Tuduhan

Astaga! Kau membuatku gila!"

Eleanor terperanjat. Dada pria yang baru saja menemaninya bercumbu di atas kursi, didorongnya gegas melerai jarak. "Shittt!" Ia mengumpat menahan geram. "Kau pergilah!" titahnya pada pria itu.

Walau sama-sama terkejut, pria yang usianya sepuluh tahun lebih muda dari Eleanor itu, terpaksa menuruti titah. Sedikit dengusan dari mulutnya. Merapikan satu persatu kancing kemeja yang terlepas, kemudian berlalu dengan raut masam. Cukup sial setelah batang di balik celananya mengeras tanpa penyelesaian.

Thomas mengikuti geraknya dengan tatapan sinis melalui ekor mata, sampai pria muda itu menghilang di balik pintu.

"Ada apa kau datang ke sini, Thom?" Eleanor bertanya selanjutnya. Wanita 42 tahun yang tetap terlihat cantik itu mulai sibuk mempertebal lipstik di bibir yang telah habis dilumati pria simpanannya, berkaca pada cermin kecil yang menempel di dalam cepuk bedaknya. "Mengganggu saja!"

Thomas menanggap jengah, "Salahmu tak mengunci pintu!"

"Karena semua karyawanku tak serampangan sepertimu, Bodoh!" hardik Eleanor.

"Huuh! Kau masih saja bertingkah seperti jal4n9. Apa kau tak takut Helios mengetahui kelakuan tololmu ini?!"

Eleanor tersenyum kecut. Gemeletak bunyi lipstik yang dilemparnya ke atas meja terdengar kemudian. "Untuk apa aku takut?" katanya menantang sarkas. "Bagus jika dia tahu. Itu artinya dia harus mulai sadar, jika dia benar-benar tak berguna untukku dan anak-anak!"

Kursi beroda di hadapan ditarik Thomas kemudian duduk di sana. "Baiklah, terserah kau! Apa pun masalahmu dengan Helios, aku tak peduli."

Eleanor hanya menggedik bahu.

"Kali ini dengarkan aku, Elle!" Tatapan ketat membawa keseriusan di wajah Thomas. Kedua siku tangan ia tekan di atas meja menyangga dagu.

"Ada apa? Apa kau kalah berjudi lagi?" cebik Eleanor suka-suka.

"Diamlah!" Thomas menghardik. "Kubilang dengarkan aku!"

Keruh tatapan Thomas dipahami Eleanor, bukan saatnya bercanda lagi. Punggung ia benturkan pada sandaran kursi lalu menyilang tangan. "Baiklah. Apa yang ingin kau sampaikan?"

Cukup udara diraup kerongkongannya, perlahan dan hati-hati, Thomas mulai menyampaikan apa yang menjadi alasan di balik kedatangannya ke kantor Eleanor.

Pembahasan semakin serius dan membesi seiring semakin jauh pria itu menguntai kata.

"Jadi maksudmu ... kita juga harus menyingkirkan Reiga dan Alena?" Eleanor mengulang tak percaya.

"Tidak ada cara lain, Elle! Kalau tidak, bocah itu akan mengacaukan semua yang kita susun dengan susah payah selama ini."

"Lalu apa yang akan kau lakukan dengan rencana itu?" tanya Eleanor lagi.

Tarikan bibir Thomas membentuk seringai kelam. Tersirat niat yang jelas bukanlah hal yang lurus. "Kau yang akan melakukannya!"

...***...

Satu bulan kemudian ....

Turun dari sepeda motornya di halaman kastil Lexander Dinasty, remaja berambut gondrong itu baru saja pulang sekolah. Helm dikaitkannya di kaca spion, sedang kunci motor dimasukannya ke dalam saku celana. Ia lantas mengayun langkah dengan wajah santai seperti biasa.

Dari jarak setidaknya lima puluh meter, Reiga menangkap suara-suara tak biasa dari dalam kastil. Dihentikannya langkah sejenak mendengarkan dengan seksama. Menyadari milik siapa suara itu, ia laju berlari masuk secepat mungkin menghampiri sumbernya.

"Aku tidak berbohong, Ayah! Aku tidak mencuri apa pun milik Eleanor." Alena terus meraung di bawah kaki Ted yang bergeming di atas kursi rodanya.

"Ibu, ada apa?!" Reiga menyongsong dengan terkejut, menurunkan tubuh mensejajari lalu merangkul wanita itu.

"Reiga ...." Alena terisak di dada bidang putra tercintanya. "Ibu tidak mencuri apa pun!" Ia menjelaskan di sela isak.

"Ibu tenanglah,” katanya. Reiga mengangkat wajah, mengabsen satu persatu wajah orang-orang yang ada di sekeliling, lalu jatuh pada sang kakek. "Kakek, ada apa sebenarnya?"

Ted Lexander masih terdiam tak bisa menjelaskan. Ia mungkin bingung. Siapa yang harus ia hakimi saat ini. Sedang tak ada satu pun bukti yang bisa meyakinkannya membela Alena lagi, selain sehelai kertas kusut yang ditemukan Neolla di bawah bantal menantu kesayangannya.

"Ibumu mencuri dan merobek berkas perjanjian saham dengan klien yang kudapatkan susah payah." Eleanor mengambil jawaban. Wajah keruh bermahkota keangkuhan miliknya tak sedikit pun menatap keponakannya.

Reiga membeku gamang. Kepalanya turun merunduk perlahan menatap pucuk kepala Alena yang masih sesenggukan dalam peluknya. "Tidak!" sanggahnya tak terima. "Bibi Elle pasti salah. Ibu tidak mungkin melakukan itu."

"Apanya yang tidak mungkin, Reiga?! Ibumu iri padaku!" Eleanor menghardik keras. "Aku tahu Lexander Corp sedang lemah setelah kematian Damaresh. Beberapa investor menarik saham mereka kembali karena tak percaya pada pengelola yang dipilih Ayah. Tapi tak seharusnya ibumu merusak kesempatan dari apa yang baru saja kudapatkan! Dia pantas dihukum!"

Alena semakin sesenggukan. Geleng kepala sebagai bantahan terasa sia-sia aja.

"Kakek, apa Kakek tidak percaya pada Ibu?" Reiga mengharap dari itu setidaknya. Alena bukan tipe rendahan seperti yang dituduhkan. "Ibu pasti hanya difitnah!"

"Diam kau, Bocah!" Eleanor menghardik lagi. Telunjuk bercat kuku merah terang mengacung ke wajah Reiga. "Tidak ada fitnah di sini!"

Ted Lexander semakin beku. Tatapan matanya sulit dideskripsikan. Namun tak bisa dielak, hatinya cukup sakit melihat mata bening Reiga yang terus menatapnya meminta pengharapan. Ia memalingkan wajah berusaha menghindari kelemahan.

"Neolla, antarkan aku ke kamar. Aku ingin beristirahat."

Neolla--pelayan pribadinya hanya mengangguk tanpa kata, lalu mendorong kursi roda tuannya meninggalkan ruangan luas yang justru terasa pengap.

Reiga menatap kepergian kakeknya dengan raut sedih. "Kakek," panggilnya lemah. "Kumohon percayalah."

"Sudah kubilang berkali-kali, bukan? Kalian tak pernah pantas berada dalam naungan Lexander Dinasty. Kandang babi adalah tempat yang tepat untuk sampah tak berguna," cela sarkas Eleanor.

"Semua ini ulahmu 'kan, Bibi Eleanor?!" tuding Reiga menatap tajam pada sang bibi.

Senyuman sinis Eleanor menanggapi, "Jikapun iya, apa kau bisa membuktikannya?" Lalu berbalik badan ikut berlalu dari ruangan. Menghentak sepatunya menggugu angkuh.

Reiga menggeram marah, namun Alena menahannya untuk tak meledak melayani kesintingan bibinya.

Ini bukan yang pertama kali setelah kepergian Damaresh. Beberapa masalah juga sempat menimpa mereka dengan tema yang sama juga lainnya. Namun kali ini, sepertinya tak ada pengampunan. Ted Lexander bahkan tak lagi melontarkan kalimat sebagai pembelaan seperti yang lalu-lalu.

"Ibu ... kita keluar saja dari kastil ini." Reiga berkata lemah, yang kemudian diangguki Alena tanpa berpikir lagi.

Dipapahnya tubuh ringkih sang ibu untuk naik menuju kamarnya di lantai dua. Secara bergiliran, keduanya saling membantu berkemas barang-barang yang akan mereka bawa pergi ke dalam koper masing-masing.

"Nyonya dan Tuan Muda sedang apa?" Suara parau itu tiba-tiba terdengar dari ambang pintu kamar Reiga.

"Neolla," sahut lirih Alena.

Wanita paruh baya berseragam perawat itu menghampiri dengan raut sedih. Ditatapnya dua buah koper yang mulai penuh terisi barang-barang milik Reiga. "Kalian mau kemana?" tanyanya.

"Kami akan keluar dari rumah ini, Bibi Neolla." Reiga mengambil jawaban. Sedang Alena malah menangis tanpa bisa berkata-kata.

"Walau pun harta yang ditinggalkan Ayah sangat banyak, aku dan Ibu tidak akan membawanya sedikit pun. Tolong sampaikan itu pada Kakek, Bibi Neolla."

Terpopuler

Comments

Jimmy Avolution

Jimmy Avolution

Ayo...ayo...

2022-10-17

0

༄ᴳᵃცʳ𝔦εᒪ࿐

༄ᴳᵃცʳ𝔦εᒪ࿐

keputusan bagus, reiga

2022-10-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!