3. Tak Seindah Yang Terpandang

...Jangan lupa tolong tinggalkan gift, vote dan komen terima kasih...

...________...

Menjadi pendengar yang baik untuk orang sekitar, terkadang menyenangkan sekaligus membosankan. Aku jadi mengetahui bagaimana cara mengatasi sekaligus menyelesaikan masalah dengan baik, tanpa harus menjadi orang tersebut. Aku juga seperti sedang diberi kepercayaan dari mereka. Tapi terkadang banyak tidak enaknya.

Tahun ini usiaku telab menginjakan tahun ke 17, atau sering disebut sweet seventeen. Sungguh sangat manis ketika memasuki usia ke 17, katanya. Lagi-lagi ekspektasi memang tak pernah sesuai dengan realita. Aku masih duduk dibangku SMA kelas 11 IPA. Banyak hal yang sudah aku lakukan. Tapi terkadang, aku sendiri tidak berani mengungkapkan keluhanku sendiri kepada orang lain. Karena aku tidak cepat mempercayai seseorang. Atau mungkin lebih tepatnya aku menyukai memendam semua perasaan yang aku alami.

Ada yang mengatakan, ketika pembicaraan kita ingin dihargai,didengar, di mengerti. Maka perlakukan mereka pula seperti kita ingin diperlakukan. Wlaaupun terkadang sulit, karena keegoisan kita lebih tinggi dibandingkan sesuatu yang kita ingin capai.

Kedua orang tuaku masih ada. Namun aku jarang berbincang dengan mereka. Itulah sebabnya aku lebih pendiam dimanapun tempatnya. Aku juga pemalu yang luar biasa, namun dengan karakterku yang dingin sekaligus cuek, aku bisa menutupi rasa pemalu. Sebenarnya bukan malu yang aku rasakan. Tapi ada rasa takut yang besar dalam diriku.

Setiap hari aku membawa schotel untuk dijual disekolah. Aku titipkan ke kantin. Setelah itu, ketika sudah habis aku membayar sebagai uang ongkos telah menjualkan dagangan milikku. Disitulah aku mendapatkan uang untuk keseharianku sekaligus untuk biaya sekolah.

Aku bukan berasal dari keluarga yang serba berkecukupan. Jika untuk makan saja ada, menurutku itu lebih dari cukup. Aku pernah membaca sepenggal kisah menarik dari Rasulullah SAW. Di rumah beliau, tidak selalu ada makanan. Setiap tidak ada makanan dirumah, Rasulullah bersama istrinya Sayyidah Aisyah mereka memutuskan berpuasa. Satu hari pun tidak lengkap makan sampai tiga kali. Rasulullah bisa saja hidup dalam kemewahan. Namun beliau memilih untuk hidup sederhana. Karena beliau sangat memikirkan bagaimana keadaan umatnya. Apakah mereka selalu hidup kelaparan atau tidak.

Ada persamaanku dengan Rasulullah, yaitu hanya satu sederhana. Namun tetap saja ada yang membedakan. Beliau sederhana karena pilihan hidupnya. Sebaliknya denganku, aku hidup sederhana karena nasibku.

Aku tidak seberuntung orang sekitarku. Terkadang aku menginginkan sesuatu. Tapi, aku takut meminta kepada orang tuaku. Aku hanya meminta kepada Allah, apa yang aku minta semoga terwujud kapanpun waktunya. Aku pernah meminta sesuatu kepada orang tuaku. Lalu mereka menolaknya. Bukan karena tidak sayang, atau pelit. Melainkan, mereka tidak memiliki uang untuk membeli keinginanku. Disaat itulah aku tidak berani meminta lagi atau kepada siapapun. Aku takut menjadi beban untuk mereka. Setiap keinginan aku hanya menyimpannya dalam hati. Lalu aku mengatakan dengan diri sendiri. Lalu aku tulis di sebuah aplikasi daily life, disitulah semua tentang perasaanku aku tulis di aplikasi buku harian itu. Menurutku, aplikasi tersebut sangat tertutup, jadi siapapun yang ingin bercerita akan lebih nyaman. Termasuk orang-orang yang tidak mampu mengungkapkan perasaan ke orang lain. Walaupun hanya kita dan Allah yang tahu apa yang kita tulis. Lalu aku memulai mengetik.

27 Januari 2016

•Sabar Aleena, suatu saat nanti kamu bisa beli ini itu. Tanpa harus meminta ke orang tua kamu atau orang lain.'

•Aleena, kamu orang yang kuat. Ingat, Allah tidak akan pernah membebani hambanya yang tidak mampu.'

• 'Mungkin sekarang belum waktunya aja kamu bahagia, setiap orang punya giliran masing-masing dalam hidupnya.'

•Aleena, catat saja apa yang menjadi kebutuhan maupun keinginan kamu. Walaupun bukan sekarang, tapi suatu saat nanti kamu bisa mewujudkannya. Entah itu keinginan maupun kebutuhan, kamu dimasa depan. Ya walaupun waktunya sudah terlambat. Tapi setidaknya kamu bisa memberikan kebahagiaan untuk diri kamu sendiri.'

• Mungkin sekarang belum waktunya aja kamu bahagia, setiap orang punya giliran masing-masing dalam hidupnya.

•Aleena, catat saja apa yang menjadi kebutuhan maupun keinginan kamu. Walaupun bukan sekarang, tapi suatu saat nanti kamu bisa mewujudkannya. Entah itu keinginan maupun kebutuhan, kamu dimasa depan. Ya walaupun waktunya sudah terlambat. Tapi setidaknya kamu bisa memberikan kebahagiaan untuk diri kamu sendiri.

•Aleena, kamu jangan manja yah! kamu juga harus kuat, nggak boleh cengeng. Kamu boleh nangis tapi jangan terlalu berlebihan. Wajar kok manusia pasti ada titik lemahnya.

•Aleena mungkin hari ini kamu tidak mendapatkan teman yang begitu tulus. Tapi suatu saat nanti, kamu akan mendapatkan sekaligus dikelilingi orang-orang yang menyayangi kamu secara tulus.

•Semangat Aleena. Kamu hebat. Kamu cantik apa adanya. Teruslah berbuat baik.

Itulah kalimat sederhana yang sering aku tulis aplikasi dairy.

Terkadang aku merasa melihat bagaimana senangnya menjadi orang lain. Tapi aku selalu melupakan sesuatu yang sebenarnya aku tidka tahu. Apakah yang mereka rasakan bahagia atau tidak? Karena yang terlihat bahagia belum tentu bahagia. Atau sebaliknya. Kita tidak pernah tahu kehidupan seseorang pastinya seperti apa. Kita memang mmampu menilai, namun penilaian itu sering sekali meleset jauh. Kita juga tidak bisa membandingkan diri kita dengan orang lain, maupun orang lain dengan diri kita. Setiap orang punya porsi serta kapasitas kehidupannya masing-masing. Aku sudah terlatih menjadi dewasa sebelum waktunya.

"Hai Aleena," sapa Ansha. Perempuan cantik yang memiliki tinggi kurang lebih se-telingaku. Mungkin tingginya sekitar 155 centimeter. Dia memiliki wajah yang menawan, bentuk wajah yang agak oval, dengan memiliki rahang yang lembut dan tirus, kulitnya putih terang, alisnya tidak terlalu tebal, bibirnya tipis merah jambu, hidungnya juga mancung. Proporsi yang sempurna bukan?

"Hai Sha, ada apa?" Lalu Ansha duduk disampingku. Dia menghela nafas cemas penuh kegelisahan.

"Kamu temenan sama Nala sudah lumayan lama. Saya mau nanya. Nala beneran suka gak sih sama Hafiz?" Tanya Ansa tiba-tiba. Menanyakan hal yang seharusnya dia tahu, merupakan hal yang membuat waktu terbuang percuma untuk dirinya sendiri. Karena memang Ansa juga menyukai Hafiz.

"Kalau itu aku gak terlalu tahu banyak sih. Tapi kayaknya memang Nala suka sama Hafiz, kamu nanyain itu, karena kalian sama-sama menyukai orang yang sama bukan?" Tanyaku masih bersikap normal.

"Nggak sih saya cuman nanya." katanya.

"Tapi Ansa, bisa jadi dia suka hanya sekedar kagum tapi kalau lebih juga aku gak tahu sih?" jelasku. Sebenarnya aku tidak terlalu tahu tentang perasaan suka, kagum atau cinta. Apalagi perasaan orang lain yang terpendam. Karena pada kenyataannya aku telah mati rasa.

Dari keluarga saja, tidak begitu diperlakukan istimewa. Tentang cinta maupun kasih sayang sangat jauh dari kehidupanku. Jadi menurutku, aku terlalu dungu untuk memahami atau merasakan tentang cinta. Apa itu cinta? Aku tidak tahu jawabannya.

"Kamu pacarnya Hafiz? berita kedekatan kamu sama Hafiz jadi trending topik utama. Sampai seantero SMAN 74 tahu semua?" Tanyaku kepada Ansa sambil meletakkan bolpoin di meja.

Ansha memajukan kepalanya, matanya hampir keluar karena tidak percaya.

"Masa?" Tanyanya.

Aku terkekeh melihat muka shock Ansha. Biarlah seperti itu, Ansha tetap cantik. Lelaki mana yang akan menolaknya.

"Ya gitu, biasa aja dong mukanya Sha." kataku. Setelah itu Ansa menormalkan wajahnya kembali, agar semuanya kembali ke pengaturan awal.

"Berita itu bener atau cuman gosip? Kalau bener dia suka lebih sama Hafiz, kenapa kamu harus takut sama Nala?" tanyaku.

"Ya saya lagi deket sama dia, tapi belum pacaran. Tapi saya sebenernya nggak percaya diri aja kalau tiba-tiba Nala suka juga sama Hafidz. Diakan cantik Na, tinggi juga, apa sih yang kurang dari dia?" Katanya begitu merendah tidak percaya diri. Ini seorang Ansha loh? Aku mengira orang cantik tidak pernah memiliki rasa tidak percaya diri. Sejatinya manusia pastierasa kurnag aman jika ada yang menjadi tantangan dalam hidupnya.

"Udah ada niatan pacaran sama Hafiz?" Tanyaku seperti orang sedang mengintrogasi. Pacaran merupakan sesuatu yang haram yang sudah dinormalisasikan kebanyakan orang, apalagi di masyarakat kita. Masyarakat yang mayoritas memiliki agama Islam, namun tidak melaksanakan sesuai syari'at Islam. Aku tidak sedang menghakimi seseorang yang sedang terjebak dalam ke normalisasi dan masyarakat luas. Hanya saja, aku merasa berdosa ketika membiarkan orang sekitar menormalisasikan hal tersebut.

Singkat cerita, dahulu ada seorang laki-laki yang taat dengan Allah. Ia termasuk orang yang shaleh, selalu menjalankan syariat Allah dalam perintah-Nya dan menghindari larangannya. Namun pria sholeh itu meninggal dalam keadaan yang tidak baik, atau su'ul khatimah. Kesalahannya hanya satu. Ia membiarkan lingkungannya terjebak dalam kemaksiatan seperti menjauhi perintah Allah, meminum khamr, dan selalu pergi ke tempat yang Allah murkai. Lalu Allah memberi peringatan kepada pria itu. Allah menurunkan bencana besar, hingga semuanya termakan oleh bencana dahsyat tersebut.

Ketika ada suatu kaum yang sholeh membiarkan lingkungan dalam kemaksiatan. Maka Allah turunkan musibah sebagai peringatan. Tapi orang yang sholeh itu pun mendapat dosa karena tidak pernah mengingatkan. Sebaliknya, jika suatu kaum taat dengan Allah, ketika ada beberapa orang yang berbuat maksiat, Allah tetap akan selamatkan orang yang tidak taat itu, karena adanya orang-orang yang taat kepada Allah sekaligus selalu memperingatkan orang yang melakukan maksiat.

Jika maaf, hewan babi mampu dihindari bagi umat muslim karena unsur keharaman. Tapi mengapa pacaran yang juga diharamkan dalam Al-qur'an juga masih dilakukan? Bukankah konsepnya sama hanya beda tindakan?

"Kamu pasti sudah tahu dalam Al-qur'an Allah telah peringatkan kita agar tidak mendekati perzinahan. Contoh kecilnya pacaran." Kataku.

"Iya sih." Kata Ansha.

"Mungkin, sekarang sih lagi jalanin aja dulu. Tapi nggak tahu kedepannya gimana." Lanjut Ansha. Kepalaku hanya mengangguk mengerti.

'Jalanin aja dulu' kata yang menganudng unsur terpaksa yang tidak disadari banyak orang. Tiga kata itu sangat memiliki arti paling dalam, intinya seseorang sedang memikirkan sesuatu yang lelah jika melakukannya. Tapi tidak mampu memberhentikan. Akhirnya terpaksa melakukan terus-menerus walaupun merasa tertekan.

"Ini beneran, seorang Ansha takut kalah saing dengan seorang Nala? Oh common, Ansha is wide open. Everyone has their strengths, but we don't have to be so afraid." Kataku menyemangati keinsecurannya.

Terkadang aku juga menginginkan ketika jatuh terpuruk ada orang yang menyemangatiku. Namun pada kenyataannya tidak ada sama sekali. Lagi-lagi aku melakukannya karena aku pernah berada di posisinya. Aku melakukannya bukan ikhlas, melainkan karena aku terllah berharap, jika sesuatu terjadi padaku, aku ingin orang lain melakukan dengan sama baiknya seperti yang aku lakukan.

"But I'm still afraid I won't be able to compete, even though Nala doesn't have broad knowledge. But," katanya terlalu cemas.

..."Karena dia lebih cantik?" Tebakku....

..."Of course"...

"Sha, menurut saya, kamu itu udah cantik banget. Bahkan seantero 74 juga ngakuin kalau kamu itu cantiknya Masya Allah. Dan kamu harus ingat, perempuan punya porsi kecantikan masing-masing. Ya memang, ngomong itu lebih gampang dibandingkan dengan melakukan. Coba kita lihat sisi kelebihan kita seperti apa? Mungkin orang lain nggak ada yang sama dengan kita. Misalnya pembawaan diri kita seperti apa? Ingat Sha, secantik apapun perempuan kalau bukan pilihannya ya gak bakalan terpilih." Jelasku.

"Saya tahu kok setiap orang punya ketidakpercayaan masing-masing. Menurut orang lain bagus, malah udah bagus banget, belum tentu yang menjalankannya. Itu wajar. Intinya kita berusaha membuang rasa ke-insecuaran dalam diri kita, dengan memenuhi rasa syukur kepada Allah." Jelasku. Aku seperti sedang cosplay menjadi Mamah Dedeh

"Gitu yah, makasih yah udah jadi psikolog dadakan." katanya. Menyebalkan sekali.

"Lebih tepatnya psikolog gratisan." Ralat ku dengan tertawa sumbang. Ansha juga ikut tertawa.

"Maaf kalau pendapat saya nggak sependapat dengan pemikiran kamu." Lanjutku meralat ucapannya.

"Terima kasih pendapatnya. Kalau gitu aku mau nemuin Ayuna dulu ya."

"Silahkan."

...______________...

Dirumah inilah tempat aku berpulang untuk istirahat. Tempat dengan ruangan yang kecil serba minimalis. Rumah yang sudah tua yang memiliki penghuni beberapa orang. Warna cat tembok pun sudah begitu pudar. Bapak aku berdagang keliling di Jakarta. Beberapa bulan sekali beliau pulang.

Kadang aku merasa tempat ini seperti tidak begitu layak untuk dihuni. Ketika hujan deras, air masuk kelobang-lobang kecil dari atap. Aku cuman bermonolog sendiri 'kapan nasibku bisa berubah?'

Tapi aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku sangat gigih mencari nafkah. Bayangkan saja, Bapak, berjualan sambil keliling berjalan kaki. Jarak yang ditempuh bukan hanya meter tapi puluhan kilometer. Beliau berjualan ketoprak. Kadang aku merasa kurang bersyukur, aku ingin minta ini atau itu. Ya karena aku tidak ingin membebani orang tuaku jadi aku lebih memilih memendam semuanya. Aku tidak mau kedua orang dibebani pikiran hanya karena keinginan aku.

Setiap ada tugas kelompok, aku merupakan orang yang terbuang. Semua anak selalu memiliki kelompok masing-masing. Aku tidak memiliki kelompok, kadang sendirian, kadang juga ada yang mau mengajak menjadi kelompoknya. Rotasi ini terus berlangsung dari aku mengenyam sekolah dasar sampai menengah atas.

Sampai terkadang aku merasa hidupku terlalu retak, sampai tidak mampu menyusun ke bentuk semula. Aku tidak cantik, ekonomiku rendah, dari keluarga yang tidak terpandang. Aku terlalu mencari kekurangan dalam diri sendiri, padahal Allah sudah menciptakan kelebihan setiap manusua.

Setiap hari aku selalu mengetik di aplikasi buku harian. Aku sengaja tidak menulis dibuku diary hanya karena aku takut jika ada orang lain selain diriku yang membacanya. Setiap kali kesedihan, perundungan, tangisan, kegelisahan, kecemasan, keinginan aku hanya mengetik di sebuah aplikasi yang menurutku paling aman menyembunyikan sesuatu. Aku tidak begitu dekat dengan kedua orang tuaku. Dimanapun aku berada aku pendiam. Aku tidak pandai berbicara.

Aku masih memiliki seorang adik, dia masih duduk bangku Sekolah Menengah Pertama. Dia juga perempuan. Kami juga tidak begitu dekat. Mungkin aku yang terlalu pendiam.

Dia ruangan ini juga aku berbaring di ranjang persegi panjang. Iya aku menekuk kaki sambil membekap wajahku dengan bantal. Setelah itu aku menangis.

Tiba-tiba saja aku teringat pada suatu momen, ketika itu aku masih duduk dibangku kelas 10. Mereka semua mengadakan ulang tahun masal. Kenapa sih hal itu terjadi? Aku benci mereka. Kenapa sih mereka harus bisa hidup? kalau hidupnya hanya untuk menyakiti orang.

..._________...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!