.

Detik berikutnya ....

Itu kejutan, tapi bukan April Mop. Reiga membulatkan matanya. "Pa-Paman Thomas! Ke-kenapa kau di sini?”

Saat yang sama, Eleanor muncul dari ruangan di mana Alena biasa menghabiskan beberapa waktunya untuk merajut.

“Bibi Elle!” Deru jantung Reiga semakin kencang bertalu-talu.

"Keponakanku Reiga. Kau semakin tampan saja, Sayang," kata Eleanor lemah, lembut dan gemulai. Dia berjalan mendekati Reiga. "Bibi akan senang jika kamu bersedia menemani Bibi satu malam saja di atas ranjang. Kekuatan tubuh tegapmu ini, pasti sangat mengesankan."

Lain dengan Thomas yang mendengus mendengar hal itu, Reiga mengurat tegang--sedikit jijik. "Apa kau sakit, Bibi Elle?" tanya sarkasnya.

Sontak memancing gelak tawa Eleanor.

"Kau lucu sekali, Reiga,” katanya. Jarak wajahnya dan Reiga kini hanya beberapa jengkal saja. "Bibi serius, Sayang. Daripada kau--"

"Hentikan, Elle!" Thomas memungkas cepat.

Eleanor mendelik malas seraya menjauhkan diri dari Reiga.

“Kau terlalu serius, Thom.”

Raut jengah Thomas semakin keruh--tak peduli. Pandangan kelam ditusukkannya kemudian pada Reiga. "Dengarkan aku, Reiga .... Sebutkan permintaan terakhirmu, sebelum kau menyusul ibumu."

Kalimat yang saking manisnya, membuat Reiga sontak melebarkan mata. "Apa maksudmu, Paman?"

Eleanor mengambil bagian kemudian.

Belaian nakal jemarinya di pipi Reiga, ditepis kasar pemuda itu. "Tenanglah, Sayang." Lalu berputar ke belakang mengamati setiap bagian diri Reiga dengan tatapan lapar. "Kau akan Bibi ampuni, jika kau mau bekerjasama."

Reiga tak menggubris perlakuan wanita itu. “Apa yang kalian lakukan pada ibu?!"

Thomas menggedik bahu. "Tidak ada!" jawabnya picik. "Hanya membuatnya sedikit tahu diri."

"Apa sebenarnya maksudmu, Paman?! Di mana Ibu?!" Reiga meradang, tak suka teka-teki.

"Pergilah cari ibumu di sekitaran rumah secara detail. Dia masih utuh."

Mendengar itu, tak lagi dipedulikan Reiga betapa memuakannya wajah Eleanor saat ini, ia langsung melesat menuju kamar Alena juga ruangan lain--mengulang pencariannya seperti orang tolol.

Suaranya bergaung berulang-ulang menyembah udara memanggil nama ibunya.

"Kalian!" Thomas berteriak kemudian--masih di posisinya.

Tak lama, muncullah dua orang pria berpakaian serba hitam dari balik pintu ruangan lain.

"Kami menghadap, Tuan," sahut salah satu di antaranya, setelah berdiri seimbang di hadapan kedua tuannya.

"Sudah kalian amankan Alena?" Thomas bertanya sedikit pelan, sementara suara Reiga semakin kencang menggema seantero rumah.

"Sudah!"

Sejenak Thomas dan Eleanor saling beradu pandang, berembuk melalui tatapan mata, sebelum akhirnya mengangguk bersama kemudian. Lalu mengarahkan lagi tatapnya pada kedua lelaki kekar di hadapan dengan raut yakin.

"Bereskan anak itu!"

...*******...

Setelah berhasil menghindari beberapa serangan mendadak dua pria kekar suruhan Eleanor dan Thomas, Reiga terus berlari. Menghindari sebisanya. Pukulan, tusukan, lemparan, berhasil dielaknya dengan gerak sederhana. Ia tak bisa melawan serupa, di saat tak ada apa pun yang bisa dijadikannya senjata selain terus berlari. Sedang lawannya masing-masing menggenggam benda berbeda.

Memaksakan diri jelas hanya akan mempercepat kematiannya, sementara Alena belum bisa ia temukan.

Eleanor dan Thomas, mereka pergi begitu saja, meninggalkan dua monster yang kini tengah memburu anak muda naas itu.

Semak-semak meronta terinjak kasar sepasang kaki Reiga. Pakaian yang ia kenakan telah compang-camping tergores semak belukar, bercampur peluh. Sedang di belakang, dua pria berbaju hitam masih mengejar tanpa memberinya jeda walau sekedar meraup udara.

Tiga ratus meter sudah kurang lebihnya--perkiraan penulis, jarak yang sudah ditempuh Reiga dengan langkah cepat serampangan, menggerus tenaganya hampir di titik ujung.

Aroma lumut dan kicau burung di dalam hutan mulai menyambut. Tempat itu berada tak cukup jauh di belakang rumah tinggalnya bersama Alena. Jalanan terjal berundak penuh rerumputan hutan yang meninggi, tak dipedulikan Reiga. Ia terus menggencat kakinya untuk berlari, walau dadanya mulai terasa sakit karena hentakan tanpa henti.

"Kau tidak akan bisa lari, Bocah Sialan!"

Teriakan itu menggema di belakang Reiga.

Ia tak ingin menoleh, terus lari saja.

Hingga ....

GREEEBBBB!

"Tuhan!" Pekik pemuda itu terkejut.

Langkah kakinya terpaksa ia hentikan setelah hampir terjerembab. Rasa panik menyerangnya semakin ganas.

Di hadapannya terbentang jurang berkabut yang dasarnya bahkan tak bisa ia lihat. Terlalu dalam dan curam--mengerikan.

"Hahaha! Tamat riwayatmu, Bocah!"

Reiga membalik cepat tubuhnya menghadap para pembunuh yang kini sudah berada tak jauh di belakangnya.

"Mau kemana kau?! ... Ayo terjun!”

Reiga terdesak. Wajahnya ketar-ketir menoleh dua penjahat, lalu beralih memandang ke arah jurang.

Bagaimana ini?

Lari tak lagi menjadi opsi. Satu-satunya cara ....

BUGGG!

Ia melesatkan tendangan cepat dan berhasil mengenai dada salah satu penjahat, hingga badan orang itu tersurut beberapa langkah ke belakang.

Mau tidak mau, tidak ada pilihan lain selain melawan sekuat tenaga. Walaupun tenaga itu sendiri sudah tak lagi terdengar keberadaannya.

Untuk beberapa saat, suara berdebug saling pukul terdengar riuh, baik dari tangan Reiga maupun kedua orang itu. Reiga jelas kalah secara kekuatan karena jumlah yang tak seimbang. Sampai kemudian ....

"Aaaaarrrrggghhh!!"

Teriakan melengking menyembah langit, diiringi tawa dua orang pria pembunuh bayaran yang diutus Thomas dan Eleanor di atas tebing. "Selamat menjadi makanan siluman di Jurang Kematian!"

"Waktunya bersenang-senang." Satu lainnya menambahkan girang. "Ular-ular cantik Monalisa Zhaoge, menunggu kita telanjangi."

Setelah saling beradu pandang dan mengangguk, keduanya lalu berbalik meninggalkan tempat itu membawa serta senyuman puas. Tugas mereka berjalan mulus tanpa hambatan.

....

Mengingat betapa curamnya tempat yang disebut Jurang Kematian itu, Reiga ... masih utuhkah jasadnya? Atau malah tersangkut di dahan pohon yang melintang di sisi tebing? Atau ...?

Terpopuler

Comments

Eka Awa

Eka Awa

org2 kakeknya pada meditasi tah

2024-11-28

0

Be___Mei

Be___Mei

semoga kau masih bisa selamat reiga.

2022-11-02

1

Jimmy Avolution

Jimmy Avolution

Ayo...ayo...

2022-10-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!