Aku merasakan seperti lelah berkepanjangan. Fisik sehat, namun tidak dengan hati serta pikiran. Terkadang ingin menangis menjerit, namun rasa gengsi yang terlalu tinggi telah menguasai dalam diriku begitu besar. Aku tidak memiliki keberanian untuk menangis. Aku hanya takut, jika ada orang yang melihatku dalam keadaan menangis, akan mudah bagi mereka semakin menindasku. Aku bersikap layaknya orang normal yang sedang baik-baik saja. Namun yang terjadi sebenarnya jiwaku seperti sudah mati karena ditinggal rohnya.
Aku seperti memiliki raga, namun sayangnya tidak memiliki nyawa. Aku melihat orang sekitarku selalu tertawa bahagia. Yang aku lakukan saat ini hanya membaca materi biologi. Sampai aku merasa materi itu sudah aku pahami diluar kepala. Mungkin karena saking seringnya dibaca berulang kali.
"Aleena, aku mau curhat boleh?" kata Alfana. Aku heran dengan orang-orang sekitarku. Mereka dengan leluasa percaya dengan orang lain. Sekaligus cepat mempercayai orang lain untuk meminta pendapatnya. Namun Alfiana tipe orang yang tertutup, hanya saja dia curhatan dengan orang terdekatnya saja. Padahal menurutku sekecil apapun curhatan bisa menjadi hal pribadi sekaligus rahasia. Orang lain akan mudah mengetahui kelemahan kita.
Dan anehnya mengapa mereka selalu mempercayakan aku sebagai tempat curhatan mereka. Terkadang aku selalu memberikan solusi yang menurutku baik, tapi mereka juga mau dinasehati. Aku terlalu sempurna menutupi semua celah kesedihanku. Sampai orang lain merasa, seorang Aleena hidupnya selalu baik-baik saja tanpa masalah.
"Silahkan." Kataku.
"Jadi gini," katanya dengan menjeda mengambil nafas dalam-dalam.
"Sebenarnya aku suka sama Zaldi. Tapi kamu jangan mikir aneh-aneh." Katanya. Sedetik kemudian aku berpikir dan menatapnya dengan ketidakpercayaan. Namun hal itu pasti terjadi tanpa keinginan kita Padahal aku belum mengatakan satu katapun namun dia sudah mencurigai ku.
"Suudzon." Kataku. Lalu aku meletakan buku biologi didepan meja. Setelah itu aku menyengaja mengganti posisi dengan berhadapan dengan Alfiana.
"Oke aku lanjutin, kamu tahu gak? Aku sebelumnya pernah suka sama orang. Tapi orang itu nggak suka balik sama aku. Padahal niatnya aku cuman mau diam-diam suka sama dia tapi malah ketahuan. Udah gitu kita jadi nggak temenan lagi." Jelas Alfiana merasa keraguan hebat.
Mencintai belum tentu dicintai. Apalagi perempuan, jika saja kaum perempuan paling hormat dan sekaya Sayyidatina Khadijah mungkin mereka ingin menyatakan cintanya terlebih dahulu. Namun mereka akan lebih memilih menjadi Sayyidatina Fatimah yang mencintai dalam diam tanpa sepengetahuan si pemiliknya. Aku mendengarkan secara detail. Aku juga tidak memotong pembicaraan sedikitpun. Setelah Alfana selesai, baru aku mulai angkat bicara.
"Intinya gini, nggak semua orang yang kita suka, bakal suka balik. Yang paling parah, kalau kita diem-diem suka, yang kita takutin cuman satu. Mereka malah menghindar kaya musuh. Karena orang itu nggak suka sama kita. Itu wajar banget sih. Setiap orang pasti pernah merasakan kayak kamu." Jelasku lalu menjeda. Aku ingin mengungkapkan kalimat yang kiranya benar namun tidak menyakiti orang lain.
"Fian, kalau dia gak suka balik atau dia suka balik, iya itu keputusannya. Kita nggak bisa maksain orang lain harus suka sama kita. Tapi kamu jangan pesimis dulu. Kalau dianya nggak suka yang mungkin, dia bukan yang terbaik. Percaya deh." kataku.
"Iya sih Na, tapi tetep aja pasti sakit berulang kali. Kenapa sih harus ada cinta di dunia ini?" katanya.
"Kalau nggak ada cinta ya, adanya peperangan, Fiana." Kataku.
"Nggak gitu juga kali, Leen." Katanya mulai merajuk. Aku sudah mengatakan sebelumnya. Dia bisa merajuk kapanpun waktunya dengan waktu yang tidak mampu ditebak. Itulah Alfiana Rosdiana.
"Terus aku harus apa dong? aku suka banget sama dia. Tapi aku nggak yakin. Kalau dianya suka balik sama aku. Pasti dia sukanya yang bening, yang kinclong, yang putih, yang cantik, dan yang perfect." Katanya terus mengeluh.
"Kaca jendela dong. Putih, bersih, kinclong," kataku langsung mencarikan suasana.
"Nggak gitu juga, Aleenaaaaaaaa. Argh …. sebel." Alfiana malah berteriak. Kami berdua menjadi tontonan penghuni kelas IPA 3 kelas 11, karena mereka langsung memperhatikan kami. Posisi kami berdua benar-benar memprihatinkan. Aku dan Fiana hanya garuk-garuk tengkuk kepala sambil tersenyum simpul.
"Ngapain lihat-lihat?" Kata Fiana dengan menaikkan volume suaranya. Aku hanya menahan tertawa ketika semua orang membeli karena bentakan dari Fiana. Lalu mereka melanjutkan aktivitasnya kembali. Sekarang bukan jam kosong, melainkan kami sedang mengerjakan soal fisika.
"Fian, udah dulu ya curhat ngenesnya. Sekarang kita harus ngeliat sesuatu yang nyata harus dikerjakan. Fisika loh ini fisika, Bu Devi." kataku mengingatkan. Tanpa aku jelaskan Fiana juga mengetahui.
"Bu Devina juga lagi izin nggak masuk. Tenang aja." katanya dengan ringan hati tanpa beban.
"Tenang-tenang apanya, nanti giliran tiba-tiba dikumpulin, panik. Aku nggak mau ikutan ketenangan kamu. Kamu nyadar gak? Ketenangan kamu bisa mencelakai orang." kataku.
"Lebay." katanya malah memaki.
"Ais, kamu tuh, dahlah mau ngerjain." kataku.
"Emang bisa? Saya saja belum paham. Baru juga minggu kemarin dijelasin. Itu aja masih simpang siur masuk ke otak." Katanya semakin malas. Mungkin efek dari suka dengan Zaldi, jadi otak serta kemalasan berpindah tempat pada kepribadiannya Fiana.
"Kan ada youtube, FIAN. Kita cari caranya yang mudah dipahami. Zaman sekarang semuanya dipermudah, jangan cari banyak alasan hanya karena kitanya yang terlalu malas." Kataku lalu membuka handphone lalu mengecilkan volume. Aku bukan orang yang menyukai earphone. Karena aku merasa tidak nyaman jika memakai earphone, telingaku terasa sakit.
"Oh iya, nggak keingetan."
"Iya-iyalah, orang ingetnya sama dia doang. Kalau jatuh cinta jangan cuman pakai hati doang. Otak juga harus dipake. Biar nggak makan hati terus."
"Kalau otak nggak bisa multitasking, setidaknya fokus pelajaran dulu. Ya walaupun multitasking itu mitos. Coba deh denger penjelasannya youtuber Kak Gita S***** sama youtube Satu per***" Jelasku
"Oke nanti aku dengerin." Katanya.
"Kalau nggak lupa?" Tanyaku, dia hanya tersenyum tanpa bersalah.
Bu Devina selaku guru Fisika kami, sedang tidak masuk, dikarenakan ada urusan mendadak. Guru di SMAN 74 hampir semua guru,killer. Yang lembut, yang baik, yang bijaksana, dan yang humoris bisa dihitung dengan jari.
Anehnya ketika guru killer mengajar, otakku akan lebih cepat menangkap semua materi yang diajarkan oleh mereka. Berbeda jika gurunya terlalu baik dan humoris maka, semua materi yang diajarkan akan terasa sulit masuk ke otak.
Bu Devina juga termasuk dari sekian banyaknya guru killer di sekolah kami. Aku mengingat, ketika Bu Devi baru masuk semester dua kelas 10.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya Devina Savitri, yang akan menggantikan Pak Eko Susyanto di pelajaran Fisika sampai kalian kelas sebelas semester dua" Kata guru perempuan yang memiliki tinggi 150 centimeter. Dengan kaca mata coklat gelap yang bertengger di hidungnya. Semua mata tertuju padanya. Hening seketika. Seakan Bu Devina merupakan malaikat pencabut nyawa. Dan benar saja aura kekillerannya sudah tercium dari awal masuk kelas kami.
"Saya tidak menyukai anak yang suka bolos di jam saya, telat masuk sekolah, atau tidak mengerjakan tugas. Saya tidak akan berbaik hati. Kalian paham. "
"Ini nomor handphone saya, saya harap kalian catat. Jika ada tugas segera dikerjakan. Saya tidak menyukai keterlambatan sekaligus tidak akan akan mengulangi yang saya jelaskan. Hanya sekali penjelasan kalian harus paham" katanya seperti sedang menuntut untuk menjadi sempurna. Memangnya bisa? Kalau tidak dipaksa ya tidak akan mampu. Manusia memang seperti itu, selalu mampu ketika dipaksakan. Mau atau tidak mau akhirnya melakukan. Ikhlas atau tidak urusan belakangan.
... _______ ______...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments